BAGI generasi muda sekarang, keberadaan Alun-Alun Selatan Keraton Solo mungkin hanya dilihat dari sisi yang terlihat oleh mata sehari-hari. Yakni, lahan seluas dua lapangan bola lebih, ditumbuhi rumput hijau, di bagian tengah ada dua pohon beringin kurung, sering dipakai untuk olahraga rakyat. Lebih dari itu, jika Sabtu malam atau hari Minggu menjadi area rekreasi yang dilengkapi dengan kehadiran banyak pedagang makanan dan minuman.
Sekali atau lebih dalam setahun, sesuai dengan momentum hari besar, Alun-Alun Kidul yang lazim disingkat serta disebut menjadi Alkid itu, digunakan untuk pasar malam yang menghadirkan keramaian. Pasar malam itu terutama ditandai dengan hadirnya beragam jenis permainan seperti pertunjukan “tong setan” (permainan akrobatik sepeda motor), komedi putar, dan lain-lain. Hadir pula banyak pedagang yang menjajakan pakaian atau makanan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, keramaian malam Minggu di Alkid juga ditandai dengan beroperasinya beragam kendaraan atau angkutan hiburan. Yakni, mobil dan kendaraan berkonotasi odong-odong berhias lampu berwarna-warni. Mereka mengitari jalanan di seputar Alkid dengan tarif seusai kantong rakyat. Para penumpangya yang paling merasa gembira adalah anak-anak kecil.
Sehari-hari, terutama pada pagi dan siang hari, Alkid juga sering digunakan oleh para pelajar untuk berolahraga, minimal senam. Sedangkan pada sore hari, Alkid juga sering digunakan untuk bermain sepakbola, terutama oleh warga sekitar. Rutinitas kegiatan masyarakat itu pula yang dimanfaatkan oleh para pencari penghidupan melalui membuka warung nasi, makanan dan minuman.
Beragam kegiatan masyarakat tersebut tidak boleh seenaknya mengubah peruntukan fisik Alkid. Sebab Alkid milik Keraton Kasunanan ini merupakan cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Yakni, UU Cagar Budaya RI No. 5 Tahun 1992, Cagar Budaya RI No. 11 Tahun 2010, Keputusan Presiden RI No. 23 Tahun 1988, dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM 03/PW 007/MKP/2010.
Dua gerbong bersejarah
Di bagian area bangunan Siti Inggil (Tanah Tinggi) Alkid Keraton Solo ini terdapat dua gerbong kereta api bersejarah. Satu gerbong yang dulu untuk pesiar dan satu gerbong lagi untuk mengangkut jenazah Paku Buwono X, Raja Keraton Kasunanan Surakarta.
Keberadaan dua gerbong tersebut menimbulkan pertanyaan kepada kita, kapan Raja Paku Buwono X berkuasa hingga meninggal dunia, dimakamkan di mana, dan apakah waktu itu sudah ada rel KA untuk perjalanan gerbong atau kereta api tersebut.
Sebagai generasi muda masa kini, kita boleh juga menafsirkan apa makna di balik sengaja “dimonumenkannya” dua gerbong tersebut. Sekadar tafsir bebas, penulis sendiri memaknainya sebagai kehidupan raja saat itu sebagai penguasa juga memerlukan piknik, plesir, atau yang kini beken dengan kegiatan pariwisata.
Alkid sendiri kini juga merupakan salah satu obyek wisata di Kota Solo. Mungkin dulu semasa masih sebagai wilayah aktif kerajaan, Alun-Alun Kidul (Selatan) sebagai area “hijau dan segar” bagi keluarga kerajaan. Keberadaannya melengkapi kemuliaan hidup yang mengandung aspek duniawi.
Sebaliknya, Paku Buwono X sebagai raja yang beragama Islam juga ingin meninggalkan pesan bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Karena itu ketika beliau meninggal dunia maka pemakamannya perlu menggunakan gerbong untuk mengangkut jenzahnya ke Makam Imogiri (makam khusus Raja-raja Surakarta dan Raja-raja Yogyakarta beserta keluarga) di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak antara Solo-Yogya dan berlanjut ke daerah Imogiri itu lebih kurang 72 kilometer.
Sejarah singkat
Berdasarkan catatan sejarah, Keraton Kasunanan Surakarta didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana (PB) II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan tahun 1744. Kompleks bangunan keraton hingga kini masih berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan rumah tangga istana. Keraton dikelilingi oleh perkampungan yang menjadi tempat tinggal keluarga keraton dan abdi dalem. Kampung bernama Baluwarti berada di dalam benteng yang mengelilingi keraton. (pariwisatasolo.surakarta.go.id)
Sri Susuhunan Paku Buwono X adalah Raja Kasunanan Surakarta yang memerintah antara 1893-1939. Di bawah kekuasaannya, pamor Kasunan Surakarta semakin bersinar, ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik yang stabil.
Paku Buwono X juga dikenal berperan aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan dan pendidikan rakyat. Atas jasa-jasanya itu PB X dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2011. (kompas.com, 15/11/2021)
Pemerintahan PB X merupakan masa transisi dari kemelut perang ke masa yang lebih stabil. Beberapa kebijakan yang terfokus pada kesejahteraan rakyat pun dicanangkan. Yakni, membangun fasilitas kesehatan (klinik Panti Rogo yang berkembang menjadi RS Kadipolo dan apotek Panti Husodo); mendirikan bank untuk memberikan kredit bangunann rumah bagi rakyat; dan membangun sekolah-sekolah (Sekolah Pamardi Putri, Kasatryan, dan Rijksstudiefond).
Selain itu, PB X juga membangun infrastruktur modern Kota Surakarta, seperti membangun Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun KA Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebum Binatang Jurug, Taman Balekambang, serta gapura-gapura di batas Kota Surakarta.
PB X wafat pafa 1 Februari 1939 setelah berkuasa selama 46 tahun, menjadikannya sebagai sunan yang paling lama berkuasa di Kasunanan Surakarta.
Sementara itu, sejarah kertea api di Indonesia bermula saat pencangkulan pertama jalur KA Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yoygakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele pada 17 Juni 1864. Pembangunan itu dilakukan oleh perusahaan swasta Naamlooze Venootachap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschaapij (NV NISM) menggunakan lebar sepur 1.435 mm. (traveloka.com, 5/9/2022)
Terkait sejarah hidup PB X dan sejarah KA pada zaman Hindia Belanda itu, wajar jika untuk mengangkut jenazah PB X dari Solo (Surakarta) ke Makam Imogiri (Bantul, DIY) pada Februari 1939 sejauh 72 km tersebut sudah menggunakan kereta api. Gerbongnya yang kini menjadi “monumen” di Alun-Alun Kidul Kota Solo itu menjadi bukti yang relevan bahwa kehidupan seorang raja yang punya kuasa dan berprestasi pun pada akhirnya harus wafat: meninggalkan dunia yang fana ini. (Widodo A, TuguBandung.id)***