UDARA Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu pagi 18 Maret 2023 lalu masih terasa lembab. Sebab malam sebelumnya memang turun hujan. Ketika matahari pagi menjelang siang hari Sabtu itu mulai bersinar dan memanas, penulis melangkahkan kaki keluar dari penginapan. Tujuannya ke Alun-Alun Selatan untuk jalan kaki pagi sambil berjemur.
Merasa cukup dengan olahraga ringan itu, penulis melanjutkan jalan kaki melewati depan Pasar Gading yang memang bersebelahan dengan Alun-Alun Selatan. Pasar tradisional ini pada 2017 lalu merupakan pasar terbaik Jawa Tengah dalam kategori pengelolaannya. Pemerintah Kota Solo dan pengelola pasar di Jalan Veteran ini memang memiliki moto Rerajut Ati, artinya resik (bersih), ramah, jujur, aman, dan simpati.
Dengan moto tersebut, para pedagang didorong untuk menjalankan nilai-nilai itu selama berjualan. “Intinya, pembeli berbelanja di pasar ini merasa familiar,” kata Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Solo, Subagiyo. (solopos.com, Senin, 14/8/2017)
Tiba-tiba langkah penulis terhenti. Tidak lain karena mata penulis tertarik untuk membaca prasasti di bagian depan Pasar Gading. Prasasti yang sengaja dipajang pada bangunan atau tembok khusus itu berjudul “Prasasti Kebhaktian Rakyat”. Adapun isi selengkap berbunyi:
“Sesuai Serangan Umum 4 Hari terhadap Tentara Pendudukan Belanda di Sala, 7-10 Agustus 1949, pada hari Kemis Legi 11 Agustus 1949 Pasukan Belanda Green Cap KNIL telah melakukan pembantaian terhadap pejoang Kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Rakyat Tak Berdosa. 21 Orang Gugur dan 3 Orang Luka Parah di Kompleks Markas PMI di Rumah Dr. Padmonegoro, Gading. Untuk Menghormati Dharma Bhakti Rakyat dalam Perang Kemerdekaan, Setiap Generasi Bangsa Indonesia Hendaknya Terus Berjoang untuk Mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan Nasionalnya”.
“Gading, Sabtu Legi 22 Agustus 1987. Diresmikan oleh: Menteri Pertahanan Keamanan RI, Poniman”.
Di bagian bawah prasasti ini dituliskan 15 nama korban yang gugur dan 3 korban luka parah. Mereka yang gugur adalah Dr. Poernomo, Gito Taruno, Moelyono, Wiryo Taruno, Tjipto Tandio, Poespo Tjarito, R.A. Srihono, Supardi, Wongso Taruno, Suyadi Kartosuyono, Tukul, Kardjito, Sawarno, Soekadi, dan Sudarmo. Sedangkan tiga orang yang luka parah adalah Pratiknjo, Atmo, dan Anak Kecil.
Teror Baret Hijau
Kisah berikut ini sangat membantu kita untuk mengetahui sejarah pembantaian tersebut. Saat itu terjadi teror atau kekejaman oleh tentara baret hijau yang merupakan Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda. Mereka menebar maut usai diberlakukannya gencatan senjata. (Hendi Jo, historia.id, 11/2/2018)
Saat itu, Kamis, 11 Agustus 1949. Surakarta –nama lain Solo untuk penyebutan pemerintahan—mencekam usai diserang secara serentak oleh tentara. Suara rentetan tembakan sesekali masih terdengar. Kendati secara resmi sudah mulai diberlakukan lima jam sebelumnya, hawa perang masih terasa.
Di suatu rumah yang masuk dalam wilayah Kampung Gading, Harjoso kecil nyaris pingsan ketika dari balik jendela melihat serombongan tentara Belanda bergerak bagai hantu di sela-sela pagar. Hampir saja dia berteriak, jika Karsono sang paman tidak cepat membekap mulutnya.
“Untung saja mereka tidak melihat kami, mungkin karena suasana rumah saat itu gelap gulita…,” ungkapnya.
Tak ada yang tahu ke mana kelompok tentara itu bergerak. Yeng jelas, ketika siang sudah menjelang, Harjoso mendengar berita bahwa beberapa pasien, petugas dan dokter yang berdiam di sebuah pos PMI (Palang Merah Indonesia) dekat rumahnya, ditemukan telah terbunuh secara kejam.
“Rata-rata mereka disembelih dengan sangkur,” ujar lelaki kelahiran 77 tahun lalu itu.
Besar kemungkinan tentara Belanda yang dilihat Harjoso adalah para prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda). Sejatinya tentara berbaret hijau itu merupakan pasukan bantuan yang didatangkan dari Semarang, menyusul terdesaknya posisi Brigade V KNIL pimpinan Kolonel van Ohl di Surakarta.
Menurut Julius Pour dalam Ign. Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kenpeitai sampai Menumpas RMS, begitu sampai di Surakarta, KST ditempatkan di dalam lingkungan benteng Vastenbrug. Besok paginya mereka langsung bergerak ke rumah dr. Padmonegoro di Kampung Gading yang merupakan pos darurat milik PMI. Sesampai di sana, mereka mengobrak-abrik serta menyembelih tujuh petugas PMI dan 14 pengungsi yang tengah menjalani perawatan.
“Setelah puas beraksi di Kampung Gading, mereka bergerak ke Kampung Kratonan dan Jayengan,” ungkap jurnalis sejarah terkemuka itu seperti dikutip Hendi Jo.
Sementara itu, dalam waktu yang sama kelompok baret hijau lainnya menebar maut di Kampung Kebonan. Mereka menahan 22 penduduk sipil di sebuah rumah, menelanjanginya lantas menyembelih sembilan orang di antaranya. Salah seorang tawanan berhasil kabur dan melaporkan kejadian tersebut ke pos TNI terdekat.
“TNI lantas melakukan pengejaran dan penyergapan, pertempuran pun berlangsung seru dengan akhir mundurnya pasukan Baret Hijau kembali ke basis mereka di Beteng,” demikian menurut buku Pertempuran Empat Hari di Solo (Surakarta) dan Sekitarnya yang diterbitkan oleh Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brigade 17.
Secara keseluruhan aksi KST itu menimbulkan korban yang cukup besar. Menurut Julius Pour, ada 433 mayat yang ditemukan usai situasi Surakarta lepas dari teror Baret Hijau. Korban paling banyak ditemukan di wilayah Laweyan yakni sekira 300 mayat. Sebagian besar dari mereka tewas akibat disembelih atau ditusuk dengan menggunakan sangkur.
Terkesan menutupi-nutupi kejadian
Pihak Belanda sendiri terkesan ingin menutup-nutupi kejadian itu. Saat bertemu dengan TNI yang diwakili oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Kolonel van Ohl hanya bisa berjanji bahwa dirinya akan menarik secepatnya pasukan KST dan membawa para pelaku pembunuhan rakyat sipil ke pengadilan militer.
Pada 14 Agusts 1949, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. A.H.J. Lovink menulis surat kepada Menteri Seberang Lautan, J.H. van Maarseveen dan parlemen Belanda. Dia memohon agar peristiwa pembantaian rakyat sipil di Surakarta bisa dirahasiakan. “Sebab akan sangat merugikan kehormatan pemerintah Kerajaan Belanda …,” demikian seperti dikutip Julis Pour dalam bukunya.
Dua puluh tahun kemudian, Insiden Berdarah di Surakarta dimasukkan dalam De Excessennota sebagai salah satu dari 110 kasus tindak kekerasan militer Belanda selama Aksi Polisional 1946-1949.
Tahun 2016, peneliti sejarah Belanda, Remy Limpach dalam De Brandende Kampongs van General Spoor (Kampung-Kampung yang Dibakar oleh Jenderal Spoor) menyebut bahwa istilah ekses sangatlah tidak tepat dan harus dikoreksi. Sebab, sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan militer Belanda selama 1946-1949 terbukti merupakan pembunuhan-pembunuhan yang dijalankan secara terstruktur.
Sebagai catatan, Limpach melakukan penelitian tidak hanya menelusuri dokumen-dokumen resmi militer Belanda. Secara detail, dia pun meneliti sejumah catatan harian para serdadu Belanda yang pernah bertugas di Indonesia pada 1946-1949.
Kisah kekejaman tentara Belanda di Solo tersebut hanyalah salah satu contoh. Mungkin kejadian senada –yang berkonotasi pelanggaran HAM– juga banyak terjadi di banyak daerah di Indonesia selama penjajahan Belanda. Karena itu wajar jika pada akhir Desember 2022 lalu, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta maaf atas pelanggaran HAM oleh pihak Belanda pada masa lalu di wilayah-wilayah atau negara jajahannya. (Widodo A, TuguBandung.id)***