Pers dan Keterbukaan Informasi

Oleh : H. Ijang Faisal

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari dalam dua tahun ini menghadapi fakta berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Spirit keterbukaan informasi publik (KIP) yang digulirkan Mei 2010, bersignifikan besar terhadap eksistensi Pers. Di belahan bumi manapun, pers memang selalu menjadi garda terdepan dalam memelopori KIP. Gelora kebebasan pers menjadi bagian terpenting dalam mendobrak budaya ketertutupan Badan Publik (BP).

Perjuangan pers dalam menebarkan kebebasan tidak mengenal jaman; menggelora sejak ada hingga era kekinian serta tidak mengenal sekat-sekat budaya ataupun batas negara. Kendati secara teoretis, sistem pers yang berkembang di dunia ini sangat varian, ada Libertarian Press, Authoritarian Press, Communism Press, atau social responsibility, tetapi semuanya berlandaskan pada semangat kebebasan dalam mencari, memperoleh, mengelola, dan menyampaikan informasi.

Walaupun Indonesia dikenal menganut sistem Pers Pancasila yang substansinya mengadopsi pemikiran sistem social responsibility, tetapi tidak menyurutkan insan pers untuk menggelorakan semangat kebebasan. Kebebasan pers menjadi mimpi para jurnalis sejak lahir hingga masa kini. Oleh karena itu, ketika sistem pers mengarah pada pers otoriter, para insan pers sontak menggelorakan perjuangan menuntut kebebasan pers. Tidak peduli harus berhadapan dengan tembok baja rezim penguasa, para jurnalis gigih memperjuangkan hak kebebasan, kendati korban pun bergelimpangan, baik jurnalis yang dimejahijaukan atau media massa yang digulungtikarkan.

Untuk menguatkan kemerdekaan pers, dilahirkanlah sunshine law yang merupakan produk hukum penjamin keterbukaan informasi dan transparansi, salah satunya UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP. UU ini menjamin setiap orang, termasuk jurnalis untuk dapat mengakses informasi publik. Apalagi, hak aksebilitas informasi publik ini di Indonesia sudah menjadi hak konstitusional seluruh warga negara sebagaimana tersurat dalam Pasal 28F UUD NRI 1945. Selain itu, hak atas informasi juga merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, 30 September 2005 dan menjadi UU No. 11 tahun 2005.

Hal itu selaras dengan tugas utama jurnalis sebagai pelayan publik dalam memberikan informasi. Kehadiran UU KIP jelas makin menguatkan eksistensi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. KIP merupakan prasyarat utama kebebasan pers. Tanpa KIP, jurnalis akan mengalami kesulitan dalam mengakses informasi. Padahal, mungkin masyarakat sangat membutuhkan informasi itu, sehingga jurnalis tidak dapat optimal memberikan pelayanan pada publik.

UU pers secara khusus mengatur aspek kebebasan pers yang di dalamnya terdapat ketentuan tentang fungsi pers, hak jurnalis atas informasi, termasuk jaminan perlindungan jurnalis ketika menjalankan memberikan pelayanan informasi. Namun, UU Pers tidak mengatur mekanisme pemberian informasi yang di dalamnya menyangkut jangka waktu, biaya, petugas layanan, klasifikasi jenis informasi, dan jenis-jenis medium penyampai pesan. Semua itu diatur dalam UU KIP.

Namun demikian, bukan berarti kehadiran UU KIP ini tidak juga melahirkan berbagai hambatan bagi jurnalis yang dapat mengancam eksistensi pers.

Pertama, salah satu substansi dalam pengklasifikasian informasi dalam UU KIP terdapat informasi yang dikecualikan alih-alih “boleh dirahasiakan”. Hal itu acap kali dijadikan alasan bagi BP untuk menolak memberikan informasi, termasuk kepada jurnalis. Apalagi, BP memiliki kebebasan yang cukup untuk menyatakan bahwa sebuah informasi dikecualikan selama melakukan proses uji konsekuensi. Para jurnalis pun tidak dapat memaksa BP, selain harus menempuh mekanisme penyelesaian sengketa informasi melalui kewenangan Komisi Informasi atau Pengadilan.

Alasan bahwa informasi itu menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan dan kemaslahatan publik memang dapat digunakan jurnalis untuk “memaksa” untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi, tetapi tetap harus dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan, baik Ajudikasi Non-Ligitasi di Komisi Informasi maupun di Pengadilan. Padahal, proses penyelesaikan sengketa informasi tersebut cukup menyita waktu panjang yang sinergis dengan nilai aktualitas berita.

Kedua, ketidaksiapan BP dalam mengimplementasikan KIP dengan tidak melakukan pemilahan informasi dan menjalankan prinsip cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana, menjadi kendala bagi jurnalis untuk mengakses sekaligus menyebarkan informasi. Mereka memperoleh informasi harus melalui mekanisme permohonanyang juga memakan waktu panjang dan merendahkan kualitas berita.

Ketiga, pasal yang memberikan kesempatan kepada BP untuk merahasiakan informasi dapat dijadikan alasan pembenar untuk menolak jurnalis ketika meminta informasi. Kendati, BP diberikan kewajiban untuk melakukan uji konsekuensi, tetapi tidak ada “kewajiban” bahwa uji konsekuensi itu harus benar. Jikalau hasilnya dibatalkan melalui Putusan Komisi Informasi atau Pengadilan, tidak mangandung konsekuensi hukum berupa sanksi.

Keempat, adanya uji konsekuensi yang melahirkan penetapan informasi yang dikecualikan telah “menutup” kesempatan jurnalis untuk mengakses dan menyampaikan informasi sebelum adanya putusan pembatalan dari Komisi Informasi atau Pengadilan. Jika para jurnalis memaksa menginformasikan, terdapat ancaman pidana sebagaimana tersurat dalam Pasal 54 UU KIP.

Namun, keempat hal yang memungkinkan menghambat tugas jurnalis tersebut bukan berarti kontraproduktif dengan semangat kebebasan pers. Spirit UU KIP adalah spirit demokrasi yang menghendaki implementasi dengan penuh kesadaran. KIP merupakan kebutuhan bersama, sehingga semangat ketaatannya dilandasikan paradigma hukum “modern” yang tidak menuntut sanksi berlebihan sehingga pelanggar dipaksa jera, tetapi menanamkan kesadaran tinggi pada semua pihak untuk menaatinya. Inilah prinsip-prinsip hukum komunikasi. Hukum tidak dilahirkan untuk memberi sanksi, tetapi untuk memandu warga negara agar berjalan pada track-nya. Oleh karena itu, sanksi yang diancamkan pada pelanggar UU KIP cukup sederhana jika dibandingkan dengan UU lain.

Jika BP memiliki kesadaran tinggi untuk mengimplementasikan UU KIP, kendala-kendala yang dihadapi jurnalis akan dapat terjawab. BP akan melakukan pemilahan informasi, sehingga semua informasi yang wajib diumumkan secara berkala dan tersedia setiap saat selalu ada pada sarana-sarana publikasi. Para jurnalis pun tinggal mengunduhnya. Mereka tidak perlu menempuh mekanisme permohonan yang panjang. Penetapam informasi yang dikecualikan pun matang mempertimbangkan aspek mudharat dan manfaat ketika informasi itu dibuka atau ditutup.

Para jurnalis pun memiliki peran penting dalam mendorong implementasi KIP. Spirit kemerdekaan pers, independensi, dan profesionalisme jurnalis memberi nilai tambah besar untuk mengawal KIP. Peran mereka sangat dibutuhkan dalam menggugah nurani BP melalui fungsi informatif, edukatif, rekreaktif, dan kontrol sosial. Mereka harus menjadi pejuang terdepan dalam menggelorakan semangat KIP.

Komentar