TASIKMALAYA, (TUGU BANDUNG).- Pemanfaatan infrastruktur digitalisasi dalam subsektor ekonomi kreatif bidang kriya itu sangat penting. Tapi yang lebih penting adalah produk yang dipasarkan.
“Yang harus difahami supaya masyarakat terbangun, kriya di Tasikmalaya sudah ada dan sudah sangat berkembang,” kata Komisi X DPR RI Ferdiansyah usai membuka Forum diskusi pemanfaatan infrastruktur digital bagi pelaku kreatif Subsektor Kriya di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya di Hotel Cordela, Kota Tasikmalaya, Selasa (28/2/2023).
“Jadi saya tegaskan digitalisasi atau infrastrultur atau pun mengenai teknologi 4.0 mengarah 5.0 itu pendukung utama. Tapi sebenarnya hal yang paling utama itu adalah produk-produk yang dipasarkan melalui e-commers. Sementara produk dikemas untuk menunjang segala digitalisasi,” sambungnya.
Untuk diskusi ini, kata Ferdiansyah, perlu juga menggali dalam persamaan persepsi. “Kita bersama-sama menginventarisasi data. Karena hari ini, ternyata kita belum punya data kongkrit. Bukan tidak ada data. Yang kita inginkan data yang kongkrit,” katanya.
Oleh karenanya, lanjut Ferdiansyah, ketika menghitung, dulu Indonesia ada subsektor pelaku sebanyak 1.153.000 subsektor pelaku kriya.
“Sehingga kita bisa mengatur dan membuat peta jalan, berapa seharusnya yang bisa dilakukan setiap tahunnya untuk pembinaan subsektor kriya terkait dengan digitalisasi. Kalau kita tidak punya data itu akan sulit membuat peta jalan,” ujarnya.
Lebih lanjut Ferdiansyah menyebut, dalam diskusi ini supaya persamaan persepsi bahwa kriya itu bukan kriya jaman dahulu lagi, tapi kriya yang disesuaikan dengan kondisi dan permintaan pasar
Sehingga, kata Ferdiansyah, kriya itu bisa perpaduan antara besi, antara kain, antara kayu antara rotan dan lain sebagainya tidak menutup kemungkinan juga misalnya perpaduan silang ini juga menarik
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan kulitas produknya adalah pembinaan.
“Jadi ketua dalam forum ini harus meminta kepada Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya itu adalah pembinaan terhadap sdm-sdm yang berkecimpung dalam ekonomi kraetif sub sektor kriya,” katanya.
Termasuk nanti, lanjut dia, pemanfaatan digitalisasinya untuk menunjang produk atau jasa yang dihasilkan.
Selain sdm, kata dia, potensi di Kota Tasikmalaya sangat banyak dan sudah menjadi rahasia umum produk-produk kriya, ada payung geulis, ada kelom geulis ada batik tulis, ada tikar mendong dan ada kerajinan yang ada di rajapolah.
“Itu tinggal dipilih mana yang menjadi fokus dulu. Makanya setiap kali Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf), membuat kegiatan, kami selalu menyiapkan untuk mengundang para pelaku atau pemangku kepentingan sambil melakukan pemetaan,” katanya.
Sebenarnya dari sub sektor ekonomi kreatif dibidang kriya, kata dia, untuk tasik yang sebenarnya sudah punya modal, itu mau yang mana dulu yang mau didahulukan.
“Itu harus dipilih tidak mungkin semuanya diambil. Di fokuskan, karena ini menyangkut dengan sdm juga biaya. Ada korelasi yang sangat berat,” katanya.
Disinggung digitalisasi di Tasikmalaya apakah sudah maksimal dimanfaatkan para pelaku ekonomi kreatif, ujar Ferdiansyah, masih belum. Paling pemanfataanya rata-rata masih 20 persen saja. Pemanfaatan digitalisasi oleh para pelaku ekonomi kreatif masih jauh dari harapan.
“Jika dimanfaatkan akan lebih maksimal. Saya mengajak kepada warga Tasikmalaya tidak usah bicara jauh-jauh nyari duit ke Jakarta dulu. Misalnya kebutuhan souvenir buat kawinan untuk di Tasikmalaya berapa,” ujarnya.
“Nah itu terkait data lagi, berapa warga Tasikmalaya yang berusia 20 sampai 30 tahun. Itu kan berpotensi untuk melakukan pernikahan, kaitannya ada resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan berarti terkait dengan souvenir,” sambungnya.
Kata dia, tergantung mau yang relatif murah sampai yang mahal. Jenisnya macam-macam bisa gantungan kunci, bisa kipas, bisa tempat sabun dan lainya jenisnya sangat banyak.
“Peluang pasar kriya di Tasikmalaya sendiri masih tinggi. Tinggal para pelalu ekonomi kretaif menangkap peluang pasar tersebut,” pungkasnya.***