KABUPATEN Sragen, Provinsi Jawa Tengah, bukan merupakan habitat gajah seperti di Provinsi Lampung. Bukan pula seperti negara Botswana di benua Afrika yang memiliki 130.000 ekor gajah liar. Namun kalau kita sempat jalan-jalan di daerah Sragen, di sana banyak kita temui gapura desa atau kecamatan berbentuk gading gajah.
Pemerintah Kabupaten Sragen menyadari kelebihan yang dipunyai daerahnya yakni keberadaan Museum Purbakala yang terkenal di dunia. Di Desa Sangiran, Kecamatan Kalijambe terdapat Museum Manusia Purba dan Hewan Purba, terutama Gajah Purba. Sebagai tanda keberadaan gajah purba itu ialah ditemukannya gading gajah yang hidup pada masa lampau.
Penemuan gading gajah purba itu bahkan bukan hanya pada ribuan tahun lalu. Sebagai bukti, pada Januari 2020 lalu ada seorang warga Dukuh/Desa Bonagung, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, Puryanto (42 tahun), menemukan 20 fragmen gading gajah purba.
Saat ditemui tim dari Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Didiskbud) Sragen, Puryanto belum bisa mengambil keputusan terkait perawatan 20 fragmen fosil gading gajah purba temuannya itu. Pada dasarnya, dia tidak keberatan jika fosil gading gajah purba itu diserahkan kepada BPSMP Sangiran. (Solopos.com, Selasa, 28/1/2020)
Setelah mendapat kepastian mengenai kompensasi yang akan diperolehnya, Puryanto pun akan menyerahkan temuan fosil gajah purba sepanjang 4 meter tersebut. Harap maklum, proses penemuan fosil berumur 700.000 tahun itu melibatkan 5 orang warga.
Adapun besar kecilnya kompensasi dimaksud tergantung jenis dan ukuran fosil yang ditemukan. Kompensasi paling tinggi tentu saja temuan fosil manusia purba. Tiga tahun sebelumnya, ada warga yang menemukan tulang di dekat telinga homo erectus di Desa Manyarejo. Saat itu penemu fosil manusia purba tersebut diberi kompensasi sebesar Rp 15 juta.
Kepala Seksi Perlindungan BPSMP Sangiran, Dody Wiranto, mengatakan masyarakat diperbolehkan merawat benda cagar budaya secara mandiri sesuai amanat UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya.
Menurut Dody, ada banyak museum benda cagar budaya yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Meskipun demikian, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi jika masyarakat ingin merawat benda cagar budaya itu secara mandiri. Beberapa syarat itu adalah bersedia melaporkan koleksi museum secara berkala, informasi yang disampaikan kepada pengunjung dipastikan benar, bersedia melakukan konservasi secara berkala, dan mau menjaga benda cagar budaya itu supaya tidak hilang.
“Benda cagar budaya itu kan aset negara. Jadi jangan sampai hilang kalau dirawat mandiri oleh masyarakat,” ucap Dody.
Ikon yang kuat
Pemkab Sragen menyadari kekhasan menjadi faktor penting sebagai pembeda atau ikon daerah. Karena itu Pemkab Sragen menilai keberadaan Museum Purbakala Sangiran, khususnya keberadaan fosil gading gajah purba, merupakan ciri khas sehingga layak dijadikan ikon yang kuat daerah Kabupaten Sragen.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Sragen, Zubaidi, menjelaskan, ikon tersebut diwujudkan dalam bentuk tetenger atau tanda yakni berupa gapura berbentuk gading gajah purba. Pendirian atau pembangunan fisik gapura itu diutamakan di lokasi atau daerah strategis.
Kini, jika kita berkunjung ke wilayah Kabupaten Sragen, relatif mudah untuk menyaksikan keberadaan gapura atau tugu gading gajah purba itu. Misalnya saja di perbatasan Kabupaten dengan Kabupaten Karanganyar, Alun-Alun Sasono Langen Putro, Museum Sangiran, dan sebagainya.
Pembangunan ikon gading gajah itu diatur dalam peraturan bupati (Perbup). Berdasarkan Perbup itu, di lingkungan kantor-kantor kecamatan di Sragen (20 kecamatan) dibangun gapura atau tugu gading gajah dimaksud. Berawal dari kantor Kecamatan Grompol, kemudian Kecamatan Sambungmacan, Kedawung, Mondokan, Gemolong, dan disusul yang lain. (PublikSatu.com, 4/6/2019).
Keberadaan gapura, tugu, atau patung gading gajah purba itu termasuk dalam penataan lingkungan publik dan kecamatan. Dalam satu penataan dibutuhkan anggaran antara Rp 400 – 500 juta.
Gagasan penggunaan gading gajah purba sebagai maskot Sragen yang juga akrab disebut sebagai Bumi Sukowati ini, pada awalnya mengundang kritik dari wakil rakyat. Namun akhirnya berangsur-angsur menjadi kenyataan yang mampu memperkuat citra kepariwisataan sejarah dan budaya Sragen. (Widodo A, TuguBandung.id)***