NOVEMBER 2022 merupakan bulan supersibuk di Kota Solo. Jadwal kesibukan itu beredar luas melalui media sosial. Karena itu diingatkan kepada masyarakat luas agar mereka mewaspadai kemacetan di jalanan.
Kesibukan itu terkait banyak acara besar di kota terbesar kedua di Jawa Tengah itu. Yakni, Haul Habib di Pasar Kliwon (12-16/11); Festival Masjid Nasional & Peresmian Masjid Grand Mosque di Gilingan oleh Presiden Jokowi dan Presiden Uni Emirat Arab, Mohamed Bin Zayed Al Nahyan (14-17/11); Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah (18-20/11); Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi, 21-22/11); Pekan Olahraga & Seni Pondok Pesantren Nasional se-Indonesia (23-27/11).
Jika ribuan tamu beragam acara itu lewat tengah Kota Solo, pasti melalui Jalan Raya Brigjen Slamet Riyadi. Jalan protokol itu historisnya membelah kota, sebelah selatan Keraton Kasunanan dan sebelah utara Keraton Mangkunegaran. Jalannya sangat lebar dan panjangnya sekitar 10 kilometer dengan banyak perempatan.
Di kota yang berpenduduk sekitar 500.000 jiwa itu terdapat beberapa jalan yang menggunakan nama para jenderal. Tentu saja terkait sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, nama Brigjen Slamet Riyadi sengaja digunakan untuk menamai jalan protokol di tengah kota, dan selama ini tidak pernah timbul kontroversi.
Jejak kepahlawanan Slamet Riyadi
Melawat ke Kota Solo di bulan yang sangat sibuk, pertengahan November 2022 lalu, TuguBandung.id kebetulan mendapat penginapan di daerah pinggiran Solo Selatan, tidak jauh dari Alun-Alun Selatan.
Hari-hari yang sering diwarnai hujan karena memang sedang berlangsung musim penghujan, memotivasi kaki ini segera keluar penginapan manakala ada sinar matahari. Siang itu cuaca agak panas. Tanpa ragu lagi kaki ini keluar dari penginapan di Jalan Dewi Sartika kemudian menyusuri Jalan Tejonoto.
Baru sekitar 30-an meter menyusuri jalan lingkungan kampung beraspal mulus itu, tiba-tiba mata tertarik untuk membaca sebuah plang. Pada plang warna putih itu terdapat tulisan berwarna hitam, “RUMAH PAHLAWAN NASIONAL BRIGJEN SLAMET RIYADI”.
TuguBandung.id pun segera menyapa tuan rumah di pekarangan seluas 1.000 m2 itu. Rumah lumayan luas itu dihuni Pak Hendro (61 tahun), pekerjaan swasta dengan tiga anak. “Plang itu memang baru dipasang sekitar dua tahun lalu,” ungkapnya.
Pekarangan di Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan, Kota Solo itu harganya terbilang mahal, antara Rp 10 – 15 juta/meter2. Sebagai keluarga pahlawan nasional, mungkin saja bayar pajaknya lumayan mahal. Tapi Pak Hendro bilang bahwa dia tidak mengurus pembayaran pajaknya.
Lahir 20 Juli 1927 di Danukusuman, Kota Bengawan ini, masa muda Slamet Riyadi dikenal sebagai sosok pendiam namun tegas dan pemberani. Jiwa kemiliterannya mengalir dari ayahnya, Idris Prawiropralebdo yang merupakan perwira rendahan Keraton Kasunanan Surakarta. (Shari Rasyid, merdeka.com, 10/11/2020)
Ignatius Slamet Riyadi merupakan tokoh pahlawan peristiwa Serangan Umum Surakarta. Dia dikenal karena hampir semua peristiwa kepahlawanan di Kota Solo berada di bawah kepemimpinanya.
Karena keberanian dan keberhasilannya dalam melakukan perlawanan terhadap musuh, Slamet Riyadi diangkat sebagai Komandan Batalyon saat usianya masih sangat muda yakni 19 tahun.
Ketegasan dan keberaniannya terbukti saat almarhum menerobos masuk ke dalam Markas Kempeitei (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat ketika peristiwa peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang.
Selain itu, dia juga pernah berhasil mengobarkan pemberontakan terhadap Jepang. Saat itu Slamet Riyadi berhasil menghimpun perjuangan para pemuda bekas Peta dan Haiho. Merekalah yang kemudian memelopori perebutan kekuasaan politik dan militer dari tangan Jepang di Kota Solo.
Karena itu tidak heran bila Slamet Riyadi mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan persoalan tawanan Jepang di Solo dan Jawa Timur. Keberhasilan Slamet Riyadi dalam setiap tugasnya membuat kepercayaan terhadap batalyonnya makin meningkat.
Pada masa perang kemerdekaan, tim batalyon yang dia pimpin menjadi lawan utama pasukan Belanda dalam melakukan aksinya di Kota Solo.
Gugur 4 November 1950
Pada tanggal 7-10 Agustus 1949 pecah peristiwa Serangan Umum di Kota Solo. Menurut situs resmi Pusat Sejarah TNI, serangan yang dilakukan sesuai perintah Letkol Slamet Riyadi dan dipimpin sendiri olehnya. Dengan kecakapan yang dia miliki, Slamet Riyadi memerintahkan pasukannya untuk mengepung Kota Solo dari 4 penjuru.
Serangan Umum Kota Solo berlangsung 4 hari 4 malam hingga mencapai puncaknya pada 10 Agustus 1949. Serangan itu tidak dimaksudkan untuk merebut kota, tapi semata-mata untuk memberikan kesan kepada musuh bahwa TNI masih kuat. Saat serangan, pasukan Belanda benar-benar terdesak sehingga mereka hanya melakukan serangan dari dalam tangsi-tangsi.
Pada akhirnya pasukan-pasukan TNI menghentikan semua kegiatan militernya dan menaati perintah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Pertempuran itu kemudian ditutup dengan serah terima Kota Solo yang dimediasi pihak UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
Slamet Riyadi gugur pada pukul 21.15 tanggal 4 November 1950 saat dia memimpin penumpasan terhadap pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 10 Juli 1950. (Widodo A, Dewan Redaksi TuguBandung.id)***