Pemerintah Baru, Harus Bangun Landasan Kokoh, Bukan Glorifikasi

KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang baru, diharapkan dapat membangun fondasi yang kuat untuk wilayahnya. Pendekatan yang diambil harus menghindari proyek besar yang hanya bertujuan meningkatkan popularitas jangka pendek. Namun, fokus harus diarahkan pada kebijakan yang bersifat mendasar dan jangka panjang, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat.

“Pemerintah yang sukses bukanlah yang mencari glorifikasi saat masa jabatannya, tetapi yang membangun dasar kokoh bagi masa depan. Hal ini menuntut keberanian untuk tidak populer, tetapi tetap berorientasi pada hasil yang substansial,” ujar Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran sekaligus Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf saat diskusi Outlook Ekonomi, Hukum dan Politik Indonesia dan Jawa Barat 2025, di Bandung, Kamis (19/12/2024).

Arief mengemukakan Jabar dulunya dikenal sebagai hub manufaktur di Indonesia. Saat inipun pemerintah, baik pusat maupun provinsi, masih sangat mengandalkan sektor manufaktur. Ketergantungan dengan sektor manufaktur tersebut terlihat dari kebijakan hilirisasi yang merupakan langkah untuk menghidupkan kembali industrialisasi yang mengalami stagnasi. Langkah tersebut dimotivasi fakta Indonesia, termasuk Jabar mengalami stagnasi industrialisasi.

Namun, kontribusi sektor manufaktur Jawa Barat terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sudah tidak signifikan seperti dulu. Manufaktur Jawa Barat menghadapi tantangan berat, termasuk persaingan ketat dengan negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok. Upah minimum pekerja di Vietnam, misalnya, hanya setengah dari Indonesia, menjadikannya lebih kompetitif. Akibatnya, manufaktur tidak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan di Jabar. Perubahan tersebut pun terkonfirmasi dari pertumbuhan ekonomi Jabar yang kini tak lagi diatas nasional.

“Ini menjelaskan, artinya Jabar bukan supporting lagi, industri Jabar itu tidak cukup untuk menjadi growth push karena kalau growth push harus lebih tinggi dari nasional. Berarti ada sektor lain atau daerah lain yang menjadi penyumbang terbesar dari Jabar,” jelasnya.

Menurut Arief stagnasi di sektor manufaktur mendorong terjadinya tersierisasi atau pergeseran ke sektor jasa yang lebih banyak. Akan tetapi, tersierisasi yang terjadi di Jabar cenderung ke arah jasa berkualitas rendah. Ia mencontohkan, banyak pekerja pindah dari desa ke kota yang berharap untuk bekerja di sektor formal, misalnya pabrik. Namun saat ini manufaktur sudah tidak lagi dominan sehingga mereka diserap sektor informal seperti penjual kopi keliling, daripada di sektor formal seperti perhotelan atau ritel modern.

Data menunjukkan kontribusi sektor jasa terhadap PDB meningkat, tetapi jumlah pekerja di sektor ini tumbuh lebih cepat. Akibatnya, produktivitas sektor jasa rendah, dan penghasilan harus dibagi lebih banyak orang. Untuk mengatasi ini, diperlukan peningkatan produktivitas di sektor jasa dengan mendorong jasa-jasa berkualitas tinggi seperti teknologi, keuangan, digitalisasi, atau konsultasi.

“Istilahnya itu low quality tersierlisasi, kita mengalami tersierlisasi tapi ke arah yang low quality nah ini menurut saya kurang diperhatikan,” katanya.

Arief menambahkan selama ini kita seolah berasumsi reindustrialisasi akan berhasil atau hilirisasi akan sukses. Padahal ada rencana lain yang bisa dilakukan yakni memfasilitasi tersierlisasi. Misalnya mengembangkan sector pariwisata dengan serius, pengembangan start up agar kualitas pekerja meningkat.

“Peningkatan kualitas tenaga kerja menjadi tantangan besar bagi Jabar. Pendidikan rata-rata penduduk Jabar masih rendah, dengan angka lama sekolah yang berada di peringkat bawah secara nasional. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, terutama untuk mendukung sektor startup dan pariwisata yang potensial,” terangnya.

Dalam lanskap politik Indonesia, Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia Karim Suryadi mengatakan dinamika kekuasaan memperlihatkan pola yang relatif stabil dan harmonis. Koalisi Indonesia Maju, sebagai koalisi politik dominan, terus menguasai berbagai lini pemerintahan dengan dukungan mayoritas partai politik di parlemen. Hal ini menciptakan suasana ‘bulan madu’ politik yang diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat.

Keberhasilan Koalisi Indonesia Maju dalam membangun soliditas diantara partai-partai anggotanya menjadi fondasi utama stabilitas tersebut. Dengan menguasai mayoritas kursi di DPR, koalisi ini memiliki kemampuan yang kuat untuk mengendalikan arah legislasi dan kebijakan nasional. Kesepakatan bersama dalam koalisi ini meminimalkan potensi friksi.

Namun, stabilitas ini bukan tanpa tantangan. Risiko terbesar dalam periode bulan madu politik adalah terjadinya stagnasi akibat kurangnya dinamika oposisi yang sehat. Demokrasi membutuhkan checks and balances untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara transparan dan akuntabel. Disisi lain, lanjutnya, salah satu efek dari dominasi politik ini adalah semakin minimnya partisipasi masyarakat dalam proses politik.

Di bidang hukum, Akademisi dari Universitas Padjadjaran Mei Sunanto menilai reformasi hukum di Indonesia sering dibicarakan, tetapi sampai saat ini belum ada perubahan besar yang terasa. Langkah yang diambil cenderung setengah hati dan tidak menyentuh tiga elemen utama sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Banyak undang-undang yang dibuat belum benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat. Tidak sedikit langkah yang diambil tidak ada landasan hukumnya atau dengan kata lain hanya berbasis diskresi.
Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan masih menghadapi masalah besar, misalnya saat ini muncul tren penegakan hukum cenderung lebih cepat dilakukan jika kasusnya menjadi viral terlebih dahulu.

Selain itu, kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Banyak orang tidak memahami hak dan kewajiban mereka. Di sisi lain, aparat hukum sering kali masih bekerja dengan mentalitas transaksional, bukan pelayanan yang adil. Ia menilai reformasi hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Jika hanya berfokus pada perubahan kecil tanpa menyentuh akar masalah, maka keadilan akan terus sulit tercapai. Dibutuhkan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat untuk menciptakan perubahan nyata di bidang hukum. (Pun)***

Komentar