CISARUA BOGOR (TUGUBANDUNG.ID) – Pada zaman sekarang para seniman harus sudah memiliki kesadaran tentang hak cipta. Dengan memahami prinsip hak cipta, seniman selain melindungi karya-karyanya sendiri, juga dituntut menghargai karya-karya orang lain. Demikian dikatakan oleh budayawan Wina Armada Sukardi, di depan para penulis seluruh Indonesia yang tergabung di organisasi Satupena, di Cisarua Jawa Barat, Sabtu malam, (31/9/2024).
Pada acara Writing Retraet itu Wina menjelaskan, tanpa mengetahui prinsip-prinsip hak cipta, seniman dapat terjebak dalam lilitan ekonomi yang merugikan. Wina memberi contoh, sebelumnya banyak kelompok band Indoensia yang pada zamanya terkenal, tetapi kemudian tidak menambah kesejahtraan apa-apa, karena seluruh penghasilan dari kreativitasnya diambil produser.
“Padahal kalau saja mereka sadar soal hak cipta, mungkin kesejahtraan mereka sangat berbeda,” tegasnya.
Pada bagian lain Wina menjelaskan, para penulis khususbya para penyair perlu menghayati, puisi bukanlah prosa yang dipersingkat. Puisi, tambah Wina, juga bukanlah untaian kata-kata indah saja. “Karya puisi merupakan refleksikan diri kita,” ujar Wina.
Sastrawan dan kritikus film itu, menilai banyak karya puisi belakangan ini tidak dapat dinilai sebagai sebuah puisi. Kenapa? “Karya karya-karya itu sejatinya belum menjadi puisi,” sindir Wina yang buku puisinya serbabenda ‘Cangkul Berdarah’ pada tahun ini mendapat anugrah MURI.
Pembicaraa lain, Guru Besar ITB, Didin Damanhuri, memaparkan menulis selain merupakan kesenangan sebenarnya dapat mengubah peradaban dunia. Didin menunjuk beberapa contoh buku yang telah mengubah dunia. “Makanya jadi penulis juga harus punya integritas,” kata mantan Ketua Dewan Pers itu.
Menurut Didin, seorang penulis perlu memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ketika menulis memiliki data dan argumentasi yang kokoh.
Sementara itu Ketua umum Satupena, Denny J.A., dalam penutupan menguangkap ada masalah besar dalam penulisan dan kebudayaan, yakni pemakaian artifisial intelegnl (AI). Menurut konsultan politik ini, kemajuan teknologi telah menciptakan proses kreatif yang sangat berbeda dari zaman sebelumnya. Kalau dahulu kita mememerlukan orang sebagai asisten kini asisten kita telah beribah ke AI.
“Tinggal bagaimana kita memanfaatkan AI tersebut,” katanya.
Denny mengakui, sampai saat ini, masih terjadi perdebatan terhadap posisi AI, baik dari aspek kreatifitas berkesenian maupun dari aspek yuridisnya. Menurut Denny, zamanlah kelak yang bakal membuktikannya.***