Penulis : Yudha Syahid Adhiawardana
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan
Gambaran Umum
Sistem pendidikan Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Tantangan semakin kompleks, mulai dari ketertinggalan dalam kancah global yang tercermin dari skor PISA (berdasarkan hasil PISA terbaru, skor Indonesia untuk literasi, matematika, dan sains masih berada di bawah rata-rata negara-negara OECD), hingga problematika karakter dan moral yang kian meresahkan.
Situasi ini semakin diperparah dengan disrupsi yang ditimbulkan pandemi Covid-19. Data UNESCO menunjukkan bahwa persentase penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan literasi fungsional masih tergolong rendah.
Dinamika pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan seiring dengan pergantian tampuk kepemimpinan dan perubahan institusi kementerian, yang semula Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), berkembang menjadi tiga kementerian, diantaranya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Adagium “ganti menteri, ganti kurikulum” yang terlanjur melekat di benak publik, kembali dipertanyakan relevansinya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., mengusung konsep Deep Learning dan “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” sebagai fondasi kurikulum baru.
Perubahan ini menimbulkan beragam pertanyaan, “mampukah kurikulum baru ini menjawab tantangan pendidikan di Indonesia? Bagaimana organisasi kurikulum yang akan diterapkan? Apakah akan berbeda secara signifikan dengan kurikulum sebelumnya?”.
Telaah mendalam berikut ini akan mengupas tuntas perubahan organisasi kurikulum yang tengah digulirkan, membandingkannya dengan kurikulum sebelumnya, serta menganalisis dampaknya bagi masa depan pendidikan nasional.
Analisa Perubahan
Kurikulum baru yang digagas oleh Mendikdasmen, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., menghadirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan Indonesia.
Berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang cenderung berfokus pada penguasaan konten dan hafalan, kurikulum ini lebih menekankan pada pembelajaran mendalam (deep learning) dan pembentukan karakter melalui penerapan “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”.
Deep learning dalam konteks ini bukanlah sekadar pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan, melainkan sebuah pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, analitis, dan kreatif.
Siswa tidak hanya diajak untuk memahami “apa” yang dipelajari, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana” pengetahuan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Tujuh kebiasaan yang diintegrasikan dalam kurikulum ini, yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat, diharapkan dapat membentuk karakter siswa yang tangguh, mandiri, dan berakhlak mulia.
Dengan demikian, kurikulum baru ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga mengembangkan seluruh potensi mereka, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Contohnya, sekolah dapat mengintegrasikan kebiasaan ‘bangun pagi’ dengan mengadakan kegiatan senam pagi bersama sebelum jam pelajaran dimulai. Atau, kebiasaan ‘bermasyarakat’ dapat diwujudkan melalui kegiatan bakti sosial dan kunjungan ke panti asuhan.
Salah satu perubahan signifikan dalam organisasi kurikulum baru ini terlihat jelas ketika kita membandingkannya dengan Kurikulum Merdeka yang digulirkan sebelumnya.
Kurikulum Merdeka, yang memberikan keleluasaan bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulumnya, kini mengalami pergeseran dengan adanya penekanan pada deep learning dan “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”.
Dalam Kurikulum Merdeka, struktur kurikulum lebih sederhana dan fleksibel, dengan fokus pada pencapaian kompetensi esensial. Sekolah diberikan otonomi untuk mengembangkan dan menyesuaikan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.
Sementara itu, kurikulum baru ini tampaknya akan lebih terstruktur, dengan penekanan pada penguatan mata pelajaran inti dan integrasi “7 Kebiasaan” dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Meskipun fleksibilitas tetap diberikan, arah dan tujuan pembelajaran tampaknya akan lebih diarahkan oleh kementerian.
Perbedaan juga terlihat dalam pendekatan pembelajaran. Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan bagi guru untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai, sementara kurikulum baru ini menekankan pada penerapan deep learning yang menuntut guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merancang pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan analitis.
Misalnya, dalam pembelajaran IPA, siswa tidak hanya menghafal rumus, tetapi juga diajak untuk melakukan eksperimen dan menganalisis data secara mandiri. Atau, dalam pembelajaran IPS, siswa diajak untuk berdiskusi dan memecahkan masalah sosial di lingkungan sekitar.
Dalam hal penilaian, kedua kurikulum sama-sama menekankan pada asesmen kompetensi minimum dan penilaian proses. Namun, kurikulum baru ini diharapkan dapat lebih mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam penilaian untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan komprehensif tentang perkembangan siswa.
Berbagai permasalahan pendidikan yang ada saat ini, seperti ketertinggalan dalam kancah global, rendahnya kemampuan literasi dan numerasi, serta merosotnya nilai-nilai moral di kalangan pelajar, diharapkan dapat diatasi dengan penerapan kurikulum baru ini.
Namun, di balik harapan tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Pertama, kesiapan guru dalam menerapkan pendekatan deep learning dan mengintegrasikan “7 Kebiasaan” dalam pembelajaran.
Guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat merancang pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
Kedua, ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung. Deep learning menuntut adanya lingkungan belajar yang interaktif dan mendorong eksplorasi. Oleh karena itu, sekolah perlu menyediakan fasilitas yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, dan akses internet yang stabil.
Ketiga, isu kemungkinan kembalinya Ujian Nasional (UN). Wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik dan masyarakat. Jika UN benar-benar diberlakukan kembali, perlu dipastikan bahwa pelaksanaannya tidak menimbulkan tekanan berlebihan bagi siswa dan guru, serta tidak mengesampingkan proses pembelajaran yang bermakna.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, perlu adanya upaya yang sistematis dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan dan pendampingan bagi guru, meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana, serta melakukan kajian yang mendalam terkait isu UN.
Sekolah perlu proaktif dalam mengembangkan kapasitas guru dan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Orang tua juga memiliki peran penting dalam mendukung proses belajar anak dan menanamkan “7 Kebiasaan” dalam kehidupan sehari-hari.
Pergeseran dari Kurikulum Merdeka yang fleksibel ke kurikulum yang lebih terstruktur ini menimbulkan beragam pertanyaan dan tantangan. Namun, jika diimplementasikan dengan baik dan didukung oleh semua pihak, kurikulum ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan menghasilkan generasi yang berkarakter kuat, mandiri, dan berprestasi.
Tentunya, perjalanan menuju transformasi pendidikan tidaklah mudah. Perlu adanya kerja sama dan komitmen dari semua stakeholder, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, guru, orang tua, hingga masyarakat luas.
Diskusi dan evaluasi secara berkelanjutan juga sangat penting untuk memastikan bahwa kurikulum ini tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan kerja sama dan komitmen dari semua pihak, diharapkan kurikulum baru ini dapat mewujudkan transformasi pendidikan yang diharapkan.
Mari kita kawal bersama implementasi kurikulum baru ini demi mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik.***
Komentar