Oleh Tatang Muttaqin*
PADA awalnya, paradigma pembangunan didominasi oleh paradigma modernisasi sehingga tidak aneh jika setiap negara yang baru merdeka berusaha melakukan pembangunan dengan tujuan terwujudnya masyarakat yang maju dan modern.
Arus utama pemikiran di atas tidak terkecuali merasuk terhadap pemikir-pemikir dan pemimpin bangsa Indonesia saat itu, terutama pasca 1966 atau yang lazim dikenal sebagai orde baru yang sekaligus menahbiskan dirinya sebagai orde pembangunan melalui penerapan konsep pembangunan lima tahun.
Pemikiran dan praktik pembangunan ini telah dirasakan manfaatnya dan memberikan kemajuan yang luar biasa, terutama kemajuan yang bersifat fisik dan secara kuantitatif telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa sehingga hampir semua pemikir saat itu sepakat bahwa pembangunan yang dilakukan telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara spektakuler.
Namun, karena hasil pembangunan ini hanya dirasakan oleh sebagian bangsa Indonesia maka kesenjangan yang demikian tajam memunculkan perasaan adanya ketidakadilan dan kecemburuan yang massif yang memicu terjadinya keresahan sosial yang pada akhirnya meluluhlantahkan sebagian yang telah diraih.
Fenomena ini sejak awal sudah diprediksi Mahbub ul Haq, ekonom Pakistan melakukan muhasabah dengan tajuk Reflections on Human Development (1995) terhadap paradigma pembangunan Barat yang sangat materialistik, yang serta-merta diterapkan di negara-negara berkembang sehingga terjadi perubahan paradigmatik dari national income accounting ke people-centered policy.
Kritisisme Haq tersebut juga sejalan dengan pandangan peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen yang mendedahkan bahwa pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata dengan segala dampaknya. Pembangunan seharusnya merupakan proses yang mampu menjadi wahana insan mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya, development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy, sehingga manusia mampu mengoptimalkan potensinya.
Sen berpandangan bahwa penyebab dari langgengnya kepapaan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas yang mencakup akses terhadap kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial. Pandangan Sen yang mengurai pencapaian kesejahteraan melalui kebebasan, Development as Freedom, tak jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan pemikir Soedjatmoko dengan Development and Freedom.
Implikasi modernisasi
Setiap pilihan tentunya akan memunculkan konsekuensi sebagai suatu akibat dari sebab yang kita pilih. Demikian pula dengan pilihan bangsa Indonesia untuk mengorientasikan pada pembangunan sudah pasti akan memberikan implikasi-implikasi, baik yang positif maupun yang negatif.
Implikasi positif adalah terkondisikannya masyarakat yang mandiri dengan semangat kerja yang tinggi dan penghargaan terhadap waktu dan prestasi kerja. Adapun implikasi negatif dari semangat ekonomi akan membawa orang pada patologi sosial berupa, menonjolnya sikap yang cenderung materialistis, asosial, impersonal, dan perilaku yang sangat mekanistis dengan kecenderungan terkena depresi dan perasaan teralinasikan sehingga sangat mudah dipicu untuk melakukan tindakan kekerasan.
Penyakit sosial tersebut bisa berasal dari biaya ekonomi, sosial maupun psikologis yang semuanya harus dibayar sebagai penebus modernisasi, jer basuki mawa bea. Kenyataan tersebut harus dicermati secara mendalam, sebab bagaimanapun hal tersebut merupakan suatu realitas yang seharusnya kita pahami jauh-jauh sebelum proyek besar yang namanya pembangunan itu bergulir dan mencari jalan keluarnya sehingga implikasi positif modernisasi dapat diraih dengan senantiasa mampu mengeliminir implikasi negatifnya.
Masyarakat modern yang identik dengan masyarakat industri memerlukan keterampilan baru yang cocok dengan masyarakat yang berorientasikan kepada teknologi. Akibatnya keterampilan lama perlahan menghilang, karena setiap teknologi membawa nilai-nilai khas, kehadiran teknologi baru sudah tentu secara lambat namun pasti akan menghilangkan nilai-nilai lama. Misalnya teknologi komunikasi akan mengurangi hubungan sosial dan persaudaraan antarmasyarakat.
Pembangunan yang berjalan dengan sangat cepat telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan telah menggusur rumah dan tanah, serta merusak lingkungan. Dengan kondisi tersebut maka etika masyarakat mengalami degradasi yang bersifat substantif sehingga dibutuhkan suatu wahana dan mekanisme pembanding untuk mencoba mengantisipasi munculnya penyakit sosial tersebut.
Terapi Trilogi Lebaran
Dengan mencoba mengambil momen lebaran yang merupakan budaya umat Islam yang inheren dengan citra ke-Indonesiaan. Tidak ada istilah lebaran atau halal bil halal dalam terminologi Islam, artinya lebaran merupakan terminologi dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Lantas ada apa dalam momen lebaran tersebut?
Dengan melihat kejadian-kejadian yang rutin dilaksanakan di hari lebaran ada beberapa hal yang perlu diberi perhatian dan memiliki potensi untuk menghadapi dan mengobati penyakit-penyakit sosial masyarakat saat ini sebagai ekses negatif modernisasi, yaitu fenomena-fenomena sebagai berikut:
Pertama, mudik yang merupakan proses revitalisasi dan humanisasi massal yang tidak dibiayai pemerintah sebagai unsur dominan negara baru berkembang, dengan mudik orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk-pikuk kehidupan kota yang keras menemukan kembali masa lalunya di kampung yang relatif lebih alami dan bersahabat. Mereka yang asalnya hanya dihitung sebagai sekrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperhitungkan dan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Pemudik ingin meninggalkan wajah-wajah garang kota dan menikmati wajah-wajah desa dan kampung halaman yang ramah dan bersahaja sehingga walaupun sejenak mereka dapat mengekspresikan kembali perasaan kekeluargaan dan persaudaraan yang meneduhkan.
Kedua, silaturahmi yang merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari rantaian kegiatan lebaran. Kita akan melihat anak yang hilang bersimpuh-haru sungkem di hadapan orang tuanya seraya menyampaikan permohonan maaf. Suami dan isteri kembali menjalin cinta kasihnya setelah selama setahun penuh menjadi orang-orang asing yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak banyak saling menyapa. Selanjutnya kerabat, rekan kerja dan tetangga saling bertegur sapa dan saling berbagi rasa dan jasa setelah selama satu tahun penuh saling berkompetisi, saling curiga, bahkan saling memeras. Itulah makna dan hakikat silaturahmi sehingga nilai-nilai persaudaraan menjadi suatu yang sangat diharapkan dan sangat menyejukkan.
Ketiga, ziarah kubur. Di samping bersilaturahmi dengan orang-orang yang masih hidup, pemudikpun bersilaturahmi dengan orang-orang yang sudah meninggal dengan melakukan ziarah ke kubur yang mencoba mengambil hikmah dan pelajaran dari orang-orang terdahulu sebagai bahan proyeksi ke masa depan.
Fenomena-fenomena di atas merupakan hal yang unik dari budaya masyarakat Indonesia, sebagian orang dengan agak sinis melihat fenomena ini sebagai penghamburan waktu, biaya, dan tenaga yang sudah tidak pantas dilakukan oleh orang-orang modern dengan trade mark-nya sangkil dan mangkus. Tetapi kalau kita lebih jeli dan mencoba berempati maka akan terasa betapa bermaknanya semua fenomena di atas, di sana terdapat pesan-pesan luhur yang sangat bermanfaat bagi masyarakat yang katanya sudah mengalami modernisasi dengan sejumput penyakit-penyakit sosial yang ada di dalamnya.
Fenomena mudik, silaturahmi, dan ziarah kubur merupakan fenomena yang umumnya dirasakan oleh orang-orang kelas bawah yang biasanya merupakan generasi yang ditumbalkan untuk mesin raksasa yang namanya modernisasi.
Dengan mudik, silaturahmi, dan ziarah pemudik yang terhempas, tertindas, dan hampir kehilangan jati dirinya memperoleh wujud dirinya ketika mudik. Mereka merasa diperlakukan sebagai layaknya manusia, setelah selama satu tahun penuh mereka hanya dihitung secara angka dan statistik sebagai bagian sekrup-sekrup raksasa modernisasi.
Wajarlah jika mereka selalu berusaha untuk mudik walaupun harus berebut tiket dengan tangan menenteng oleh-oleh dan keringat yang bercucuran dengan biaya penambahan tuslag, bahkan bertaruh nyawa, toh mereka dengan senyum penuh harapan dan kegembiraan melakukan semuanya.
Dapat dibayangkan apabila tidak ada mudik, silaturahmi, dan ziarah kubur sebagai rangkaian kegiatan lebaran maka saluran apa yang mampu memasilitasi orang-orang yang terempas di atas. Setiap manusia memiliki keinginan untuk berekspresi, beraktualisasi dan dihargai eksistensinya sebagaimana dipetakan dalam Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, maka sarana apa yang mampu dijadikan katup pengaman atau saluran (oulet) terhadap semua keinginan orang-orang kecil di atas?
Dengan adanya lebaran, keinginan di atas dapat terartikulasikan sehingga tepatlah apa yang dikatakan Almarhum Gus Dur, bahwa mudik bukan semata-mata hiburan, tetapi juga terapi psikososial secara massal yang biayanya tidak membebani pemerintah.
Selamat mudik, semoga lancar dan selamat serta sehat selalu!***
*Penulis, Direktur Pendidikan Tinggi dan Iptek, Kementerian PPN/Bappenas
Komentar