BAGI umumnya para wisatawan baik domestik maupun mancanegara, terpenting saat mengunjungi Danau Toba adalah menyaksikan keindahannya. Semakin banyak pelancong mengunjungi danau terbesar di Asia Tenggara ini, merupakan indikator semakin sukses pula pengelolaan sektor pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Apalagi kini Danau Toba masuk dalam lima super prioritas destinasi wisata di tanah air.
Di balik target mulia sektor pariwisata itu, ternyata ada satu pertanyaan penting menyangkut kehidupan rakyat setempat yang mengandalkan sumber penghasilan dari ikan di Danau Toba. Jika cara mereka memperoleh penghidupan dari keberadaan ikan di danau ini tidak bijaksana, maka bisa timbul pencemaran. Apalagi jika terjadi pencemaran berat, maka bukan saja akan mengurangi keindahan Danau Toba tetapi juga membuat susah atau bahkan mematikan banyak ikan itu sendiri.
Kebijakan pemerintah yang merupakan solusi terbaik bagi keberhasilan sektor pariwisata dan sukses sektor perikanan di Danau Toba, adalah bagaimana mewujudkan aktivitas pariwisata dan budidaya ikan yang ramah lingkungan. Harap maklum, potensi perputaran ekonomi budidaya perikanan di Danau Toba, terutama budidaya ikan nila mencapai Rp 5 triliun per tahun.
Selama ini Danau Toba –panjang 100 km dan lebar 30 km– menyokong salah satu kegiatan ekonomi budidaya ikan nila atau tilapia dengan sistem Keramba Jaring Terapung (KJA). Dari data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumatera Utara pada 2020, tercatat produksi ikan nila di danau yang di atasnya ada Pulau Samosir ini mencapai 80.941 ton. Budidaya ini juga telah mendorong ekspor dan memberikan kontribusi 21% untuk Produk Domestik Regional Bruto di wilayah Danau Toba.
Namun, dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah menetapkan Danau Toba sebagai tujuan super prioritas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan SK Gubenur No. 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba. Kemudian ada SK Gubernur Sumut No. 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba. (castfoundation.id)
Aturan itu dianggap membatasi daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan. Disebutkan, perlu ada pembatasan daya dukung Danau Toba untuk KJA menjadi 10.000 ton per tahun agar kualitas air yang tercemar dapat terkendali.
Selain itu, aturan tersebut juga menetapkan Danau Toba merupakan danau berstatus oligotrofik atau danau dengan kandungan zat hara sangat rendah, sehingga perlu ada upaya untuk memperbaiki dan mengembalikan kesuburannya.
Jangan sampai dimatikan
Terkait aturan tersebut, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri, menyatakan pembatasan total ikan nila tidak akan menyelesaikan masalah di Danau Toba. Bahkan, kebijakan ini bisa menyebabkan masalah baru, seperti puluhan ribu orang menganggur, termasuk kerugian ekonomi yang mencapai lebih dari Rp 5 triliun per tahun tadi.
Rokhmin menyoroti pembatasan ini dapat mengakibatkan penurunan ekonomi wilayah di sekitar Danau Toba, terutama di tujuh kabupaten sekitar yakni Simalungun, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, dan Toba Samosir.
“Saya ungkapkan budidaya ikan nila di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat. Itu harusnya ditumbuhkembangkan, bukan untuk dimatikan,” tuturnya dalam acara webinar bertajuk “Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila untuk Masyarakat Toba”.
Hal itu diperkuat data GMPT Sumut pada 2020 yang menunjukkan usaha KJA di Danau Toba berhasil menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang. Mereka terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, pembesaran, pengolahan ikan nila, hingga pengemasan.
Rokhmin berpendapat, dengan pengaturan yang jelas, pariwisata dan aktivitas budaya ikan KJA yang ramah lingkungan dapat berdampingan dan berkembang bersamaan. Ia mencontohkan negara seperti Jepang dan Malaysia juga dapat menjadikan KJA sebagai obyek wisata.
Ada beberapa rekomendasi yang ia berikan terkait pengelolaan KJA di Danau Toba. Salah satunya adalah pembatasan ikan nila dari budidaya KJA rata-rata 55.000 ton per tahun, sesuai dengan perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2018.
Selain itu, seluruh aktivitas KJA di Danau Toba harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor. Zonasi lokasi KJA juga harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang disepakati semua pemangku kepentingan, termasuk zonasi lokasi budidaya perikanan, industri lain, termasuk pariwisata.
Revisi regulasi
Anggota Komisi B DPRD Sumut, Gusmiyadi, menganggap perputaran ekonomi senilai Rp 4 triliun yang dihasilkan sektor perikanan di Danau Toba merupakan potensi besar. Ia menilai, bisnis perikanan melalui KJA di Danau Toba yang juga menyerap setidaknya 12.300 orang tenaga kerja tadi belum termasuk tenaga kerja pada lapangan usaha turunan seperti restoran dan jasa distribusi.
Karena itu Gusmiyadi menyarankan pemerintah daerah agar merevisi regulasi soal daya tampung Danau Toba. Menurut dia, limbah yang ditimbulkan dari operasional KJA hanya berkontribusi 10% terhadap pencemaran di Danau Toba.
Pencemaran dimaksud selebihnya disumbang oleh dampak keberadaan sungai-sungai kecil yang mencapai ratusan, lalu operasional hotel dan restoran, permukiman penduduk, operasional pertanian serta pasar. Data yang disampaikan Gusmiyadi mengacu pada hasil penelitian Tim Riset Care LPPM IPB University. (sumutprov.go.id)
Permasalahan pembangunan berwawasan ramah lingkungan hidup memang senantiasa menjadi topik aktual. Apalagi dalam konteks keberadaan Danau Toba yang kini menjadi salah satu dari lima super prioritas destinasi wisata di Indonesia.
Karena itu, Guru Besar Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara, Ternala Alexander Barus, menyarankan agar upaya pelestarian lingkungan mesti gencar dilakukan untuk menyeimbangkan eksploitas alam di Danau Toba.
Pemerintah harus tetap menertibkan KJA jika masih mengacu pada regulasi selama ini. Yakni batas daya tampung 10.000 ton ikan per tahun. “Namun menurut pandangan saya, mustahil dapat dilaksanakan. Ini menyangkut kehidupan orang banyak,” ujarnya.
Ketua Tim Penataan KJA Danau Toba/Staf Ahli Gubernur Sumut Bidang Hukum, Politik, dan Pemerintah, Binsar Situmorang, mengatakan penertiban KJA tersebut bukan hanya milik perorangan, tetapi juga yang dikelola perusahaan atau korporasi. “Sampai 2023, kalau tidak bisa membersihkan dan menertibkan, ada sanksinya,” tegasnya. (Kompas.com, 18/6/2022)
Penataan KJA dimaksud tampaknya memang tidak akan mulus. Karena itu, menurut Binsar, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumut akan bekerja sama dengan pakar lingkungan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan ITB (Institut Teknologi Bandung) untuk membahas layak atau tidak KJA dengan produksi 10.000 ton per tahun. Menurut perhitungan KKP, jumlah 10.000 ton itu dihasilkan dari sekitar 3.000 KJA.
Dalam kerja sama itu akan dibahas mata pencaharian pengganti untuk masyarakat yang menggantungkan hidup dari keramba. “Kita tata, kita cari alih mata pencahariannya, apakah di bidang perikanan atau pertanian. Tidak kita korbankan mereka, sama-sama kita jaga lingkungan lebih baik lagi. Kalau bisnis perikanan ingin lebih besar, bagaimana danau kita, nanti lebih rusak. Ini harus kita tata ulang,” ujar Binsar. (Widodo A, TuguBandung.id)***