Oleh Widodo Asmowiyoto*
BANYAK pihak mengharapkan terjadi titik balik dari tragedi sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu malam 1 Okotober 2022. Yakni, ke depan sepakbola di Indonesia hendaknya menjadi lebih kondusif, profesional, jauh dari persaingan yang tidak sehat. Apalagi sampai jatuh banyak korban jiwa.

Dengan mewujudkan persepakbolaan yang baik dan sehat, profesional, pertandingan sepakbola akan menjadi sebuah hiburan yang meyenangkan, menggembirakan. Tidak sebaliknya malah membuat sedih kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Rakyat senang, aparat keamanan tidak tegang, dan pemerintah pun bisa senyum-senyum baik saat nonton langsung di stadion maupun melalui layar televisi.
Mimpi ideal seperti itu muncul setelah membaca banyak komentar menyusul Tragedi Kanjuruhan yang angka korban jiwanya cenderung terus bertambah itu. Apalagi setelah membaca berita tentang berkumpulnya sekitar 10.000 suporter dari beragam tim kesayangan mereka di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa malam (4/10/2022). (Kumparan, Konten Media Partner, Pandangan-Jogja, 5/10/2022)
Para seporter itu datang dari berbagai klub yang berbeda, mulai dari PSIM Yogyakarta, PSS Sleman, Persis Solo, PSIS Semarang, Persiba Bantul, bahkan beberapa perwakilan dari pendukung Arema Malang dan Persebaya Surabaya.
Mereka berkumpul untuk memanjatkan doa bersama bagi para korban tragedi Kanjuruhan. Mereka juga mendeklarasikan sikap damai, meskipun beberapa di antaranya merupakan rival abadi, seperti PSIM Yogyakarta dengan Persis Solo dan PSS Sleman.
Kapolresta Yogyakarta, AKBP Idham Mahdi yang menghadiri acara itu, menyampaikan permintaan maaf berkaitan dengan tragedi di Stadion Kanjuruhan tersebut. “Saya selaku Kapolresta Yogyakarta meminta maaf atas kejadian ini. Kami jajaran Polri juga manusia biasa yang tidak luput dari salah. Tragedi Kanjuruhan ini akan menjadi pembelajaran yang penting bagi institusi Polri. Termasuk Polresta Yogyakarta terutama dalam mengawal dan menjaga keamanan di setiap pertandingan sepakbola ke depan,” ujarnya.
“Semoga momentum ini tentunya menjadi awal yang baik bagi persatuan sepakbola, khususnya suporter supaya tidak ada lagi korban yang berjatuhan,” harap AKBP Idham Mahdi.
Presiden Brajamusti (suporter PSIM Yogyakarta), Muslich Burhanuddin, mengatakan pertemuan ribuan suporter tersebut merupakan empati dan dukungan mereka terhadap suporter Arema Malang yang baru saja menjadi korban tragedi Kanjuruhan. Tragedi ini menjadi pukulan telak bagi mereka sebagai sesama suporter.
Suporter, menurut dia, tidak ingin nyawa ratusan saudara mereka hilang dengan sia-sia. Karena itu, mereka menginginkan atmosfer yang lebih sehat dan damai di antara para suporter.
“Kejadian di Malang ini bisa menjadi momentum buat kita untuk rekonsiliasi, karena selama ini para suporter klub yang ada di Indonesia kan kesannya ada stigma negatif di tengah masyarakat. Ke depan kami akan melanjutkan upaya rekonsiliasi dengan kelompok suporter lain demi tercapainya perdamian di antara suporter sepakbola Indonesia. Sudah saatnya suporter Indonesia untuk bersatu,” kata Muslich Burhanuddin.
Menuju kompetisi menggembirakan
Setelah membaca perubahan sikap kelompok pendukung fanatik sepakbola itu, saya teringat Kata Pengantar Buku Catatan Sepakbola berjudul Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra (Penerbit Lamalera, 2010). Kata Pengantar berjudul Sepakbola: Mengalihkan Konflik Menjadi Kompetisi itu ditulis oleh Marianus Kleden. Sedangkan Dion Putra adalah Pemimpin Redaksi Pos Kupang dan mantan Ketua PWI Provinsi NTT, yang sejak menjadi reporter dia hobi nonton sepakbola sekaligus menuliskannya sebagai karya jurnalistik. Dion sangat produktif sehingga bukunya itu sangat tebal mencapai 875 halaman.
Menurut Marianus Kleden, sejarah sepakbola bisa ditafsir ribuan tahun ke belakang ke Dinasti Han di China abad 2 dan 3 Masehi, ke zaman Mesir Kuno, Jepang Kuno, Yunani dan Romawi yang terekam dalam berbagai relief, di mana orang memainkan buntelan kain linen, atau kantong kemih babi atau sapi yang ditiup.
Permainan ini selain menjadi sarana rekreasi, juga merupakan unjuk keperwiraan dan kejantanan. Tentara Romawi menggunakan sepakbola sebagai sarana untuk memperkuat mental berperang. Sementara di Inggris abad 14 dan 15 sepakbola bermula dari sepak kepala musuh. Musuh yang kalah perang, kepalanya dipenggal dan dijadikan bola mainan antar-kampung, hingga Raja Edward III dari Inggris pada tahun 1331 dan Raja James I dari Skotlandia tahun 1424 melarang permainan ini.
Sejarah sepakbola modern dengan segala regulasinya baru dimulai di Eton College Inggris tahun 1815. Rumusan Eton College sesungguhnya mau mengubah konflik yang merendahkan martabat manusia, menjadi kompetisi yang memuliakan kedudukan makhluk berbudi ini.
Dalam perkembangan peradaban, karena disadari bahwa konflik adalah sesuatu yang membahayakan, bahkan merusak hasil karya manusia, maka konflik dikelola sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan yang menghancurkan, melainkan permainan-permainan penuh ketegangan yang menghibur. Di sini rivalitas tidak lagi berakhir dengan konflik yang memporakporanda, melainkan kompetisi yang menggembirakan hati banyak orang.
Olahraga merupakan manifestasi yang paling kuat dan paling universal dari sublimasi (perubahan wujud) rivalitas. Dari berbagai cabang olahraga, sepakbola barangkali merupakan cabang olahraga yang paling komplet dan paling masif menyublimasikan rivalitas menjadi hiburan dalam bentuk kompetisi. Teknik sublimasi dilakukan lewat pelembagaan perwasitan, pengaturan waktu, pengaturan ruang dan manajemen keseimbangan lawan.
Dengan kehadiran wasit, maka saling jegal, saling sikut, saling rebutan bola dan nafsu membobol gawang lawan tidak berkembang menjadi tawuran massal, melainkan sebuah permainan indah yang membetot adrenalin, yang disambut dengan kepuasan sempurna pihak yang menang, dan penyesalan, kekecewaan sekaligus sikap legowo dari pihak yang kalah.
Dengan pengaturan waktu 2 x 45 menit ditambah jeda 15 menit, kemampuan fisik dan tenaga manusia yang terbatas disalurkan secara optimal dalam kurun waktu yang terbatas untuk selanjutnya mendapatkan pemulihan dan kebugaran prima, bukan cedera atau efek negatif dari overtraining.
Dengan pengaturan tempat, energi eksesif baik dari pemain maupun dari penonton dilokalisasi dan ditransformasi menjadi unjuk kebolehan, unjuk prestasi, dan unjuk dukungan. Kalau toh energi eksesif ini tersalurkan secara salah maka penanganannya pun dapat dilakukan secara efektif.
Dengan mengatur keseimbangan lawan, kita tidak membenturkan gajah dengan semut yang berimplikasi penganiayaan dan penindasan, melainkan gajah melawan gajah atau semut melawan semut sehingga terciptalah fair play yang menyenangkan mata.
Mengubah dan menyublimasi rivalitas menjadi kompetisi merupakan pencapaian tinggi proses peradaban manusia. Pada dunia hewan rivalitas berakhir dengan lokalisasi wilayah kalah menang dan segmentasi kelompok; pada manusia rivalitas berakhir dengan jebolnya batas-batas pemisah dan bergabungnya umat manusia dalam kebersamaan yang saling menghormati.
Apa yang dilukiskan di atas dalam banyak kasus, khususnya Indonesia, lebih merupakan tipe ideal dalam pengertian Weber ketimbang kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Wasit tidak bertindak adil dan netral dalam mengatur permainan, melainkan memihak tim tertentu yang menimbulkan ketidakpuasan pemain dan menodai rasa keadilan masyarakat olahraga.
Limit waktu bisa diperpanjang satu atau dua menit bila pihak yang diunggulkan belum menang, dan bisa diperpendek bila tim kesayangan sudah unggul. Pembatasan ruang dalam sebuah stadion terasa tidak memadai untuk mewadahi energi berlebih sehingga “pertandingan” gaya bebas masih diteruskan di jalanan atau ruang terbuka lainnya.
Dan tim-tim yang dipertandingkan tidak selamanya seimbang. Pertandingan antartim yang tidak seimbang diberi format “persahabatan” di mana penonton menertawakan kekonyolan sang pecundang. Sementara di luar lapangan, alih-alih ikhlas menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan, penonton melakukan komplain dan menggerutu berulang-ulang bahwa kekalahan timnya bukan karena keunggulan tim lawan, melainkan karena ketidaknetralan wasit. Dalam banyak kasus, Indonesia merupakan contoh tipikal bangsa yang belum menyublimasikan konflik menjadi kompetisi.
Marianus Kleden mengutip pernyataan sejarawan sepakbola Bill Shanky bahwa, “Banyak orang merasa sepakbola adalah soal hidup mati, tetapi saya benar-benar kecewa dengan sikap ini karena sepakbola toh jauh dari itu.”
Kalau fanatisme sepakbola tidak dianjurkan, bagaimanakah sebaiknya sikap terhadap sepakbola? Kembali ke statemen awal, sepakbola adalah sebuah ajang kompetisi, dan kita perlu memandang sepakbola sebagai sebuah kompetisi dengan berbagai implikasinya. Karena merupakan sebuah kompetisi, selalu ada kemungkinan kalah, dan selalu ada kemungkinan menang. Perlu dilatih sikap untuk menerima kekalahan dengan sikap jantan, dan tidak takabur ketika menang.
Takabur adalah kata lain dari “makan puji” dalam buku yang ditulis Dion DB Putra, sebuah mentalitas yang hanya meretas jalan bagi kekalahan. Di Indonesia musim kompetisi sering berakhir dengan konflik fisik, dan karena itu masyarakat perlu melatih diri menjadi sportif untuk menerima kemenangan maupun kekalahan. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id
Komentar