SECARA umum, kini jalanan di kota-kota besar di Indonesia dipadati oleh kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Kendaraan bermesin itu hanyalah sarana transportasi. Adapun kecepatannya tergantung penggunanya. Bisa lambat atau cepat, bisa pula sangat cepat alias ngebut. Perilaku penggunanya bisa membawa-bawa sebuah nama kota. Baik dan buruknya tergantung mereka.
Dalam sebuah lawatan ke Kota Medan baru-baru ini, penulis menyaksikan fenomena berlalu-lintas di kota berpenduduk 2,46 juta jiwa itu. Secara subyektif penulis menilainya cenderung berbahaya. Sebagai contoh, saat lampu lalu-lintas di sebuah perempatan sudah menunjukkan warna merah, tapi sebagian pengguna sepeda motor masih saja melaju atau menerabas dengan kecepatan tinggi.
Berdasarkan pengamatan penulis, fenomena itu tidak hanya berlangsung sekali tapi bahkan berkali-kali. Ketika hal itu penulis konfirmasi kepada rekan-rekan yang merupakan warga setempat, mereka menanggapinya dengan idiom “Ini Medan Bung”.
“Kalau saja saya tidak sedang mengantar Bapak-bapak, kecepatan mobil saya bisa lebih tinggi. Saya juga tidak mudah mengalah ketika ada mobil lain yang egois,” ujar Susi, rekan wartawan yang sedang mengantar kami ke sebuah lokasi pertemuan.
Hanya berselang dua hari, saat kami naik taksi dari Kota Medan menuju Bandar Udara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, terjadi insiden kecelakaan antar-pengendara sepeda motor. Sopir taksi, Sipayung, mengatakan hal itu dampak dari sikap tidak disiplin berlalu lintas di Sumatera Utara.
“Kalau saya pribadi ya harus berlalu lintas dengan sopan. Saat traffic light menyala merah ya harus berhenti. Kalau menerabas, saya akan disoraki oleh masyarakat yang menyaksikan,” kata Sipayung.
Melebihi jumlah penduduk
Sikap para pengendara “kereta” –sebutan sepeda motor di Kota Medan– yang cenderung ngebut, melanggar aturan, dan membahayakan keselamatan diri dan umum itu, menjadi lebih berisiko ketika jumlah sepeda motor melebihi jumlah penduduk.
Data berikut ini mungkin dapat menggambarkan obyektivitas kondisi berlalu lintas di Kota Medan khususnya dan Provinsi Sumatera Utara pada umumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 lalu penduduk Kota Medan mencapai 2.460.858 jiwa, sedangkan jumlah sepeda motor yang dimiliki penduduk berjumlah 2.724.585 unit. Artinya jumlah sepeda motor lebih banyak dari jumlah penduduk. Ketika mereka berada di jalanan, dengan sendirinya harus sangat hati-hati karena juga harus berlalu lalang dengan ribuan mobil pula.
Sebagai lazimnya sebuah ibu kota provinsi, jumlah kendaran bermotor yang meramaikan jalanan akan bertambah banyak lagi –khususnya pada siang hari– dengan kehadiran kendaraan dari masyarakat daerah sekitarnya. Kalau di Bandung disebut Bandung Raya, maka di Medan bisa juga disebut Medan Raya.
Menurut analisis media lokal, jumlah sepeda motor di Kota Medan yang melebihi jumlah penduduk itu juga tak sebanding dengan pertumbuhan luasan jalan kota. Bahkan akan semakin mengancam kemacetan di kawasan pusat kota, apalagi sejak perubahan struktur jalan dan perubahan bentuk trotoar di kawasan inti kota, terutama kawasan Kesawan. (kajianberita.com, 23/3/2023)
Penyebab terbesar kecelakaan lalin
Sangat banyaknya jumlah “kereta” di jalanan Medan plus sikap pengendaranya yang “sembrono” atau kurang hati-hati, memang berujung pada sering terjadinya kecalakaan lalu lintas dan timbulnya banyak korban jiwa.
Secara resmi tercatat bahwa angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di Sumatera Utara sebanyaj 70,53 persen melibatkan sepeda motor, dengan rata-rata 4-5 orang meninggal dunia per harinya.
Jumlah tersebut cenderung lebih banyak dari umumnya laka lantas di Indonesia. Sebab pada tahun 2022, sebagai indikator, angka fatalitas akibat lakalantas di Indonesia rata-rata per tahun mencapai 28.000 jiwa atau setara dengan 3-4 orang meninggal per jam.
Angka 3-4 orang meninggal per jam di seluruh Indonesia itu mungkin saja sudah dihitung dengan beragam kecelakaan lalu lintas yang terjadi di darat (termasuk bus, truk, dan kereta api), laut, dan udara.
Artinya angka laka lantas di Sumut yang rata-rata mencapai 4-5 orang per hari itu, bisa dibilang masih lebih rendah dari 3-4 orang per jam di seluruh Indonesia. Tapi di Sumut tadi, dengan contoh pada tahun 2022 yang mencapai 11.159 kasus, ternyata sebanyak 7.871 atau 70,53 persen di antaranya melibatkan sepeda motor, dengan jumlah korban tewas 1.607 orang (setara 4-5 orang meninggal per hari), dengan total kerugian mencapai Rp 17,3 miliar. (Analisadaily, Kamis, 4/5/2023)
Dengan latar belakang kondisi lakalantas tersebut, wajar jika kemudian Pemprov Sumut melalui Dinas Perhubungan menggelar kegiatan Pekan Keselamatan Jalan di Hotel Santika Medan, Rabu 3 Mei 2023 lalu.
Kepala Dinas Perhubungan Provsu, Agustinus Panjaitan, menjelaskan kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya menekan angka lakalantas di wilayah Sumut. “Kami berharap tercipta budaya tertib berlalu lintas,” harapnya kepada 400 pengemudi ojek online (ojol) yang mengikuti kegiatan tersebut.
Makna “Ini Medan Bung”
Bagi masyarakat di luar Medan dan Sumatera Utara, tentu ingin mencari makna di balik ungkapan atau idiom “Ini Medan Bung”. Sebetulnya idiom itu pada awalnya tertuju pada situasi kejahatan di Kota Medan, tapi rupanya belakangan juga sudah merembet ke fenomena lakalantas di jalanan.
“Ini Medan Bung! Boleh dikatakan satu warning atau peringatan kepada penduduk Kota Medan. Ungkapan yang berkonotasi negatif yakni harus selalu berhati-hati, harus selalu waspada karena kondisi Kota Medan waktu itu tidak aman,” tulis Drs. Gustap Marpaung, SH dalam sebuah artikelnya berjudul “Ini Medan Bung! Tiada Hari (Tanpa) Kejahatan” (Analisadaily.com, Selasa, 16/9/2014)
Menurut Gustap, suasana yang tidak aman di Medan pernah diabadikan dalam Film “Pencopet” yang shooting di Jalan Bali simpang Jalan Veteran di kawasan Terminal Sambu. Film dengan aktor Sopan Sopian dan aktris Widyawati ini pada era tahun 70-an menceritakan seorang perantau dari Jakarta pulang ke kampung di Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, kena copet di Kota Medan.
Saat penulis minta komentar seorang rekan wartawan senior di Medan, Susi, tentang situasi lalu lintas di Kota Medan, ternyata dia juga menjawab, “Ini Medan Bung!” Artinya ungkapan itu telah bergeser, dari yang semula untuk menggambarkan situasi kejahatan, kini juga untuk menggambarkan situasi lalin di ibu kota Sumut yang berakibat terjadinya banyak kecelakaan itu. (Widodo A, Wartawan Senior)***
Komentar