DR. H. IJANG FAISAL, S.AG, M.SI
Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia/IPHI Jawa Barat
SEBAGAI sebuah temuan empirik di lapangan, dan juga tugas konstitusional pengawasan legislatif, menjadi wajar adanya Pimpinan DPR RI telah memutuskan pembentukan Pansus (Panitia Khusus) Pelaksanaan Haji Tahun 2024, beberapa hari lalu.
Sebagai ketua/aktivis ormas Islam bidang haji pionir dan terbesar di Indonesia, ada beberapa poin yang penting untuk dituliskan. Sebut saja, poin tersebut adalah mandatori kolektif agar tidak sebatas jadi momen politik, namun lebih dari itu momen perbaikan ke depannya.
Pertama, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Koumas sepatutnya mawas diri akan apa yang telah dan sedang dilakukan oleh dirinya sebagai pejabat publik, terutama dalam komunikasi publik selama ini. Sebelum menjadi Menag, bukan sekali dua kali pernyataan kontroversial disampaikan olehnya sebagai Ketua PP Banser, hingga memantik kegaduhan publik.
Bukannya makin tertib dan rapih berbicara, situasi sama terjadi saja saat menjadi Menag dengan salah satu yang cukup menguras emosi adalah pernyataan menyamakan adzan dengan gonggongan anjing secara sadar dalam doorstop dengan jurnalis.
Alih-alih meminta maaf, pernyataan yang nyeleneh selepas itu, tetap diberikan olehnya. Pada titik ini, kita jadi tidak melihat sosok pejabat pengayom yang bisa diterima semua kubu, terutama oleh mereka yang resisten selama ini. Tapi lebih dari itu, di mata penulis, Menag condong perlihatkan sikap hizbiyyah (partisan) khas Banser kepada khalayak sekalipun polemik terjadi dan membuatnya tak bisa menjadi ayah yang wasathon bagi semua masyarakat Indonesia.
Laku nir-etika ini kemudian “digenapi” dengan sikap dan perkataan yang tak pernah selaras sebagai seorang kader politik (PKB) dengan Ketua Umum-nya sendiri, Cak Imin, terutama paling monumental saat helatan Pilpres 2024 lalu. Bukan karena semata-semata kader selalu wajib manut partai, namun kembali sampaikan secara sadar pernyataan yang beda dengan pilihan partai di ruang publik, jelas menjadi penanda nir-etika berikutnya.
Maka itu, pansus akhirnya menjadi bukan sesuatu yang mengagetkan terjadi merujuk prilaku kontroversialnya tersebut. Saat isu awal pemantik pansus muncul soal kuota, dan Menag dalam posisi menjadi Amirul Hajj di Haromain, tanpa merasa perlu menjaga kesucian kain ihrom, Yaqut sudah nyatakan diri siap hadapi proses politik dari pemantik kuota tersebut.
Artinya, Menag sekali lagi tak sungkan berkonflik sekalipun sedang di tanah suci sekaligus teguh perlihatkan sikap hizbiyah tadi. Maka dari itu, Pansus Haji 2024 akan menjadi pintu kebaikan dalam merunut serta meluruskan laku dan sikap kurang bijaknya selama ini.
Kewajiban Moral
Kedua, Pansus Haji 2024 juga memberikan kita mandatori moral dalam implementasi pelaksaan haji lebih baik segalanya di tahun 2025 dan seterusnya. Terutama sudah saatnya merubah tatanan pelaksanaan yang selama ini terlalu bertumpu di Kementerian Agama (Kemenag).
Sebagai regulator, Kemenag sudah puluhan tahun bersifat superman karena juga menjadi eksekutor regulasi sekaligus supervisi aturannya tersebut. Karena atas dasar ini, maka porsi petugas haji terutama Ketua Kloter dan Pembimbing Ibadah mayoritas akan selalu berasal dari Kemenag.
Situasi yang penulis nilai cukup rumit karena menjadikan tidak adanya kontrol sistem sedari awal, sehingga semua yang dilakukan Kemenag (sebagai atasannya) akan selalu benar di mata Ketua Kloter dan Pembimbing Ibadah sebagai ujung tombak layanan.
Beranjak atas posisi ini, seharusnya Kemenag sebatas regulator dan evaluator semata dengan peran eksekutor diserahkan kepada BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) yang selama ini kewenangan terbatas namun dengan beban finansial sangat berat.
BPKH layak jadi eksekutor karena meraka-lah yang paling mengerti kesiapan keuangan haji Indonesia daripad yang lainnya, sehingga dengan demikian, mereka sangat bisa mengkalkulasi segalanya lebih baik. Ambil contoh dari sisi skema keuangan Kemenag yang berbasis APBN tahunan, maka sangat sulit Kemenag untuk mem-booking layanan dan sarana di Saudi jauh-jauh hari. Imbasnya, tak bisa juga peroleh sarana prasarana terbaik dengan tariff kompetitif imbas pemesanan jauh-jauh hari.
Pola ini sudah dilakukan di Malaysia. Meruju studi banding yang penulis lakukan, fungsi regulasi oleh Kementrian Agama Malaysia selanjutnya dilakukan di lapangan oleh lembaga bernama Tabung Haji. Alhasil, fasilitas diterima rakyat, semisal di Mina relatif lebih baik karena sudah di-order Tabung Haji ini jauh sebelum pelaksanaan haji bahkan lima tahun sebelumnya.
Hal serupa tentu bisa dilakukan oleh BPKH yang mekanisme pengeluarannya lebih fleksibel dibandingkan Kemenang yang dipatok oleh APBN bersifat setahun sekali. BPKH juga akan bergerak lebih lincah dalam memutar uang jamaah haji dengan perluasan peran ini, sehingga diharapkan nilai benefit yang bisa diberikan negara bisa sampai 70% seperti Tabung Haji, Malaysia, lakukan selama ini –nilai benefit BPKH pada periode 2022-2024 kepada masyarakat Indonesia masih di kisaran 40%. Jika Tabung Haji di Malaysia bisa, mengapa tidak dengan BPKH?
Singkatnya, diperlukan keberanian merubah UU Haji No 8/2019, yang antara lain merubah komposisi regulator dan eksekutor tersebut. Prakteknya jika ini kemudian menciptakan ketidaknyamanan karena “zona nyaman” Kemenag selama ini dilucuti, marilah selalu utamakan kepentingan hajat rakyat akan ibadah haji yang baik dan benar adalah di atas segalanya! ***