TUGUBANDUNG.ID – Dalam era disrupsi digital yang salah satunya ditandai oleh krisis dalam bidang jurnalistik, harus tetap digaungkan tekad dan upaya mengusung humanisme dan keadaban komunikasi dalam bisnis media. Hal itu menjadi kunci untuk melanggengkan praktik jurnalisme bermutu dan sebagai upaya untuk tidak membunuh jurnalisme yang baik.
Hal itu menjadi benang merah dari Diskusi dan Bedah Buku “Menulis Features Edisi II dan Manajemen Surat Kabar (Paduan Ilmu, Pengetahuan, Seni, Nurani, dan Intuisi)” yang diselenggarakan secara virtual oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komuniksi (Aspikom) Korwil Jawa Barat, Sabtu 12 Maret 2022. Bedah buku menghadirkan penulis kedua buku yakni Dr Septiawan Santana Kurnia, Msi dan Dr Yuni Mogot Prahoro, dengan pemantik diskusi Guru Besar Komunikasi Fikom Universitas Padjadjaran Prof Dr Atwar Bajari, MSi dengan moderator Pemimpin Redaksi TuguBandung.id Erwin Kustiman. Kegiatan dibuka oleh Ketua Aspikom Jabar Dr Hj Ani Yuningsih, MSi.
Dalam paparannya, Atwar Bajari menegaskan disrupsi digital menjadi fenomena yang menggejala di berbagai bidang, tak hanya bidang jurnalistik. Namun, karena bidang jurnalistik berada dalam pusaran inti gelombang disrupsi ini, dampaknya menjadi sangat terasa. “Salah satu yang paling kentara dalam gejala instan yang kini menghinggapi jurnalisme digital kita. Tantangan besar itu adalah jurnalisme instan ketika konten media-media mainstream sekadar mengikuti konten yang viral di media sosial. Hal ini menjadi persoalan yang pada akhirnya terkai dengan bidang komunikasi secara praktis dan keilmuan,” ungkap Atwar Bajari yang juga Dewan Pembina Aspikom Korwil Jabar.
Jurnalisme instan itu, kata Atwar Bajari, adalah jurnalisme yang mengutip begitu saja sumber informasi misalnya dari media-media sosial. “Publik akhirnya disodori berita-berita yang sekadar terunggah secara cepat dan viral tanpa memedulikan dampak sosialnya. Inilah saatnya nilai-nilai mendasar jurnalisme tetap digaungkan sebetapapun sulitnya karena masalah disrupsi ini,” ujar Atwar yang juga Wakil Dekan I Fikom Universitas Padjadjaran.
Sementara itu, dalam paparannya, Septiawan Santana menjelaskan menulis feature seharusnya menjadi pilihan sadar seorang wartawan untuk menyampaikan informasi dengan penuturan yang hendak memancing atensi pembaca, bahkan secara emosional. Feature adalah upaya menyampaikan fakta tapi dengan gaya tutur seatraktif karya sastra.
“Saya tak hendak menafikan gejala ‘click bait journalism’ di ranah media digital. Akan tetapi, bisa dicoba bagaimana teknis menulis feature ini digabungkan dengan prinsip algoritma dan programatic yang kini menjadi kredo baru portal online. Saya kira, apapun mediumnya, penulisan karya jurnalistik yang dikemas dengan sentuhan humanis seperti feature bisa menjadi salah satu solusi teknis,” ungkap Septiawan.
Menulis dengan baik dilakukan untuk membuat pembaca terhibur dan menginspirasi. “Tulisan yang ‘inspiring‘ atau menginspirasi inilah yang dibutuhkan saat ini. Kita perlu menulis jujur, jelas, jernih juga jenaka bisa, dengan gaya feature. Yang diperlukan adalah iktikad para penulisnya untuk menjadikan sekecil apapun tulisannya memberikan sisi humanis yang menjadi naluri dasar manusia,” katanya menegaskan.
Di sisi lain, Yuni Mogot Prahara yang lama berkiprah di industri media dan kini berkecimpung di dunia akademik menegaskan tata kelola perusahaan media tetap mempersyaratkan keahlian manajemen. “Apapun platform medianya. Hal ini disebabkan bisnis media memiliki karakteristik yang khas karena produk yang dihasilkan adalah karya intelektual. Oleh karena itu, prinsip dan nilai-nilai etik tetap harus menjadi panduan,” ujarnya. (EK)***