Gubernur Jabar Pilihan Rakyat

Oleh : Dr. H. Ijang Faisal, S.Ag., M.Si

(Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung)

Walaupun belum ditetapkan secara resmi oleh KPU Jawa Barat, Pasangan H. Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan sudah dapat dipastikan akan melenggang ke Gedung Sate dan menempati Istana Pakuan Padjadjaran. Semua hasil Quick Count menunjukkan, pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Nomor Urut 4 meraih suara di atas 60%. Kalau berkaca pada pengalaman beberapa Pemilu, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada hasil Quick Count, hampir tidak pernah berbeda jauh dengan hasil penghitungan resmi KPU.

Apalagi, peraihan suara ketiga pasangan calon lainnya sangat berjarak jauh dengan suara yang didapat pasangan Dedi-Erwan. Menurut hasil quick count beberapa lembaga survey hampir merata bahwa pasangan Dedi-Erwan unggul signifikan dengan perolehan suara sekitar 60%, pasangan Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie meraih suara sekitar 19%, pasangan Acep-Gita sekitar 10,25% suara, dan Jeje-Ronal meraih sekitar 9% suara. Oleh karena itu, sangat logis jika Dedi-Erwan dan Tim Suksesnya sudah melakukan syukuran atas kemenangan mereka.

Ekspektasi Rakyat

Angka 60% memang memiliki makna banyak, misalnya, angka yang tidak mungkin terlampaui oleh pasangan calon lain, terlebih dengan empat pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur. Andaikan bergeser turun sedikit, tetap akan merupakan angka pemenang karena jumlah persentase pemilih lainnya dibagi tiga pasangan.

Selain itu, angka 60% pun menunjukkan angka yang luar biasa karena bersinergis dengan dukungan yang besar. Kalau dibandingkan dengan Pemilihan Gubernur Jawa Barat secara langsung sebelumnya, misalnya, Pilgub Jabar 2008, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusup menang hanya dengan meraih suara sekitar 39%; Pilgub Jabar 2013, pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar menang dengan suara sekitar 32%, dibawah perolehan Aher sebelumnya; kemudian Pilgub Jabar 2018, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum meraih suara sekitar 32%. Hal itu mengandung arti dukungan terhadap H. Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan paling besar ketimbang pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat sebelumnya.

Dukungan besar bagi pemimpin pada era pemilihan langsung merupakan hal yang positif karena menunjukkan daya terima rakyat. Bahkan, juga menunjukkan legalitas partisipatif rakyat yang dalam kaidah penyelenggaraan demokrasi merupakan bentuk demokrasi tertinggi. Pada substansinya demokrasi dengan pemilihan langsung adalah untuk mendapatkan pemimpin yang paling dipilih rakyat, paling disukai rakyat, dan paling di-ingini rakyat. Makin banyak rakyat yang memilih, menyukai, dan menginginkan, maka pemimpin itulah yang terbaik.

Bahkan, salah satu indikator pemimpin yang baik dalam sebuah negara demokrasi, menurut Habermas, adalah pemimpin yang banyak kepala (quantity of participation), yakni pemimpin yang mendapatkan banyak dukungan dari rakyat; Pemimpin yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Angka 60% yang diraih oleh pasangan Dedi-Erwan adalah angka mayoritas dan menunjukkan dukungan yang besar dari rakyat Jawa Barat.

Selain bermakna dukungan, besarnya suara pemilih dalam Pilkada juga menunjukkan ekspektasi rakyat. Dengan meraih 60% suara pemilih berarti harapan rakyat Jawa Barat sangat besar terhadap Dedi-Erwan untuk merealisasikan visi, misi, dan program kerjanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa Barat. Apalagi, figure H. Dedi Mulyadi yang acapkali viral di media sosial akhir-akhir ini adalah sosok hero pembela dan penolong rakyat. Dengan menjadi Gubernur Jawa Barat Periode 2024 – 2029, 60% rakyat Jawa Barat berekspetasi, sosok H. Dedi Mulyadi akan menjadi hero yang lebih besar lagi untuk menjadi pembela dan penolong bagi warga Jawa Barat dari berbagai kesulitan hidup mereka.

Karakteristik Dedi-Erwan

Sosok Dedi dan Erwan memang sosok yang berbeda dengan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat hasil Pilkada Langsung sebelumnya. Ahmad Heryawan-Dede Yusup (Gubernur-Wakil Gubernur Jabar 2008-2013) sosok “nasionalis” karena keduanya diturunkan dari Jakarta. Ahmad Heryawan dengan Ustadnya sehingga terkenal sangat agamis dan Dede Yusup dikenal sebagai artis, sehingga banyak fansnya. Begitu juga Gubernur Jawa Barat Periode 2013-2018, hampir setara perpaduan Ustad dan artis (Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar). Periode berikutnya (2018-2023), cukup berbeda: Ridwan Kamil lebih bermuda, gaul, dan “demam” teknologi informasi berdampingan dengan Uu Ruzhanul Ulum seorang santri.

Karakteristik mereka tersebut sangat mewarnai kebijakan-kebijakan mereka dalam memimpin Pemerintahan di Provinsi Jawa Barat. Ahmad Heryawan-Dede Yusup dan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar lebih fokus pada pembangunan bidang keagamaan dan kebudayaan. Sementara itu, Ridwan Kami-Uu Ruzhanul Ulum pada pembangun insprastruktur yang mercusuar dan viral, seperti, taman-taman tematik dan gedung-gedung publik.

Karakteristik H. Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan pun dipastikan akan juga menjadi warna tersendiri bagi kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam lima tahun ke depan. Tampaknya Dedi-Erwan sudah banyak memiliki bekal pengalaman untuk fokus pada kearifan lokal (local genius) Jawa Barat yang kaya. Issue Gedung Pakuan akan beralih fungsi dari rumah dinas menjadi musieum sejarah pun sangat santer di media sosial menjadi salah satu indikator akan tumbuh suburnya kebijakan local genius.

Jawa Barat memang provinsi yang menyimpan berjuta sejarah sekaligus berjuta kenangan. Oleh karena itu, Bung Karno pun dalam tulisannya yang sekarang banyak dijadikan tagline kebanggaan Bandung mencatat cinta sejatinya di Bandung. “Aku kembali ke Bandung kepada cintaku yang sesungguhnya.” Begitu tulis Bung Karno ikhwal kenangan indahnya tentang Bandung.

Jawa Barat memang bukan hanya Bandung, tetapi juga dari Sukabumi hingga Pangandaran dan Depok-Indramayu. Ke-27 kabupaten-kota di Jawa Barat memiliki potensi besar untuk maju dengan tidak mengabaikan, bahkan memanfaatkan berbagai nilai local genius yang sudah tumbuh subur sejak lama di daerah masing-masing. Karakteristik pembangunan Jawa Barat yang seperti itu tampaknya dimiliki oleh Dedi-Erwan.

Apalagi Dedi dikenal merakyat dan itu salah satu karakteristik penting dalam membangun Jawa Barat di antara puing-puing nilai-nilai budaya dan sejarah yang hampir tergilas globalisasi. Selama ini, yang membuat roda pembangunan berputar lambat, menurut pakar manajemen lintas budaya dari Belanda, Geert Hofdtede (1997), di antaranya karena Indonesia, termasuk ke dalam budaya power distance tinggi. Budaya ini ditandai dengan kesenjangan jarak kekuasaan: antara atasan-bawahan; pemenang-dengan yang kalah; pendukung-bukan pendukung; bahkan antara Presiden-Wakil Presiden atau Gubernur-Wakil Gubernur.

Lazimnya, budaya berjarak antara penguasa dan rakyat antara elit dan jelata, hidup pada negara-negara monarki karena kekuasaan hanya hak para bangsawan. Secara historis Indonesia seharusnya sudah melewati masa itu, tetapi budaya berjarak tetap tumbuh karena banyak pemimpin me-mimesis-kan dirinya penguasa layaknya raja; bukan pelayan yang siap menyejahterakan rakyat. Lahirnya pemilihan langsung telah melonggarkan budaya berjarak karena pemimpin mulai merasakan kebutuhan real pada suara rakyat. Pilihan rakyatlah yang menentukan mereka dapat menjadi pemimpin. Dengan figure gubernur yang merakyat, insya Allah pasangan Dedi-Erwan akan membawa Jawa Barat lebih istimewa dan lebih maju. Aamiin.

Komentar