Integritas Penyelenggara Pemilu Yang Dipertanyakan

Oleh : Dr. H. Ijang Faisal, M.Si)*

Pemilu 2024 merupakan hajat besar bagi rakyat Indonesia. Bahkan, secara syariat, Pemilu sangat menentukan masa depan bangsa dan negara karena Pemilu melahirkan para pemimpin Pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis menyangkut nasib rakyat. Oleh karena karena itu, parameter utama keberhasilan Pemilu adalah lahirnya para pemimpin yang dapat mengelola pemerintahan dengan baik (good governance).

Jika hari ini dan kemarin masih ada pemimpin yang korup, di-OTT-kan KPK dan ditangkap Kejaksaan serta diketok vonis hakim sebagai koruptor merupakan bukti, Pemilu kemarin “gagal”. Faktanya, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pilkada selalu “bermasalah”, sehingga berbagai upaya perbaikan banyak dilakukan, terutama perbaikan regulasi, walaupun hingga Pemilu 2019, beberapa masalah urgen tetap saja terjadi.

Salah satu persoalan mendasar yang sering kali menjadi “kambing hitam” banyak pihak, bahkan distempel sebagai sumber konflik dan cemooh publik adalah kinerja Penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu. Rekruitmen Penyelenggara Pemilu memang tidak dapat dilepaskan dari kentalnya nuansa politis karena mereka pekerja politik, sehingga acapkali bermuatan dan kepentingan politik. Yang terpilih bisa jadi wajah baru, bermain dalam track regulasi baru, dan situasi penyelenggaraan baru, tetapi masalah yang muncul kerapkali itu-itu juga: rendahnya integritas penyelenggara.

Uji Publik
Kendati untuk meng-clear-kan pesimistik terhadap integritas kinerja penyelenggara Pemilu telah dilakukan melalui inovasi penguatan pengawasan dengan dibentuknya DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). DKPP memiliki tugas utama memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu di semua tingkatan. Kinerja DKPP sempat memiliki trends positif dengan menjatuhkan sanksi pada puluhan, bahkan ratusan oknum Penyelenggara Pemilu yang “goblok”, baik melalui pemecatan, pemberhentian sementara, dan sanksi lainnya.

Jumlah sanksi yang dijatuhkan DKPP menjadi bukti nyata bahwa penyelenggara Pemilu yang paling bertanggung jawab atas masalah-masalah Pemilu, bahkan menumbuhkan pesimistik rakyat bahwa LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujr dan adil) Pemilu hanya menjadi jargon belaka.

Seharusnya, banyaknya penyelenggara Pemilu yang disanksi menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih baik dalam proses rekruitmen. Kecermatan dalam mempertimbangkan kapasitas, loyalitas, integritas, transparansi proses, dan membuka ruang yang cukup untuk semua pihak ikut terlibat, baik sebagai peserta seleksi maupun dalam pengawasan proses seleksi, menjadi hal urgen. Uji publik harus dilakukan tidak hanya bagi Penyelenggara Pemilu Tingkat Pusat, tetapi juga di daerah.

Bahkan, uji publik pun harus dilakukan dalam penetapan Panitia Seleksi. Panitia Seleksi harus memiliki banyak kelebihan dalam berbagai aspek dari para pesertanya, sehingga mereka memiliki standard tinggi dalam meloloskan peserta. Langkah yang blunder, jika Panitia Seleksi lebih “bodo” dari pesertanya.

Jangan kemudian membuat aturan, bahwa calon penyelenggara pemilu harus mempunyai pengalaman sebagai penyelenggara kepemiluan sementara timsel atau panitia seleksinya sendiri belum pernah mengalami sebagai penyelenggara pemilu, ini yang kemudian menjadi pertanyaan publik.

Panitia Seleksi
Kalau pembentukan Panitia Seleksi tertutup, inklusif, otoriter, dan dominan bermuatan kepentingan politik dan kelompok tertentu, menjadi petanda akan lahirnya Penyelenggara yang tidak professional. Jika hal itu terjadi, sama dengan sedang menggali kuburan kegagalan penyelenggaraan Pemilu.

Apalagi jika sejak pembentukan Panitia Seleksi kental dengan intervensi kekuatan partai politik yang sejatinya mereka cukup hanya sebagai peserta Pemilu. Partai politik berperan sebagai pemain dalam Pemilu, sehingga “haram” mengatur wasit. Jika terjadi wasit diintervensi, maka permainan akan kacau, konflik pasti terjadi, ketidakadilan sudah pasti dan itulah pertanda menuju Pemilu gagal.

Padahal, penyelenggaraan Pemilu tidak hanya mengorbankan anggaran negara yang sangat besar, pengorbanan pikiran, tenaga, dan bahkan pada Pemilu 2019 sampai jiwa rakyat. Penyelenggaraan Pemilu menentukan masa depan bangsa, negara, rakyat. Oleh karena itu, negara rela membayar mahal para penyelenggaran Pemilu dengan honor dan fasilitas yang luar biasa. Rakyat pun memaklumi karena di pundak merekalah nasib rakyat di masa depan. Keberadaan penyelenggara Pemilu tidak sekedar pekerja biasa; yang penting dibayar. Mereka harus mengabdikan diri dengan seluruh eksistensinya demi kesuksesan penyelenggara Pemilu dengan melahirkan pemimpin yang amanah.

Apalagi secara teoretis, persoalan sistem rekruitment yang hanya melihat kapasitas tanpa mempertimbangkan rekam jejak, terutama berkait sikap moral calon komisioner. Lemahnya integritas moral Penyelenggara, menurut Rannay (dalam Asfar, 2006) berpengaruh besar terhadap kehancuran sistem demokrasi. Perkembangan demokrasi menuntut penyelenggara Pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas dapat dipertanggungjawabkani.

Apalagi, demokrasi di Indonesia secara teoretis masih masa transisional. Proses demokrasi masih banyak dipandang sebagai tatanan aturan dan mekanisme semata, belum sepenuhnya mewujudkan pemerintahan yang benar-benar aspiratif dan membuka ruang partisipasi rakyat secara luas. Demokrasi Indonesia masih dikategorikan demokrasi mekanis, belum demokrasi substantif. Menurut Gaffar (2012) pada saat demokrasi dilihat hanya sebagai cara, maka demokrasi hanya dilihat sebagai mekanisme semata.

Akibatnya, praktik demokrasi yang tersisa menjadi sekedar mekanisme untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara, termasuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi. Demokrasi mekanis disebut Dahl (2011) sebagai ‘demokrasi poliarkal’ (polyarchal democracy); Demokrasi ditentukan oleh keberadaan proses.

Dalam proses itulah posisioning penyelenggara Pemilu sangat strategis dan menentukan. Mereka menjadi decision maker kualitas proses Pemilu. Termasuk merekalah (Timsel, KPU, Bawaslu dan DKPP) sebagai penanggung jawab utama kesuksesan Pemilu sekaligus yang menanggung dosa besar jika Pemilu menghasilkan pemimpin yang korup. ***

)* Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

Komentar