AKHIR November 2022 lalu saya dan istri melewati Jalan Tol Trans-Jawa. Tentu saja termasuk Tol Cipali di wilayah Kabupaten Subang. Naik mobil kijang sewaan. Berangkat dari (Tol) Solo sekitar pukul 9 pagi. Tiba di rumah di dekat pertigaan Tol Kopo, Bandung sekitar pukul 15 sore.
Jadi lama perjalanan 6 jam menempuh jarak lebih kurang 450 km. Itu sudah termasuk 3 kali istirahat sekitar 1 jam di 3 rest area, untuk makan siang, salat, dan ke toilet. Dengan lama perjalanan tersebut berarti rata-rata kecepatan mobil sekitar 80 km/jam. Ada saatnya lebih lambat, tapi sebaliknya bisa lebih cepat dari 80 km/jam itu.
Mobil terpaksa mengurangi kecepatan saat jauh di depannya terdapat truk-truk yang berjalan lambat karena sarat muatan. Untuk mendahului truk yang berada di lajur kiri itu, ada kalanya mobil kami terpaksa harus melalui sebelah kiri truk. Mengapa? Karena di lajur kanan juga sedang banyak mobil lain.
Demikianlah kira-kira suasana arus kendaraan di jalan Tol Trans-Jawa pada hari-hari biasa. Mungkin akan jauh lebih padat dan ruwet pada masa libur panjang seperti Natal dan Tahun Baru nanti.
Beberapa tahun lalu, dengan mengendarai mobil sendiri, kami juga pernah melewati Tol Trans-Jawa dalam suasana libur Lebaran. Sangat padat, termasuk saat istirahat di beberapa rest area. Saking padatnya pengunjung rest area saat itu, mereka yang kebelet ingin buang air kecil tidak mempedulikan lagi pemisahan toilet. Apa boleh buat, banyak perempuan yang ikut antre di toilet laki-laki. Begitu juga sebaliknya.
Beda kecepatan, menabrak dari belakang
Setelah jalan Tol Trans-Jawa semakin sering digunakan para pemilik mobil, ada baiknya tumbuh kesadaran baru pula dalam mengendarai mobil. Mengapa? Menurut Senior Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Ahmad Wildan, Tol Cipali memiliki kontur yang sangat baik dan ideal serta memiliki tingkat pelayanan yang sangat baik.
Tapi tanpa disadari, predikat yang serba-baik itu membuat pengendara justru terlena dan memacu kendaraan melebihi batas kecepatan. Hal itu memicu adanya perbedaan kecepatan yang sangat besar antara satu kendaraan dan kendaraan lainnya.
Wildan mengungkapkan, kendaraan pribadi bisa memacu kecepatan hingga 150 km/jam, sementara truk ODOL (Over Dimension Over Loading) hanya mampu menempuh 40 km/jam. Hasil penelitian KNKT dengan Badan Litbang Kementerian Perhubungan, gap (kesenjangan) kecepatan di sana lebih dari 100 km/jam. Hal ini sangat berbahaya.
Padahal, menurut Wildan, IRAP (International Road Assesment Program) hanya merekomendasikan gap kecepatan itu maksimal 30 km/jam. “Lebih dari itu maka risiko tabrak dari belakang meningkat,” jelas Wildan. (detikoto, Sabtu, 3/12/2022)
Tingginya perbedaan kecepatan antara satu kendaraan dengan kendaraan lainnya memicu penurunan reaksi manusia yakni di bawah 1 detik. Padahal sesuai perancangan jalan harusnya reaksi manusia normal bisa 2,5 detik. Di sisi lain, Tol Cipali berada di titik lelah pengemudi. Kelelahan itu juga berpotensi menimbulkan microsleep.
Microsleep merupakan suatu kejadian hilangnya kesadaran atau perhatian seseorang karena merasa lelah atau mengantuk. Umumnya microsleep ini berlangsung sekitar sepersekian detik hingga 10 detik penuh. Namun durasi microsleep akan bertambah lama apabila pengendara itu memang memasuki waktu tidur.
“Jadi, sekali lagi masalah di Tol Cipali bukan pada jalan tolnya, melainkan penggunanya. Dan fatalitas kecelakaan di Tol Cipali sangat tinggi karena ketika terjadi tabrak bagian belakang, kendaraan akan masuk ke bagian kolong truk dan statistik menunjukkan 97 persen penumpang kendaraan pribadi akan mengalami fatal,” ungkap Wildan.
Angka fatalitas tertinggi di dunia
Kementerian Perhubungan mengungkapkan, Tol Cipali memiliki angka fatalitas (kematian) paling tinggi di dunia. Kecelakaan di tol ini memang terjadi terus menerus. Banyak kecelakaan di sana memakan korban jiwa. Dalam data Kemenhub setidaknya setiap kilometernya ada 1 korban jiwa.
Sepanjang periode tahun 2019 hingga 2021, terjadi 1.000 kasus kecelakaan lalu lintas di ruas Tol Cipali dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 223 orang. Dari 1.000 kasus itu, 862 atau 86,1 persen kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia, seperti kurang antisipasi, mengantuk, dan berkendara melebihi batas kecepatan. Sementara kecelakaan yang disebabkan oleh pecah ban sebanyak 127 kasus, dan gangguan roda sebanyak 7 kasus atau 13,6 persen.
Berdasarkan data Astra Tol Cipali yang dikutip Kompas.id, Jumat (25/11/2022), sepanjang periode tersebut sebanyak 170 orang yang meninggal dunia akibat kecelakaan, mengalami kecelakaan tabrak belakang. Rinciannya, pengguna mobil pribadi 100 orang, bus 18 orang, travel 31 orang, dan kendaraan barang 21 orang. Angka itu sekitar 76 persen dari total korban jiwa karena kecelakaan di Tol Cipali.
Berdasarkan pemetaan Astra Tol Cipali, salah satu titik rawan kecelakaan adalah ruas Subang-Cikedung yang berjarak sekitar 120 km dari Jakarta. Pada Jumat 25 November 2022, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jawa Barat, Yerry Yanuar meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan di km 119 Tol Cipali. Mobil jenis Mitsubishi Pajero bernomor polisi D 1016 AIP yang ditumpangi Yerry menabrak bagian belakang truk yang melaju searah. (Kompas TV, 26/11/2022)
Antisipasi pengemudi dan perlu istirahat
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Hendro Sugiatno, sudah ada ragam upaya dilakukan pengelola tol untuk menekan angka kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Kendati demikian kecelakaan masih terus terjadi. Tidak sedikit yang menghubungkan dengan hal-hal berbau mistis. Lalu apa sebenarnya yang membuat Tol Cipali begitu “mematikan”?
Praktisi keselamatan berkendara yang juga Direktur Training Safety Defensive Consultant Indonesia, Sony Susmana, mengingatkan, untuk menghindari kecelakaan maut di Tol Cipali, setidaknya ada beberapa hal yang harus diterapkan pengemudi.
Pertama adalah soal kecepatan kendaraan. ”Tol Cipali memangkas waktu dan jarak tempuh, tapi bukan berarti boleh bablas pol,” katanya. Pengelola tol sudah menyediakan rest area yang nyaman dan lengkap untuk beristirahat. Pengemudi harus paham waktu istirahat selama berkendara.
Istirahat perlu dilakukan mengingat tubuh manusia punya keterbatasan kemampuan untuk fokus serta fit dalam mengemudi. Jadi penting sekali pengemudi melakukan manajemen perjalanan dan memanfaatkan seideal mungkin untuk mengistirahatkan dirinya sebelum melanjutkan perjalanan. Pastikan maksimal mengemudi 3 jam dan diselingi istirahat 15-20 menit.
Kedua, Tol Cipali juga tergolong panjang yang memungkinkan pengendara akan bertemu dengan cuaca yang berbeda-beda, bahkan terang bertemu gelap dan sebaliknya. Jadi, kendaraan dan ban harus menyesuaikan kemampuannya terhadap kondisi tersebut. “Nah, penyesuaiannya lewat refresh atau istirahat untuk siap mengemudi selanjutnya,” ujar Sony.
Ketiga, permukaan jalan tol juga kerap berbeda-beda, ada aspal, beton, juga ketinggiannya berbeda-beda. Masing-masing jenis jalan itu punya karakter sendiri seperti keras, lembut, panas, silau, licin, bumpy atau bergelombang. Untuk memastikan kendaraan dalam kontrol pengemudi dan meminimalisir kecelakaan, salah satunya dengan cara mematuhi batas aturan kecepatan.
Keempat, berkendara di jalan tol juga berisiko terkena gejala highway hypnosis yaitu kondisi ketika pengemudi terlena dengan pemandangan dan aktivitas monoton di jalan tol. Hal itu kerap membuat pengemudi telat mengantisipasi kecelakaan. “Apabila persepsi jarak sudah berantakan, maka segeralah istirahat,” ujar Sony.
Kelima, Sony menyarankan agar pengemudi mengoptimalkan aktivitas mengemudi. Lakukan dengan metode commentary driving atau berkendara sambil mengomentari keadaan sekitar. “Dengan berkomentar, maka rahang akan bergerak-gerak dan oksigen akan terpompa ke otak. Sehingga pengemudi dapat fokus, tidak ngantuk dan sigap mengantisipasi bahaya,” ujar Sony. (Widodo A, Dewan Redaksi TuguBandung.id)***