SPIRIT sosial “ngajaga lembur, akur jeung dulur, sarta panceg dina galur” harus senantiasa mengerangkai langkah dan kebijakan para elite politik di Tatar Jawa Barat. Semangat sosial serupa juga selayaknya terus dipertahankan kehadirannya oleh segenap masyarakat di provinsi ini.
”Semangat itulah yang telah terbukti membuat Jawa Barat aman, khususnya dalam dimensi sosial politik selama kurun belasan tahun terakhir,” demikian pernyataan yang disampaikan sesepuh Jabar Tjetje Hidayat Padmadinata atau THP di Bandung, dalam sebuah wawancara sekira lima enam tahun lalu.
Dalam usia di atas kepala delapan kala itu, pemikiran sang politisi lintas zaman tetap jernih dan memberi inspirasi positif khususnya bagi para politisi dan elite era kini yang usianya jauh terpaut.
“Ngan panon Akang mah geus teu pati awas. Jadi Akang sudah tidak bisa lagi menulis seperti sebelumnya. Buat Akang sekarang tidak ada yang namanya perbedaan aliran politik, semua dianggap saudara dan sahabat,” ucap Tjetje yang memang selalu “ngaakangkeun” kepada siapapun tak peduli usianya setara, lebih tua, dan mereka yang bahkan jauh lebih muda. Sebuah sikap yang menunjukkan sikap egaliter dalam pergaulan.
Wajar jika kemudian Kang Tjetje Hidayat Padmadinata yang berkiprah sebagai politisi sejak era Soekarno, Soeharto, serta awal reformasi adalah figur “pananyaan” siapapun yang hendak masuk atau menjadikan Jabar sebagai kantung politik. Uniknya, Kang Tjetje sangat akrab dengan siapa saja tak peduli “baju politiknya” apa. Ia juga sangat dekat dengan para aktivis mahasiswa dari zaman ke zaman.
Pesannya yang selalu membekas adalah spirit pakusarakan atau jaga lembur di bumi Siliwangi yang tidak boleh mati. “Itu soal kepentingan dan kehormatan Jawa Barat,” ujar Tjetje yang segenap hati selalu menegaskan bahwa para aktor politik di daerah, khususnya dari Tatar Sunda, jangan pernah jadi “subordinat” para elite politik ibu kota.
Sejarah, kata Kang Tjetje, membuktikan bahwa unsur-unsur elite di Jabar yang berhasil adalah mereka yang menyadari bahwa bukan pendekatan kekuasaan formal tetapi pendekatan kultural yang harus dipraktikkan kepada masyarakat di Jabar ini.
”Pendekatan personal dan dekat kepada masyarakat alih-alih adigung dan kumaha aing nu dibendo, jauh lebih meresap pada sanubari masyarakat Jabar. Dari zaman ke zaman, tipikal kepemimpinan demikianlah yang membuat masyarakat Jabar hormat kepada pemimpinnya,” kata Tjetje Hidayat Padmadinata yang juga salah seorang pendiri Angkatan Muda Siliwangi ini.
**
RABU 9 November 2022, kabar menyentak itu masuk ke berbagai grup Whatsapp. Dr (HC) Tjetje Hidayat Padmadinata atau Kang Tjetje yang dikenal publik sebagai pengamat politik, budayawan, kolumnis, dan sesepuh Jawa Barat telah dipundut ku Nu Kawasa. Parantos mulih ka jati mulang ka asal.
Ia mengembuskan napas terakhirnya di usia 89 tahun setelah sempat dirawat karena sakit di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada pukul 16.45 WIB. Untaian duka cita dan doa mengalir dari banyak pihak membuktikan jejak pergaulan dan relasinya yang tak terbatas.
Almarhum disemayamkan di kediamannya di Jalan Sagitarius, Batununggal, Kota Bandung. Pemakaman akan dilakukan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gumuruh pada Kamis (9/11/2022) pukul 08.00 WIB.
**
DI tengah gegap gempita kapitalisme politik saat ini, inspirasi yang dapat dipetik dari mendiang Tjetje Hidayat Padmadinata adalah keteguhannya pada prinsip dan idealisme.
“Cita-cita Akang mah ti baheula, embung jadi dunungan embung jadi pagawe. Saya tak pernah bercita-cita menjadi penguasa apalagi mengabdi demi kekuasaan. Pantang buat Akang untuk meminta-minta jabatan apalagi masuk dan terlibat dalam oligarki kekuasan,” demikian kalimat yang masih terngiang dari mendiang.
Tjetje Padmadinata adalah juga tipikal politisi cum akademikus. Ia melalap semua buku-buku politik dan juga banyak belajar kepada para tokoh pergerakan nasional. Ciri unik yang melekat padanya adalah kemampuannya dalam menulis. Jauh sebelum usia menggerogoti penglihatannya, Tjetje adalah penulis produktif. Ratusan tulisannya banyak dimuat di berbagai media cetak, khususnya sejak 1960-an sampai dengan pertengahan 2000-an.
Selain berkiprah dalam perpolitikan bangsa ini pada awal tumbangnya rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga awal reformasi, menulis telah menjadi sarana beraktualisasi bagi seorang THP. Tulisannya tersebar di berbagai media massa cetak Jawa Barat sejak 1960-an. Tentu, apresiasi tinggi patut diberikan untuk ketekunan dan konsistensi menuangkan karya intelektual demi terus menyemai daya kritis dan keadaban.
Dalam beberapa buku yang ditulisnya, semakin tampak karakter pemikiran THP yang tidak mau terbelenggu pada kecenderungan primordialisme sempit dan sektarianisme. Meski berbicara soal Sunda dan kesundaan, inklusivitasnya tampak tegas , misalnya, ketika menyoal tentang eksistensi etnis keturunan. Inklusivisme yang digagas THP ternyata tetap relevan dengan situasi saat ini, di tengah begitu rapuh dan rentannya simpul sosial secara nasional.
”Kang Tjetje itu Sunda kosmopolit,” kata Frances Affandi, seorang Amerika yang bisa sangat nyunda, mengomentari Tjetje. Kecintaan pada budaya Sunda (Tjetje bisa menitikkan air mata saat mendengarkan tembang cianjuran) tak mencegahnya membuat komentar kritis atau tulisan tajam ihwal sebagai bentuk perlawanan terhadap realitas ketidakadilan. Bahkan, bagi mereka yang juga berasal dari etnis Sunda. “Kang Tjetje mah Sunda mahiwal,” kata sementara kalangan dengan nada guyon.
Sang tokoh Sunda yang mahiwal dan jadi tempat pananyaan sarerea itu telah menemukan tempat abadi. Itulah pakusarakan sejatinya. Pileuleuyan Kang Tjetje, mugia dicaangpadangkeun di alam kalanggengan. (Erwin Kustiman/Tugubandung.id)***