KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) -Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional (BGN), Dr. Gunalan, A.P., M.Si., menegaskan bahwa pemberdayaan UMKM, koperasi, BUMDes, dan kelompok masyarakat lokal sebagai pemasok utama merupakan kunci keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya di wilayah terdampak bencana, Senin (15/12/2025).
Saat ini terdapat 264 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah Sumatera yang dimanfaatkan sebagai dapur umum. SPPG tersebut berperan sebagai garda terdepan dalam penanganan bencana dengan menyediakan makanan gratis yang tetap memenuhi standar gizi.
“Yang kita berikan bukan sekadar makanan, tetapi asupan bergizi yang benar-benar diperhitungkan,” tegas Gunalan.
Menurutnya, pelaksanaan MBG bukan kegiatan seremonial, melainkan bagian dari strategi nasional BGN untuk memastikan program berjalan berkualitas, berkelanjutan, dan berdampak langsung pada ekonomi masyarakat.
Gunalan mengakui bahwa pada awal peluncurannya Januari lalu, MBG sempat dipersepsikan sebatas program berbagi makanan. Namun, hampir satu tahun sejak diluncurkan pada 6 Januari, MBG telah berkembang menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata.
“Di banyak desa terpencil dan wilayah berpenduduk jarang, dapur MBG kini menjadi pusat ekonomi produktif. UMKM rumahan mulai berinovasi. Bahan pangan yang sebelumnya terbuang, seperti pisang, kini diolah, dikemas dengan baik, dan disuplai ke dapur MBG,” jelasnya.
BGN menegaskan bahwa rantai pasok MBG idealnya sepenuhnya berbasis lokal. Namun di lapangan, masih terdapat SPPG yang berbelanja bahan pangan di pasar karena keterbatasan produksi lokal dan tuntutan administrasi.
Gunalan secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap praktik tersebut.
“Jika bahan pangan terus dibeli di pasar, yang diuntungkan hanya segelintir pihak. Harapan Bapak Presiden jelas: pangan dibeli dari rakyat, diolah oleh rakyat, dan kembali ke rakyat melalui anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.”
Ia menegaskan, prinsip dasar MBG adalah pangan diproduksi oleh rakyat, diolah oleh rakyat, dibeli oleh negara, dan dikonsumsi oleh rakyat.
Secara nasional, hingga saat ini telah beroperasi 17.362 SPPG, didukung lebih dari 736 ribu petugas lapangan, dengan penerima manfaat mencapai 44 juta jiwa. Rantai pasok MBG juga melibatkan lebih dari 40 ribu supplier.
Dampak ekonomi program mulai terlihat nyata di sejumlah daerah. Di Sulawesi Utara serta Blora–Grobogan, masyarakat yang sebelumnya bekerja di sektor informal bahkan memilih kembali ke sektor pertanian.
“Masyarakat kembali ke pertanian. Ini sinyal yang sehat bagi ekonomi desa,” ujar Gunalan.
Ke depan, peran UMKM diproyeksikan semakin krusial untuk mendukung keberlanjutan MBG pada 2025–2026. Di Jawa Barat, yang memiliki peran strategis secara nasional, ditargetkan 4.600 SPPG, dengan 3.999 telah beroperasi. Program ini didukung 179.609 petugas, lebih dari 9.000 supplier, serta jangkauan penerima manfaat yang luas.
Gunalan berharap Jawa Barat dapat menjadi role model nasional dalam pelibatan UMKM pada Program MBG. Untuk itu, kemitraan difokuskan pada beberapa aspek utama:
1. Pemahaman UMKM dan kelompok masyarakat terhadap mekanisme kemitraan dengan SPPG.
2. Pemenuhan standar keamanan pangan, higienitas, dan legalitas sesuai SOP dan juknis.
3. Sertifikasi seluruh mitra dengan kemitraan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
4. Tindak lanjut konkret melalui diskusi aktif dan terukur.
BGN mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi dengan fokus pada pemberdayaan UMKM berbasis wilayah, standarisasi kebutuhan pangan, serta integrasi data pengawasan rantai pasok.
“MBG bukan proyek sesaat. Ini investasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Jika dikerjakan bersama dan benar, manfaatnya akan kembali ke rakyat,” tutup Gunalan.***









Komentar