Oleh Widodo Asmowiyoto*
JALAN besar ini di wilayah Kota Bandung disebut Jalan Kopo. Ketika sudah memasuki wilayah Kabupaten Bandung disebut Jalan Terusan Kopo. Di awal era reformasi baik Jalan Kopo maupun Terusan Kopo diubah menjadi Jalan Kiai Haji (KH) Wahid Hasyim. Tanpa mengurangi jasa besar pahlawan nasional itu, secara tidak resmi umumnya masyarakat tetap menyebutnya Jalan Kopo atau Jalan Terusan Kopo.

Demi kemudahan menyebut lokasi tujuan, penumpang angkutan umum biasanya tidak menyebutkan nomor jalan jika ingin turun. Mereka bilang ke sopir, misalnya, turun di Kopo-Cirangrang atau Kopo Elok (Kota Bandung). Atau, Kopo Permai, Kopo Bihbul, Kopo Sayati, Kopo Dengdek, dan seterusnya (Kabupaten Bandung). Dengan penyebutan nama-nama itu sopir angkot sudah paham dan segera menepikan kendaraannya untuk berhenti.
Dulu, awal tahun 1980-an dan sebelumnya, Jalan Terusan Kopo relatif sempit dan sepi. Lebarnya hanya cukup untuk persimpangan dua mobil. Di kanan dan kiri jalan kebanyakan masih berupa perkampungan atau persawahan. Pertokoan di pinggir jalan masih jarang. Demikian pula bangunan di pinggir jalan yang menyediakan jasa pelayanan seperti bengkel, pompa bensin, bank, apotek.
Awal tahun 1990-an, apalagi tahun 2000-an hingga saat ini, wajah Jalan Terusan Kopo mengalami banyak perubahan. Di kiri-kanan jalan nyaris sudah tidak lagi terlihat persawahan. Di sepanjang pinggir jalan sudah berubah menjadi bangunan pertokoan, rumah makan, bengkel, bank, apotek, dan lain-lain.
Arus kendaraan bermotor di sepanjang Jalan Terusan Kopo (sekitar 12 kilometer) sungguh padat. Kendaraan bermotor itu selain terdiri atas mobil, angkot, truk, bus juga sepeda motor. Setiap hari jumlahnya ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu. Kemacetan biasanya terjadi pada pagi hari saat warga berangkat bekerja atau sore dan malam hari saat mereka pulang kerja. Kemacetan arus lalu lintas itu bahkan sering terjadi hingga pukul 21.00 atau 22.00.
Kemacetan luar biasa itu –apalagi saat turun hujan deras dan banyak genangan– bahkan merembet ke jalan-jalan di perkampungan lama maupun di lingkungan kompleks perumahan. Banyak pengguna jalan mencari jalan altenatif atau “jalan tikus”. Dengan demikian Jalan Terusan Kopo menjelma bagaikan “sungai kendaraan” dan jalan ke arah perkampungan atau kompleks perumahan menjadi “anak-anak sungai kendaraan”.
Pada saat berlangsung acara-acara besar, misalnya ketika ada pertandingan sepakbola kesayangan (Persib) di Stadion Si Jalak Harupat, Kutawaringin, maka menjelang dan sesudah pertandingan terjadi kemacetan di mana-mana. Jalan Terusan Kopo yang sudah lumayan lebar pun seperti tidak mampu lagi menampung ribuan kendaraan bermotor itu.
Seorang pengusaha pernah menceritakan pengalamannya yang menyedihkan. Ada relasi dari Jakarta yang akan datang bertamu dan melakukan transaksi sekitar pukul 10.00. Namun hingga sekitar pukul 12.00 masih terjebak kemacetan di depan Gerbang Tol Kopo gegara ada pentas musik di depan Miko Mal. Artinya acara seperti itu menambah kemacetan yang sudah “mentradisi” di Jalan Terusan Kopo. Relasi tersebut akhirnya balik kanan pulang ke Jakarta, tidak jadi bertamu di Kompleks Sukamenak Indah yang hanya berjarak 1 km dari pertigaan Tol Kopo.
Peristiwa pahit yang dialami pengusaha itu memang terjadi jauh sebelum Jalan Tol Pasirkoja-Soreang mulai beroperasi akhir 2017. Namun kehadiran Jalan Tol Pasirkoja-Soreang itu pun disebut banyak orang tidak mampu mengurangi kemacetan di Jalan Terusan Kopo. Karena tarifnya relatif mahal sehingga membuat banyak pemilik mobil –termasuk yang datang dari luar kota– tetap memilih menggunakan Jalan Terusan Kopo. Kecuali mungkin bus-bus pariwisata dari Jakarta dan sekitarnya yang hendak menuju obyek wisata di Bandung Selatan.
Dalam suasana hujan, warga yang hendak bepergian dan harus melewati Jalan (Terusan) Kopo biasanya berpikir ulang, walaupun urusannya sangat penting. Boleh jadi yang bersangkutan akan bilang begini, seperti tergambar dalam percakapan di media sosial, “Aku siap melawan dunia, asal jangan disuruh ke Kopo”.
Faktor penyebab
Keberadaan Jalan Terusan Kopo berikut predikatnya sebagai “juara kemacetan” di wilayah Kabupaten Bandung tidak lepas dari kenaikan statusnya. Dulunya jalan ini hanyalah sebagai jalan kecamatan/kabupaten yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kecamatan Soreang. Namun setelah ibu kota Kabupaten Bandung pindah dari Baleendah ke Soreang pada masa Bupati Bandung dijabat oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990), maka Jalan Terusan Kopo menjadi jalan provinsi/negara karena menjadi penghubung utama Kota Bandung dengan ibu kota Kabupaten Bandung.
Dengan ibu kota Kabupaten Bandung beralih ke Soreang itu, maka di Desa Pamekaran dibangun pusat pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 hektare. Kemudian pembangunan perkantorannya selama tahun 1990-1992 dilanjutkan oleh Bupati berikutnya yakni Kolonel H.U. Djatipermana. Lalu Bupati Kolonel H. Obar Sobarna, SIP –yang terpilih pada 5 Desember 2000— betul-betul memfungsikan Soreang sebagai pusat pemerintahan.
Pada 2003 aparat daerah –kecuali Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, dan Kantor Diklat—sudah resmi berkantor di kompleks pemerintah Kabupaten Bandung. Langkah pertama Obar Sobarna waktu itu adalah membangun Stadion Internasional Si Jalak Harupat. (m.wikipedia.org)
Di lain pihak, sejak era 1980-an itu pula, perluasan wilayah Kota Bandung cenderung ke arah selatan (hingga Jalan Tol Padalarang-Cileunyi) dan timur. Bukan ke arah barat (Kota Cimahi) dan utara (Lembang, Kabupaten Bandung Barat). Terhubungnya Soreang dengan Kota Bandung via Jalan Terusan Kopo itu pada gilirannya menjadi daya tarik bagi kalangan pengembang (developer) untuk membangun kompleks permukiman di sekitar Jalan Terusan Kopo.
Kompleks permukiman dengan penggunaan lahan yang sangat luas berdiri di sana. Yakni Kopo Elok, Nata Endah, Kopo Permai, Sukamenak Indah, Margahayu Permai, Permata Kopo, Taman Kopo Indah (TKI) dan lain-lain hingga Kopo Ketapang yang mendekati Soreang. Sejauh ini, menurut seorang karyawan TKI, Ir. H. Dodi Kusnadi, TKI boleh dibilang merupakan kompleks terbesar atau terluas karena menempati lahan 226 hektare.
TKI terdiri atas TKI I, II, III, dan V. TKI I seluas 50 ha (2.400 unit rumah), TKI II 46 ha (2.300 unit rumah), TKI III 78 ha (2.900 unit rumah), dan TKI V 52 ha (2.100 unit rumah). Dengan demikian di TKI saja terdapat 9.700 rumah. Belum lagi kompleks lainnya yang jumlah rumahnya masing-masing ratusan hingga ribuan unit.
Banyaknya kompleks perumahan itu bagaimanapun telah “menyulap” Desa Sayati, Kecamatan Margahayu –yang terlewati Jalan Terusan Kopo– menjadi “kota dan pintu gerbang” Kabupaten Bandung dari arah Kota Bandung dan Jalan Tol Kopo. Perkembangan Sayati itu juga merupakan imbas dari kehadiran TKI yang bagaikan “kota satelit baru” di antara Ibu Kota Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.
Jumlah kehadiran puluhan ribu rumah di kompleks-kompleks permukiman tersebut bagaimanapun juga telah menghadirkan ribuan atau bahkan puluhan ribu kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor. Belum lagi jumlah kendaraan bermotor milik warga di luar kompleks perumahan. Arus lalu lintas di Jalan Terusan Kopo tentu saja juga diramaikan oleh banyak kendaraan bermotor dari luar kota, baik yang datang dari Kota Bandung maupun dari kota-kota lainnya via Gerbang Tol Kopo.
Pembangunan Jalan Layang (Flyover) Kopo yang “melangkahi” perempatan Jalan Kopo-Jalan Soekarno-Hatta (di wilayah Kota Bandung), diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jalan KH Wahid Hasyim (Jalan Kopo dan Jalan Terusan Kopo) itu. Masyarakat berharap jalan layang tersebut pengoperasiannya segera diresmikan. Apalagi saat ini sudah masuk musim hujan yang sering menimbulkan “horor kemacetan” karena terjadi banyak genangan di jalan-jalan. ***
*Penulis, Dewan Redaksi TuguBandung.id
Komentar