Oleh FADIA ZAHRA
Kandidat Sarjana Pendidikan Sosiologi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia

PRO-KONTRA terhadap fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) setidaknya memuat dua isu utama. Pertama terkait dengan sikap dan perlakuan masyarakat terhadap eksistensi perilaku tersebut. Kedua tentang bagaimana negara seharusnya menyikapi dan memperlakukan para pelakunya. Hingga hari ini dua isu ini masih belum melahirkan solusi konkrit dan tegas.
Kontroversi terbaru misalnya tentang Rancangan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang dinilai tidak mengandung larangan dan hukuman tegas terhadap para pelaku LGBT. Pandangan apakah perilaku tersebut bersifat kodrati, penyakit medis, psikologis, patologis atau kategori lain, masih mewarnai perdebatan diskursus ini.
Namun, di waktu yang sama, berbagai survei menunjukkan terjadinya tren kenaikan jumlah pelaku LGBT. Bahkan, sebagian pelakunya mulai lebih berani mengekspresikan perilaku mereka di ruang-ruang publik, terutama di media sosial. Apabila situasi demikian dibiarkan tanpa solusi yang bersifat sistimatis dan struktural, besar kemungkinan fenomena LGBT semakin marak.
Belajar dari negara tetangga, di Thailand perilaku LGBT terutama transgender tumbuh sangat subur. Bahkan disana terdapat delapan belas identitas gender. Faktor pendukungnya antara lain berhubungan dengan kepercayaan, kebiasaan dan budaya. Indonesia sendiri sebetulnya memiliki banyak perbedaan fundamental dengan Thailand, terutama dalam hal kepercayaan, dimana agama Islam secara tegas mengutuk perilaku LGBT.
Meski ada tafsir “pinggiran” yang liberal, namun pengikutnya sangat minor. Terbukti dalam berbagai survei menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat tidak merekognisi perilaku LGBT. Misalnya survei yang pernah dilakukan SMRC tahun 2017 yang menyebutkan 88 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa LGBT mengancam, dan 81 persen setuju bahwa gay dan lesbian dilarang agama.
Meski sebagian besar masyarakat memandang negatif LGBT, namun tidak serta-merta mereka melakukan “perlawanan” secara masif. Pada umumnya masyarakat hanya menyayangkan di dalam hati, atau menasehati melalui narasi. Sebagian besar melawan secara lunak (soft), apalagi tidak didukung oleh hukum yang tegas dan keras.
Meski belum ada hukum positif yang tegas, upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT tetap dapat dilakukan secara sosiologis. Salah satu caranya adalah dengan memutus mata rantai “penularan” perilaku LGBT. Saya meyakini jika antar pelakunya tidak “terhubung” satu sama lain, maka ekspresi-ekspresi LGBT dapat ditekan signifikan.
Selama ini fenomena LGBT terutama di kalangan remaja tumbuh subur karena adanya “jejaring sosial” (social network) antar pelakunya. Bahkan, umumnya kolektivitas dan solidaritas antar mereka terjalin sangat kuat. Sehingga mereka tidak hanya mampu membuat komunitas sendiri, namun menjadi gerakan yang memiliki agenda-agenda sistimatis untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Tiga Lingkaran
Untuk itu, solusi sosiologis dapat dilakukan di tiga lingkaran, yakni level keluarga, pertemanan dan institusi pendidikan. Selain dibutuhkan komunikasi yang sehat dan harmonis di ketiga lingkaran tersebut, mekanisme pengawasan antar sesama perlu diterapkan.
Di lingkaran keluarga, orang tua harus bisa menjadi solusi atas masalah yang dihadapi oleh anak-anak mereka. Orang tua yang kurang berperan sebagai panutan dan tidak mampu menciptakan suasana keluarga harmonis dapat menimbulkan perasaan tidak aman dan nyaman bagi anak.
Menurut penelitian, orientasi seksual seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga di mana ia tumbuh dan berkembang. Pengalaman keluarga yang tidak harmonis, seperti konflik atau terdapat kasus kekerasan didalam rumah tangga, akan berdampak negatif untuk kesehatan mental emosional seseorang. Selain itu, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil atau tidak aman lebih berpeluang mengalami stres, depresi, atau kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat di masa dewasa.
Beberapa indikator disharmonisasi keluarga yang dapat memicu perilaku LGBT antara lain: konflik dan pertengkaran orangtua, peran seorang ayah yang tidak ideal, trauma dari pengalaman keluarga dan saudara, dan pola asuh orangtua yang tidak efektif. Kondisi tersebut menyebabkan remaja mengalami gangguan emosional, masalah perilaku, rendahnya harga diri dan rasa percaya diri, gangguan kesehatan, kesulitan dalam membentuk hubungan sosial, dan terhambatnya kesadaran beragama anak.
Selain di lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan dan lembaga pendidikan juga berkontribusi dalam membentuk karakter remaja, serta mencegah perilaku LGBT. Mereka yang memiliki gejala perilaku seksual menyimpang harus ditemani dan didampingi, bukan malah dijauhi, apalagi di-bully. Jika mereka mengalami diskriminasi dari kehidupan sosial normal, dikhawatirkan mereka justru akan lari dan merasa lebih nyaman dengan komunitas sesama pelaku LGBT.
Lingkungan sosial dan pendidikan harus ikut bertanggungjawab dalam menciptakan iklim komunikasi dan sosialisasi yang sehat. Karena jiwa dan raga yang sehat membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk berperilaku normal. ***
Komentar