FORUM silaturahmi besar rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 6-11 Februari 2023 lalu di Kota Medan, Sumatera Utara membawa berkah. Hal itu sangat dirasakan para wartawan senior dari seluruh Indonesia yang karena kesibukannya masing-masing jarang berjumpa. Dari sekitar sepuluh acara penting dengan beragam tema, para undangan jarang yang bisa menghadiri semuanya.
Beruntung malam itu –tanpa rencana– saya bersama dua wartawan anggota Tim Penerbitan Buku HPN, Djunaedi Tjunti Agus dan A.R. Loebis, “terbawa” mobil dinas Mahfudin Nigara, SE, MM, wartawan senior yang selama ini sering nongol di layar TV sebagai komentator olahraga sepakbola dan tinju.
Malam itu bapak tiga anak ini menghadiri acara penutupan Rakernas (Rapat Kerja Nasional) Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kehadirannya itu terkait jabatannya sebagai staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Bagi seorang wartawan lansia (lanjut usia), bisa menduduki jabatan staf khusus tersebut tentu saja karena jam terbangnya yang sangat tinggi. Mahfudin Nigara yang sebaya dengan penulis ini memang mempunyai banyak pengalaman kerja, baik internal maupun eksternal perusahaan pers.
Berangkat sebagai wartawan olahraga di banyak media besar (Majalah Olympic, Harian KOMPAS, Mingguan BOLA, Media GO, Harian Sinar Pagi, dan Harian Berita Buana), pria kelahiran Jakarta 3 Maret 1957 itu pernah menjadi Direksi PPK-GBK (Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno) dan Direktur Media Bakrie Group.
Dalam karier berorganisasi, MN atau Nigara –panggilan akrabnya– antara lain pernah menjadi Humas PB FORKI, Wakil Sekretaris Jenderal PWI, Sekjen INKAI, Anggota Dewan Pakar PSSI dan Anggota Komdis PSSI serta Ketua Bidang Umum KONI Pusat.
Pengalamannya meliput olahraga di mancanegara sungguh sangat banyak, baik di Amerika Serikat, Eropa, maupun kota-kota besar lain di Asia. Pengalaman itu dia tulis menjadi sebuah buku berjudul “DIPLOMASI KERUPUK UDANG, Cuplikan Perjalanan Mahfudin Nigara, SE, MM, Alias si Empuk anak Gang Eddy”.
Buku setebal 270 halaman itu berisi 13 bab. Isinya berkisah tentang perjalanan dan hasil liputan: Galatama, Tim Nasional 1989, Kurniawan Dwi Yulianto, Kejuaraan Antarklub Asia 1986, Pra Piala Dunia 1986, Pra Piala Dunia 1990, Piala Eropa 1992, Thomas Americo dan Tinju Dunia, Multievent, Karate, Sepeda, Yang Tercecer, dan Dari Sana Sini.
Sebetulnya buku yang diawali dengan Catatan Sumohadi Marsis (almarhum) itu telah dicetak tahun 2013. Namun rupanya hingga momentum peringatan HPN 2023 masih tersisa dan dibagikan di acara Rakernas Siwo PWI di Medan tersebut. Berkat silaturahmi dadakan, alhamdulillah saya pun mendapat bagian.
Diplomasi kerupuk udang
Judul buku ini diambil dari salah satu tulisan Nigara di halaman 112, kisah perjalanan saat dia meliput Piala Dunia di Italia. Sebetulnya tulisan dengan judul-judul yang lain isinya juga sangat menarik, tetapi judul “Diplomasi Kerupuk Udang” yang dipilih tentu saja mengandung kisah dengan nilai keunikan yang lebih, minimal berbeda dari yang lain.
Kisahnya antara lain begini, jauh sebelum berangkat ke Italia untuk meliput Piala Dunia bersama Sumohadi Marsis dan Effendy Gazali (mahasiswa UI saat itu), koresponden Mingguan BOLA di Roma, Italia, Rayana Djakasurya memesan batik dan kerupuk udang. “Beli yang mentah aja, di Pasar Senen banyak,” kata Rayana melalui telepon.
Empat hari sebelum berangkat, mertua Nigara, Sri Sumasning, membelikan 20 kantong kerupuk udang. Satu kantong isinya ada tiga buah. Selain itu, sang mertua juga membawakan rendang kering, keripik kentang, abon, serta mi instan. Tak lupa batik-batik murah dengan ukuran besar dan sedang.
Waktu pertama bertemu di Bandara Leonardo Da Vinci, Roma, Italia, Sabtu pagi (2/6/1990), pertanyaan Rayana hanya satu: “Bawa kerupuknya?”
Ketika dikatakan bahwa Nigara membawa kerupuk dimaksud, wajah Rayana –guru sejarah di Kedubes RI, Roma– itu sumringah. Namun saat kerupuk itu diserahkan di hotel, Rayana menolak. “Bukan buat gua,” katanya.
Singkat cerita, saat mereka menuju press center untuk mengurus ID Card, di pintu gerbang pertama Rayana tertahan. Dia memang terlambat untuk mendaftarkan diri.
Esoknya, sebelum kembali ke tempat yang sama, Rayana meminta beberapa bungkus kerupuk udang. Entah untuk apa, dia sama sekali tak menceritakan apapun. Anehnya hari kedua Rayana bisa lolos dari gerbang pertama, padahal penjagaan sangat ketat. Carrabinieri atau polisi berbaju biru dengan senapan otomatis tak kenal kompromi.
Hari ketiga langkah Rayana lebih maju lagi. Dia bisa sampai pada gerbang ketiga tempat di mana ID Card dan seluruh data berada. Nigara melihat Rayana begitu asyik berbincang dengan beberapa petugas. Akrab sekali.
Rayana juga tidak pernah mau menceritakan kenapa ia setiap hari mengalami kemajuan? Pokoknya dia hanya tertawa kalau ditanyakan hal itu.
Hari berikutnya, Rayana tidak jalan bersama Nigara dan Sumohadi Marsis karena ada mata pelajaran sejarah di sekolah KBRI. Namun betapa terkejutnya Nigara ketika siang sekitar pukul 15.00, tiba-tiba Rayana muncul di dalam press room. Lebih terkejut lagi, ia sudah mengenakan ID Card meski hanya pas harian.
“Mana mungkin itu?” tanya Nigara dan beberapa teman wartawan Indonesia yang ikut meliput.
“Ini Italia, semua serba memungkinkan,” jawab Rayana. “Asal tahu jalannya, semua menjadi mungkin,” katanya lagi meyakinkan.
Setelah didesak, Rayana akhirnya mau juga membuka kartunya. “Di sini kerupuk udang itu mahal sekali dan menjadi makanan penutup. Nah, kerupuk itulah yang berbicara dan memberikan ID Card ini,” tutur anak Banten itu yang fasih sekali berbahasa Italia.
Rupanya, setiap hari Rayana membawa dua bungkus kerupuk udang, dan dengan kerupuk itu dia melakukan berbagai pendekatan. “Kalau dikasih duit, kita dibilang menyuap, hukumannya berat,” ujar Rayana menjelaskan. “Tapi kalau dikasih kerupuk, mereka menganggap itu bukan suap, tapi mereka sangat senang sekali,” katanya lagi.
“Ya, ternyata diplomasi kerupuk udang itulah yang membawa Rayana akhirnya masuk ke press room,” ujar Nigara.
Perasaan malu
Nigara mengaku bukunya ini tertunda bertahun-tahun. “Ada-ada saja halangan yang membuat saya membatalkan niat untuk menerbitkannya. Salah satunya adalah perasaan malu, apakah kisah-kisah ini pantas saya publikasikan? Apakah cukup untuk membantu mereka para wartawan muda? Atau apa saja bisa menjadi penghalangnya”.
Namun almarhum Valens Goa Doy, mantan bos dan guru Nigara, memberikan dorongan agar Nigara menyelesaikan tulisan kisah-kisah tersebut untuk kemudian diterbitkan sebagai buku.
Pada akhirnya, setelah terbit, Nigara mempersembahkan bukunya ini untuk orang-orang yang pernah membimbingnya, terutama orangtua, istri dan anak-anaknya, serta para wartawan yang menjadi sahabatnya di Senayan. “Juga saya tujukan untuk para penerus wartawan olahraga atau bagi mereka yang ingin menjadi wartawan olahraga. Semoga bermanfaat,” kata Nigara. (Widodo Asmowiyoto, TuguBandung.id)***