SANGIRAN, sebuah desa berjarak 20 kilometer di sebelah utara Kota Solo. Jika kendaraan kita menuju ke sana dengan menyusuri Jalan Raya Solo-Purwodadi, kita mesti berbelok ke arah timur sejak kota Kecamatan Kalijambe (KM 15), Kabupaten Sragen. Dari perempatan kecil itu kemudian ke timur lebih kurang 5 kilometer menuju lokasi Museum Purbakala.
Di Sangiran yang belakangan bertambah statusnya menjadi desa wisata itu, terdapat Museum Kepurbakalaan yang isinya terdiri atas Museum Manusia Purba dan Museum Non-Manusia Purba. Terutama kehidupan hewan-hewan purba. Sejak beberapa tahun lalu bangunan museum itu dibuat relatif megah, tiga tingkat, dan komunikatif. Bukan meseum kelas kampung.
Kalau saja Sangiran hanya mengandalkan potensi pertaniannya yang bersifat daerah tadah hujan, daerah ini relatif tetap miskin dan tidak akan terkenal di seluruh dunia. Namun Tuhan Mahaadil. Melalui kekayaan kepurbalakaannya, nama Sangiran semakin mendunia sehingga para pakar dan peneliti kepurbakalaan dari banyak negara pun rela mengunjunginya.
Pada hari-hari biasa jumlah pengunjung relatif sedikit. Tapi pada akhir pekan –apalagi musim libur panjang—jumlah pengunjung mencapai ratusan bahkan ribuan orang. Potensi kunjungan itu pula yang sejak dua tahun lalu oleh pemerintah terus dioptimalkan melalui peningkatan Sangiran menjadi Desa Wisata.
Bagi pengunjung rombongan kecil maupun besar, sejak saat itu tidak diizinkan langsung menuju museum. Tapi mereka diatur dengan lebih dulu memarkirkan mobil atau bus di lokasi yang sudah ditentukan. Dari sana mereka secara berangsur diangkut dengan mobil-mobil kecil menuju lokasi museum. Saat pengunjung sudah selesai melihat-lihat ruang pamer yang tiga lantai itu, mereka diangkut lagi dengan kendaraan semacam angkutan kota itu.
Selain membayar ongkos “angkot” yang relatif murah itu, pengunjung juga harus membayar tiket masuk area museum, tidak sampai sepuluh ribu per orang. Dengan biaya yang tidak mahal itu, para pengunjung akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat berharga tentang perjalanan hidup manusia dan alam sekitarnya.
Coba simak testimoni Inspektur Jenderal Kemendikbud, Chatarina M. Girsang, saat dia mengunjungi Museum Purbakala ini pada tanggal 12 Desember 2020: “Sejarah peradaban manusia yang menunjukkan kebesaran kuasa Sang Pencipta dan akan menjadi pengetahuan bagi kita dan anak-anak kita, ditemukan di Sangiran berkat kerja keras para ahli. Amazing!!!”
Berawal tahun 1926
Survei awal Situs Sangiran berawal pada tahun 1926. Saat itu Jawatan Pertambangan Hindia Belanda (Dienst van den Mijbow in Nederlandcsh-Indie), melakukan survei daerah-daerah yang potensial mengandung fosil di Patiayam (lereng Gunung Muria, Kudus) dan Sangiran. Survei melibatkan Louis Jean-Chretien von Es dan William D. Mathew dari American Museum of Natural History.
Pada 1931 dilakukan pemetaan Situs Sangiran. Louis Jean-Chretien von Es menerbitkan buku The Age of Pithecanthropus. Di dalamnya, untuk pertama kali, terdapat peta Situs Sangiran.
Pada 1934, Gustav Heinrich Ralph von Koonigswald memperoleh jejak manusia purba di Sangiran, berupa alat-alat sorpih dari bahan batu kalsodon dan jasper. Hal ini merupakan temuan perdana Sangiran.
Pada 1936, Gustav Heinrich Ralph von Kooningswald mendapatkan fragmen rahang atas bagian kiri. Diberi nama: Sangiran 1a atau disingkat S 1a. Pada tahun yang sama, Atmowidjojo menemukan fragmen rahang bawah bagian kanan, kemudian disebut Sangiran 1b.
Pada 1962 dilaksanakan Proyek Penelitian Paleoantropologi Nasional. Penelitian gabungan melibatkan serta mempertemukan para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jawatan Purbakala, Jawatan Geologi, dengan tokoh “Tiga Serangkai” generasi peneliti pasca-kemerdekaan RI yakni Teuku Jacob, Sartono Sastromidjojo, dan R.P. Soejono.
Pada 1968, Hendrik Robert von Hookoron dengan dibantu beberapa arkeolog Indonesia, meneliti artefak batu di Sangiran. Hasil penelitiannya dimuat dalam pembahasan paleolitik pada buku The Stone Age of Indonesia.
Pada 1969, sebuah fosil tengkorak Homo erectus ditemukan dalam kondisi paling lengkap di antara temuan serupa di Sangiran. Mendapat nama Sangiran 17, hasil tersebut berusia sekitar 1,25 juta tahun dan menjadi rujukan penting dalam rekonstruksi figur Homo erectus Jawa.
Pada 1970, ekskavasi Ngebung atau penggalian Ngebung yang dilakukan R.P. Soejono menuai hasil temuan alat batu.
Pada 1974, pendirian Balai Penyelamatan Fosil Sangiran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen merupakan rintisan pendirian museum di Sangiran.
Pada 1977, melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 070/0/1977, Kawasan Sangiran seluas 46,5 km2 ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Pada 1984, Puslit Arkenas & Museum Nasional d’Histoire Naturelle Prancis melakukan penelitian bersama.
Situs Warisan Budaya Dunia
Pada 1996, Sangiran ditetapkan sebagai Situs Warisan Budaya Dunia (World Heritage) Nomor 593 oleh UNESCO (Badan PBB untuk Bidang Pendidikan, Sosial, dan Budaya). Nama resminya adalah The Sangiran Early Man Site.
Pada 1988, Situs Sangiran diperluas menjadi 59,21 km2, terletak di dua kabupaten yakni Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Pada 2011, serangkaian museum baru diresmikan.
Situs Sangiran adalah salah satu situs manusia purba yang ada di Indonesia. Situs ini dikelola oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Kemendikbud.
Museum Sangiran yang terletak di kawasan Situs Sangiran dibagi menjadi lima klaster. Pertama, Klaster Krikilan yang berfungsi sebagai pusat kunjungan atau visitor center, yang memberikan informasi secara lengkap tentang Situs Sangiran. Klaster kedua hingga kelima adalah Dayu, Bukuran, Ngebung, dan Museum Manyarejo. (kemendikbud.go.id, 5/4/2017)
Ringkasnya, setelah ditemukannya alat-alat batu hasil budaya manusia purba pada 1934 dan fosil manusia purba pertama pada 1936, kemudian tahun demi tahun ditemukan fosil hewan, alat tulang, dan alat batu.
Di Sangiran ditemukan pula lapisan tanah purba yang dapat menunjukkan perubahan lingkungan alam sejak dua juta tahun lalu sampai sekarang tanpa terputus. Situs Sangiran beserta semua kandungan arkeologis yang ada di dalamnya merupakan cagar budaya penting untuk dijaga dan dilestarikan.
Pelestarian Situs Sangiran penting dilakukan agar semua nilai penting yang terkandung di dalamnya dapat terus dipelajari, dimanfaatkan, dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Kini Situs Sangiran dikelola BPSMP bekerja sama dengan Pemprov Jawa Tengah, Pemkab Sragen, dan Pemkab Karanganyar. (Widodo A, TuguBandung.id)***