HARI itu, Jumat pagi 10 Februari 2023, rombongan tamu puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) menginjakkan kaki di bumi Pulau Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Sebetulnya Samosir sebagai Kabupaten Pariwisata ini punya sejumlah obyek wisata baik keindahan alam maupun budaya. Namun, dengan waktu yang relatif terbatas, panitia hanya memandu kami ke Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo.
Berjarak sekitar 300 m dari dermaga kami tiba di Huta Siallagan, sebuah kawasan cagar budaya peninggalan budaya Batak Toba dengan latar belakang Rumah Bolon. Huta Siallagan tepatnya berada di Desa Siallagan Pinda Raya. Setelah direvitalisasi dan menempati area 11.000 m2, Huta Siallagan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2022 lalu.
Revitalisasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2020-2021 itu menghabiskan dana Rp 30 miliar. Penataan ini meliputi sejumlah pekerjaan, mulai revitalisasi Rumah Bolon Eksisting, penataan Ekstensi Rumah Bolon, Rumah Bolon Baru, pusat souvenir, Batu Persidangan, Sopo Anting, hingga sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Memasuki Huta Siallagan –huta artinya “desa” atau permukiman—pandangan pertama mata kami menyaksikan sederetan rumah adat Batak. Menurut sejarah, Huta Siallagan dibangun pada masa pemerintahan pemimpin Huta pertama, yakni Raja Laga Siallagan. Setelah itu dilanjutkan oleh pewarisnya yakni Raja Hendrik Siallagan, hingga keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan.
Saat ini, sejumlah keturunan dari Raja Siallagan masih berada di sini, khususnya di Desa Siallagan Pinda Raya. Seorang di antaranya adalah Gading Zansen (67 tahun) yang menerima kedatangan rombongan kami. Insinyur yang pernah bekerja di perusahaan pesawat terbang Dirgantara Indonesia (DI) di Bandung itu dengan ramah memberi penjelasan, bahkan seringkali diselingi dengan canda dan senyuman. Orangnya ramah dan rendah hati.
“Siapa pun yang masuk rumah orang Batak harus tundukkan kepala sebagai tanda hormat, termasuk presiden dan jenderal,” ujar Gading Zansen dengan nada yang tegas.
Tari Tortor
Saat rombongan kami datang, kami menyaksikan rombongan wisatawan lain sedang dipandu untuk menari Tortor dengan gerakan yang tidak terlalu sulit untuk ditirukan. Kedua telapak tangan diangkat setinggi bahu digerakkan ke kiri dan ke kanan, dan badan kadang memutar. Kepada para penari itu diberikan kain ulos untuk diselempangkan pada pundaknya masing-masing. Kepada mereka juga diberikan talitali atau topi khas Batak. Seusai menari, mereka diminta memberi donasi seikhlasnya.
Tarian itu pula yang akhirnya juga dilakukan oleh rombongan tamu HPN. Saat melakukan tarian ini, para penari diiringi oleh musik gondang. Musik ini menghasilkan suara kaki penari. Tarian Tortor adalah tari daerah Batak yang mengandung makna komunikasi. Karenanya pula di area untuk menari terdapat Patung Sigalegale yang juga memiliki sejarah terkait tari tortor ini.
Patung Sigalegale adalah kesenian masyarakat Batak sejak dulu. Menurut legenda dulu ada anak dari seorang raja yang meninggal. Raja sangat sedih ditinggal anaknya sehinggga para pengurus kerajaan membuat patung menyerupai anaknya dan digerakkan dengan bantuan kekuatan gaib di masanya. Akirnya raja pun bahagia hingga sembuh dari sakitnya.
Saat ini, kekuatan gaib pada Patung Sigalegale itu dimodifikasi dengan tali dan digerakkan oleh sang “dalang” atau “operator yang tersembunyi”. Tarian ini diperkirakan telah ada sejak zaman Batak purba. Pada masa itu, tarian tortor dijadikan sebagai tari persembahan bagi roh leluhur. Nama tari ini berasal dari kata tor tor, yakni bunyi hentakan kaki penari di lantai papan rumah adat Batak.
Ada pendapat dari seorang praktisi dan pecinta tari tortor, Togarma Naibaho. Tujuan tari ini dulunya adalah untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, hiburan atau pesta muda-mudi.
Hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang menjelaskan sejarah tari tortor serta gondang sembilan yang mengiringinya. Tetapi menurut Edi Setyawati, Guru Besar Tari dari Universitas Indonesia, telah ada catatan dari zaman kolonial yang mendeskripsikan perjalanan tarian tortor.
Meski berasal dari Batak, ternyata jika ditelusuri tarian ini mendapat pengaruh dari India, bahkan lebih jauh lagi tarian ini juga memiliki kaitan dengan budaya Babilonia. (RimbaKita.com)
Ada pendapat yang memperkirakan jika tari tortor ada sejak abad ke-13 Masehi dan telah menjadi bagian dari kebudayaan Batak. Pendapat ini disampaikan oleh mantan anggota anjungan Sumatera Utara periode 1973-2010 sekaligus parkar tortor.
Batu Persidangan
Area Huta Siallagan dikelilingi oleh tembok batu berukuran 1,5 – 2 m. Bangunan tembok dan dindingnya terbuat dari batu dengan struktur rapi. Tembok itu sendiri pernah dilengkapi dengan benteng pertahanan dan bambu runcing untuk melindungi desa dari binatang buas dan juga serangan dari suku lain.
Memasuki kawasan Huta Siallagan, sejumlah rumah adat Batak Rumah Bolon dan Sopo segera terlihat oleh para wisatawan. Sementara bangunan yang menjadikan Huta Siallagan istimewa ialah adanya sekumpulan kursi batu besar yang dipahat melingkari meja batu. Kumpulan artefak furnitur batu ini disebut Batu Parsidangan atau Batu Persidangan yang artinya “Batu untuk Pertemuan dan Ujian”. Batu-batu ini diyakini sudah berusia lebih dari 200 tahun. Kemudian, di tengah-tengah Huta Siallagan terletak pohon Hariara (Tin atau Ara). Pohon ini dianggap sebagai pohon suci oleh warga sekitar. (Wikipedia.org)
Pada zaman dulu, dijelaskan pula oleh Gading Zansen, Batu Persidangan menjadi tempat mengadili pelaku kejahatan seperti mencuri, membunuh, memperkosa, dan mata-mata musuh. Bagi pelaku kejahatan ringan diberikan sanksi berupa hukuman pasung. Kejahatan berat diberi hukuman pancung. Hari pelaksanaan hukuman dilakukan ketika si pelaku dalam keadaan lemah. Pelaku kejahatan pada masa itu umumnya dilakukan oleh penduduk yang memiliki ilmu hitam.
Menurut Gading, apa pun persoalan yang dihadapi orang Batak harus dimusyawarahkan. Keputusan akhir bukan oleh raja tapi oleh lima pengacara yang menghadiri persidangan itu. Budaya adat ini pula yang pada gilirannya menginspirasi masyarakat Batak untuk menekuni ilmu hukum sehingga mereka banyak yang berprofesi sebagai pengacara atau penasihat hukum. (Widodo A, TuguBandung.id)***