JUDUL di atas merupakan kisah nyata, bukan fiksi, dan bisa menimpa siapa saja. Apalagi bila itu terjadi di luar negeri. Misalnya saat sedang menunaikan ibadah umrah atau haji, melancong, dan beragam tugas dinas sesuai profesinya masing-masing.
Terutama bagi profesi wartawan yang seringkali harus menghadapi deadline atau meliput multievent. Pikiran sering terganggu tugas sangat penting dan lupa menyimpan dokumen sangat berharga bagi perjalanan. Belum lagi kalau harus melawat ke kota-kota di mancanegara yang tingkat kejahatannya luar biasa.
Karena itu saat penulis bertugas meliput di Kota Paris, Prancis, pada tahun 1992, pejabat KBRI di sana mengingatkan agar hati-hati saat membawa paspor. Diminta agar jangan lupa untuk memfotokopi paspor, dan disimpan di tempat berbeda dengan tempat menyimpan paspor asli. Pejabat dimaksud memberi informasi bagaimana oknum penjahat di kota pariwisata dan fashion terkenal itu punya modus kejahatan.
Terlepas dari gangguan penjahat, masalah bisa datang dari keteledoran kita sendiri. Contoh nyata adalah kami, rombongan wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat, saat melawat ke beberapa negara di Eropa menjelang krisis moneter tahun 1997/1998.
Suatu pagi saat itu, setelah bermalam, kami harus meninggalkan Swiss menuju Prancis. Sebelum berangkat dari tempat penginapan, rombongan sudah diingatkan oleh pemandu wisata: cek sekali lagi, paspor jangan ketinggalan. Tentu saja semuanya merasa yakin paspor tidak ketinggalan.
Menjelang siang kami tiba di perbatasan Swiss dengan Prancis. Tour guide meminta semua anggota rombongan menyiapkan paspor. Di luar dugaan ada satu orang yang tidak segera mampu menunjukkan paspor. Tapi yang bersangkutan yakin paspornya ada di koper yang disimpannya di bagasi bus.
Bus rombongan pun diminta segera berhenti karena perjalanan sudah mendekati pos pemeriksaan imigrasi di perbatasan. Di sini mulai terjadi kisah yang dramatis itu. Rekan wartawan yang sejak tadi hobi menyanyi untuk membuat suasana perjalanan gembira itu pun bungkam. Tidak lain karena paspornya tidak ditemukan di kopernya.
Pemandu tur berdiskusi dengan pimpinan rombongan. Singkat cerita, bus rombongan harus kembali ke lokasi penginapan di Swiss. Berdasarkan kesaksian pengelola hotel, memang ada sebuah celana pendek pria yang masih tergantung di dalam kamar mandi. Di kantong celana itu ditemukan sebuah paspor.
Satu masalah sebetulnya sudah dapat diselesaikan, yakni paspor sudah ditemukan. Namun rombongan harus menghadapi risiko lain yang juga tidak terduga sebelumnya. Yakni, ternyata, kami kehilangan kesempatan makan siang di sebuah restoran dalam perjalanan antarnegara itu. Saat itu pengelola restoran tidak mau menyediakan makan siang karena jadwalnya sudah lewat. Tidak ada kompromi. Dampaknya semua anggota rombongan harus rela mencari restoran lain untuk makan siang dengan membayar sendiri-sendiri. Padahal saat itu nilai rupiah sedang jatuh menghadapi kurs dolar.
Sudah di bandara, paspor tertinggal
Kisah yang juga dramatis, bahkan sangat dramatis, menimpa wartawan senior Mahfudin Nigara seperti diceritakannya dalam buku karyanya, “Diplomasi Kerupuk Udang, Cuplikan Perjalanan Mahfudin Nigara, SE, MM Alias si Empuk anak Gang Eddy” (2013). Buku ini saya peroleh dari penulisnya Februari lalu saat mengikuti rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Medan, Sumatera Utara.
Nigara –panggilan akrab anggota penasihat PWI Pusat itu—berkisah dengan judul “Nyaris Kehilangan Paspor (Schiphol Airport)”. Hari itu, Kamis 4 Mei 1989, Nigara harus meninggalkan tugas peliputannya di Hauss Risjwick, Kleve, Jerman Barat dan Den Haag, Belanda. Tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri dia harus kembali ke Jakarta sekalian mengobati kerinduannya kepada anaknya yang masih kecil.
“Kerinduan saya pada anak lelaki saya yang kurus dan berambut brindil tetapi selalu saja ingin tahu banyak hal, Banda Arya namanya, memuncak. Maklum usia bocah semata wayang saya itu baru empat tahun. Beberapa oleh-oleh saya beli, rasanya tak sabar untuk saya sodorkan ke hadapannya. Wajahnya selalu ceria dan antusiasmenya meledak-ledak setiap ada sesuatu yang saya berikan,” tutur wartawan olahraga yang sering meliput event internasional itu.
Untuk mengisi waktu, petang itu Nigara juga membelikan olah-oleh –cokelat khas Nederlands kesayangan istrinya– di sebuah toko di Bandara Schiphol Airport, Amsterdam. Setelah membeli cokelat, waktu tinggal 45 menit dari jadwal boarding pesawat, tapi Nigara masih berputar-putar mencoba membeli sesuatu.
“Waktu tinggal dua puluh menit, maka saya putuskan untuk masuk ke ruang tunggu. Jantung saya seperti berhenti mendadak, ketika saya ketahui paspor dan boarding pass saya tidak ada. Seluruh saku jaket saya periksa, nihil. Tas tangan termasuk tustel, juga saya telusuri, hasilnya juga sama. Sungguh, dunia seperti runtuh menimpa kepala saya,” tuturnya.
“Saya coba mengingat-ingat di mana barang berharga itu saya letakkan. Tiba-tiba pengumuman terdengar: ‘Para penumpang KLM jurusan Jakarta dipersilakan naik ke pesawat!’ Dada saya seperti benar-benar berhenti berdetak”.
“Saya coba terus mengingat-ingat sambil bergerak menuju pintu masuk imigrasi tadi. Kalau tertinggal di Starbucks yang di luar tempat saya tadi singgah bersama Benny dan kawan-kawan, tidak mungkin. Saya masuk ke ruang steril ini menggunakan paspor dan boarding pass. Lalu, saya coba ke toko mainan, tidak ada yang saya temukan. Pengumuman pesawat KLM menuju Jakarta terdengar lagi”.
“Saya terus dan terus mencari hingga akhirnya saya mendengar palu godam menerpa kepala saya: ‘Last call for passanger Mahfudin Nigara….’ Seluruh tulang saya seperti remuk, badan saya lemas sekali. Kepala saya seperti berputar-putar ke kiri dan ke kanan. Saya pasrah sambil berdoa semoga Allah Swt melindungi saya”.
“Persis pengumuman dikumandangkan sekali lagi, bola mata saya menangkap toko cokelat khas Belanda. Saya coba ke sana sambil berdoa, ‘Ya Allah, ini adalah harapan saya terakhir, meski jauh di dalam hati saya tak ada secuil pun harapan’”.
“Saya ingat-ingat ke mana saja saya saat berada di toko ini. Tiba-tiba mata saya melihat tumpukan kertas di sudut, walau tak terlalu yakin, saya coba hampiri. Alhamdulillah, itulah paspor dan boarding pass saya. Alhamdulillah, alhamdulillah. Tak terasa ada air bening yang hangat mengalir di pipi saya. Saya ingat sekarang, tadi saat saya membayar cokelat, saya mengeluarkan paspor yang di dalamnya ada boarding pass saya dan meletakkannya di sudut itu. Saya mengeluarkannya karena gulden yang saya terima dari Mas Sumo itu saya masukkan begitu saja ke dalam saku jaket yang ada di papor itu”.
“Saya langsung berlari sekencang-kencangnya, saya tidak ingin ditinggalkan pesawat, saya tak ingin tertunda untuk bertemu dengn bocah brindil saya itu. Alhamdulillaaahhh…,” ungkap Nigara menutup kisah dramatisnya. (Widodo Asmowiyoto, TuguBandung.id)***