Hari Tani Nasional 24 September 2022, Generasi Muda Semakin Menjauh dari Pertanian

Oleh Widodo Asmowiyoto*

TANGGAL 24 September adalah Hari Tani Nasional. Tiba-tiba saya teringat beberapa rekan wartawan yang berlatar belakang ilmu pertanian. Entah apa alasan pastinya memilih profesi wartawan, namun mereka tampak merasa nyaman dengan profesi yang sebetulnya juga menuntut kerja keras dan penuh keringat itu. Kalau petani jelas sering menginjak tanah becek, di kebun, sawah atau ladang, tetapi profesi jurnalis pun tak kalah banyak berkeringat kalau ingin survive.

Tiba-tiba saya juga teringat lawatan petama saya ke Jepang tahun 1990. Cukup lama di Negeri Sakura itu, satu setengah bulan, saya mendapati fenomena bahwa generasi muda Jepang sudah berangsur menjauhi sektor industri berat. Mereka tidak lagi ingin bekerja di industri logam yang cenderung kotor atau polutif. Mereka senang beralih ke bidang pekerjaan yang lebih bersih dan berdasi. Namun jika sudah tiba akhir pekan mereka segera berganti celana jins dan berkaos untuk melancong.

Widodo Asmowiyoto.*

Rupanya kecenderungan perubahan minat generasi muda dua negara itu ada kemiripan. Jangan-jangan hal itu juga menjadi tren seluruh dunia. Apalagi bagi generasi yang usianya lebih muda lagi atau milenial. Mereka lebih senang bekerja di lingkungan yang relatif bersih, di lingkungan perkantoran. Bahkan kini dengan era digital, mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dari rumah masing-masing atau sambil ngerumpi.

Kembali ke konteks peringatan Hari Tani Nasional, kali ini 24 September 2022, menarik untuk membincangkan generasi muda Indonesia yang semakin menjauh dari sektor pertanian itu. Apakah fenomena itu ada data pendukungnya? Lalu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka mengalami penurunan minat untuk menggeluti bidang pertanian?

Tak mampu menopang masa depan

Fenomena tersebut ternyata memang bukan baru terjadi belakangan. Pada tahun 2016 lalu, berlangsung sebuah workshop di Jakarta tentang kaum tani dan generasi muda. Lokakarya itu merupakan tindak lanjut dari penelitian Mondelez Indonesia bersama dengan Universitas Gadjah Mada dan SurveyMeter pada enam kabupaten di Sumatera dan Sulawesi.

Menurut Gurubesar UGM, Irwan Abdullah, dari penelitian yang dilakukan pada petani kakao, memperlihatkan rendahnya partisipasi kaum muda baik yang bekerja secara langsung ataupun yang membantu orangtua atau pihak lainnya. Petani kakao masih didominasi oleh petani dengan lahan kecil yang berusia di atas 40 tahun.

Disebutkan, partispiasi kaum muda yang bekerja langsung di sektor kakao pada kelompok usia 18-24 tahun sebesar 4% dan kelompok 25-31 tahun sebesar 21%. Adapun persentase keterlibatan kaum muda untuk membantu orangtua/pihak lainnya di sektor pertanian kakao juga menunjukkan angka rendah. Pada kelompok usia 18-24 tahun dan 25-35 tahun partisipasinya hanya sebesar 31% dan 25%.

“Potensi pertanian Indonesia tidak diiringi ketertarikan dan partisipasi kaum muda di sektor pertanian kakao yang dapat berdampak pada keberlanjutan sektor ini,” kata Irwan Abdullah. (Heriyanto, surveymeter.org, Selasa, 15/11/2016)

Dalam acara lokakarya tersebut, Nono Rusono dari Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas menyebutkan ada beberapa kendala yang dihadapi generasi muda dalam pertanian, seperti akses terhadap sumber lahan yang terbatas, akses terhadap pelayanan finansial juga sedikit, dan minimnya akses terhadap pasar serta teknologi baru untuk berpartisipasi dalam rantai nilai tambah pertanian.

“Inilah yang menyebabkan generasi muda melihat pertanian menjadi sektor yang tidak menjanjikan. Kondisi ini tidak saja dialami agribisnis kakao, tetapi hampir semua sektor pertanian. Hal itu belum termasuk menurunnya minat lulusan sarjana pertanian yang mau bekerja di sektor pertanian,” ujar Nono Rusono.

Siswoyo, Kepala Bidang Penyelenggaraan Pendidikan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, mengatakan, untuk menarik minat generasi muda maka perlu diberikan pelatihan dan insentif dalam aktivitas pertanian. Salah satu program kerja yang sedang digalakkan adalah Pertumbuhan Wirausahawan Muda Pertanian (PWMP).

Pemuda Indonesia juga kurang berminat menggeluti bekerja di sektor perkebunan. (Foto: Widodo A.).*

Pendek kata, lokakarya tersebut menyimpulkan bahwa minat dan partisipasi generasi muda dalam bidang pertanian terus menurun. Ada sejumlah penyebab, seperti pertanian dianggap tidak mampu menopang masa depan, akses lahan dan modal terbatas, dan minimnya berbagai dukungan lain bagi generasi muda. Ini menyebabkan potensi pertanian tidak bisa digarap optimal.

Petani yang ada semakin tua

Dengan terus menurunnya minat generasi muda tersebut, di lain pihak tentu saja memunculkan fenomena baru yakni semakin bertambah tuanya para petani yang tetap mengabdikan dirinya berkiprah di sektor pertanian.

Pakar dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Sri Hery Susilowati, menyoroti hal itu dalam makalahnya berjudul “Fenoma Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda serta Implikasinya bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian”. (media.neliti.com, 13/6/2016)

Menurut dia, sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki komitmen membangun sektor pertanian merupakan salah satu faktor keberhasilan pembangunan pertanian berkelanjutan. Namun, pembangunan pertanian menghadapi permasalahan cukup serius, yaitu jumlah petani muda terus mengalami penurunan, baik secara absolut maupun relatif, sementara petani usia tua semakin meningkat.

Tujuan Sri Hery Susilowati menulis kajian itu adalah melakukan review tentang perubahan struktural tenaga kerja pertanian dilihat dari fenomena aging farmer dan menurunnya jumlah tenaga kerja usia muda sektor pertanian di Indonesia dan di berbagai negara lainnya. Dia juga ingin mengidentifikasi berbagai faktor penyebab perubahan tersebut serta kebijakan yang diperlukan untuk mendukung tenaga kerja muda masuk ke sektor pertanian.

Sri menganalisis secara deskriptif disertai tabulasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum fenomena penuaan petani dan berkurangnya petani muda di Indonesia semakin meningkat. Kondisi seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika.

Berbagai faktor penyebab menurunnya minat tenaga kerja muda (umur 15-24 tahun versi UNESCO) di sektor pertanian, di antaranya: Citra sektor pertanian yang kurang bergengsi, berisiko tinggi, kurang memberikan jaminan tingkat stabilitas dan kontinuitas pendapatan; rata-rata penguasaan lahan sempit; diversifikasi usaha nonpertanian dan industri pertanian di desa kurang/tidak berkembang. Selain itu suksesi pengelolaan usaha tani rendah; belum ada kebijakan insentif khusus untuk petani muda/pemula; dan berubahnya cara pandang pemuda di era postmodern seperti sekarang.

Pemuda Indonesia dan juga di dunia kini cenderung kurang berminat bekerja di bidang pertanian. (Foto: Widodo A.).*

Strategi yang perlu dilakukan untuk menarik minat pemuda bekerja di pertanian antara lain mengubah persepsi generasi muda bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang menarik dan menjanjikan apabila dikelola dengan tekun dan sungguh-sungguh. Kemudian perlu pengembangan agroindustri, inovasi teknologi, pemberian insentif khusus kepada petani muda, pengembangan pertanian modern, pelatihan dan pemberdayaan petani muda, serta memperkenalkan pertanian kepada generasi muda sejak dini.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan, 64,50 juta penduduk Indonesia berada dalam kelompok umur muda. Namun, pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 21% dibanding sektor manufaktur sebanyak 24% dan sektor jasa sebanyak 55%. (Desy, www.ugm.ac.id, 27/9/2021)

Menanggapi data itu dalam sebuah webinar Hari Tani Nasional 2021, Dr. Ir. Leli Nuryati, MSc, Kepala Pusat Pelatihan Pertanian-BPP SDMP, mengungkapkan empat faktor penyebab pemuda Indonesia kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. Pertama, masalah lahan, selalu bertumpu lahan di Pulau Jawa. Kedua, prestise sosial. Hal ini membutuhkan branding yang baik tentang pertanian bahwa pertanian itu keren. Ketiga, banyak yang tidak terjun ke pertanian karena sektor ini berisiko dari sisi alam maupun harga. Keempat, masalah pendapatan yang rendah dan kurangnya insentif dari pemerintah.

Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, MEc, Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Faperta UGM, mengungkapkan, berdasarkan Sensus Pertanian Indonesia 2013, sebanyak 74% petani tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali dan 49% petani Indonesia berusia di atas 50 tahun. “Pada usia di atas 50 tahun kemampuannya pasti berbeda. Cara mereka merespons terhadap tantangan zaman dan teknologi juga berbeda sehingga tidak ada pilihan kecuali melakukan regenerasi. Farmer regenerations is a must kalau kita tetap ingin sustain,” jelasnya. ***

*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id

Komentar