Detik-Detik Publik Memilih

Oleh DIAH FATMA SJORAIDA

Dosen Komunikasi Politik Fikom Universitas Padjadjaran

KURANG dari dua hari kita akan kembali memilih pemimpin. Setelah 60 hari masa kampanye, kita telah disajikan berbagai janji, visi-misi, hingga rencana program. Semua itu dibalut dalam narasi politik dalam upaya meraih simpati publik.

Banyak lembaga survei kemudian merilis hasil studi mereka terhadap elektabilitas paslon. Hasil survei bukanlah penentu hasil akhir, hanya sebagai potret terhadap performa para paslon selama masa kampanye: apakah narasi politik yang disampaikan sudah cukup efektif diterima oleh para calon pemilih?

Narasi politik adalah berbagai simbol, jargon, slogan, gagasan, hingga gimik yang ditawarkan kepada publik. Sederhananya, bagaimana para paslon itu menceritakan diri dan apa yang akan dilakukannya bila terpilih. Kata kuncinya: narasi; teknik dan strategi bercerita.

Pada dasarnya, manusia adalah homo narrans, makhluk pencerita. Kita senang apabila bercerita tentang diri atau peristiwa unik yang dialami. Kita juga senang mendengar cerita orang lain jika ceritanya menarik untuk disimak.

Dalam konteks politik, narasi berperan sebagai amunisi untuk menyerang sekaligus melindungi diri. Kadang bisa jadi pedang, kadang bisa jadi tameng. Tergantung keperluan dan keadaan.

Salah satu pemikir yang mencetuskan teori mengenai narasi adalah Walter Fisher, ia menyebutnya dengan narrative paradigm atau paradigma naratif. Fisher menulis buku Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action pada tahun 1984. Fisher membedah bagaimana paradigma naratif bisa menjadi motif dalam berbagai komunikasi manusia.

Fisher menilai bahwa dalam komunikasi antarmanusia, mengandalkan logika saja tidak cukup, tetapi juga membutuhkan narasi yang mengandung dua aspek di dalamnya, yaitu: coherence dan fidelity.

 

Coherence berarti masuk akal. Narasi politik yang ditawarkan para paslon itu bisa diterima akal sehat, argumentatif, mendalam, dan berdasarkan realitas. Sementara fidelity berarti mampu meyakinkan pemilih dalam konteks emosional.

Artinya, fidelity berkaitan dengan keterwakilan, perasaan bahwa sang paslon mampu merepresentasikan kepentingan para pemilih. Fidelity inilah yang harus disentuh para paslon agar mampu mendapatkan perhatian secara emosional.

Sebagai contoh, mari kita lihat paslon di pilwalkot Bandung. Narasi politik yang disuguhkan beragam. Seperti yang disampaikan sebelumnya, narasi adalah semua atribut yang melekat pada paslon mencakup warna, simbol, jargon, hingga isu yang dibawa.

Pada pilwalkot Bandung, ada paslon yang mengusung pesan utama bahwa Bandung harus menjadi kota kreatif dunia. Hal tersebut menekankan bahwa kreativitas dan aktivitas anak muda akan menjadi sorotan utama untuk menarik perputaran ekonomi.

Ada juga yang mengenakan pakaian hansip dengan pesan tersirat unggal hajat aya. Hal tersebut memiliki maksud bahwa setiap agenda dan kepentingan masyarakat, mereka akan hadir. Selain itu, ada juga yang menawarkan narasi Bandung Caang sebagai akronim dari bercahaya, aman, dan tenang. Setiap diksi tersebut pasti dipilih sebagai solusi dari berbagai permasalahan di Bandung.

Terakhir, ada juga yang narasinya menggunakan bahasa Sunda: ngadandanan kota, ngabagjakeun warga yang berarti mempercantik kota dan membahagiakan warga. Terdengar rima -a di akhir kata, hal tersebut dipakai agar nyaman didengar dan mudah diingat.

Berbagai narasi politik itu dihadirkan untuk menarik simpati publik agar melabuhkan pilihan untuk mencoblos mereka. Dalam konteks fidelity tadi, warga bisa memilih mana pesan atau narasi yang paling mewakili kegelisahan mereka soal pembangunan kota.

Hasilnya, mereka yang memiliki narasi politik paling kuat dan paling merepresentasikan masalah dan keresahan publik lah yang akan menang. Setidaknya itu menurut perhitungan logika formal. Meski kita paham, bahwa politik sering kali tidak berbanding lurus dengan perhitungan matematik.

Komunikasi politik adalah seni bagaimana menyentuh hati masyarakat dengan narasi yang cantik sekaligus kuat. Dengan modal itulah paslon tertentu bisa diingat lamat-lamat oleh publik. Tidak mudah dilupakan dan tidak dianggap sebagai “tim hore” saat pemilihan.

Bagi kepentingan elite alias para paslon, narasi mereka gunakan sebagai alat untuk memenangkan pertarungan. Sepintas, mungkin bisa terdengar pragmatis, tetapi memang itulah esensinya. Yang lebih penting adalah kepentingan publik.

Bagi masyarakat, narasi politik harus diperhatikan lebih holistik. Tidak bisa ditelan mentah secara tekstual dan eksplisit. Publik perlu memeriksa lebih dalam narasi yang diajukan para paslon. Misalnya, narasi atau jargon utamanya adalah Bandung Hebat. Kehebatan itu perlu diselisik lebih dalam, apa maksud dan filosofinya, hingga bagaimana penerapannya secara strategis dan implementatif bila nanti terpilih.

Narasi tidak sebatas jargon kosong tanpa arti. Narasi harus bisa diterjemahkan secara konkret menjadi aksi nyata dan menjelma menjadi wujud pembangunan kota yang efektif.

Hal tersebut menjadi tantangan warga saat hendak memilih. Dengan begitu, warga tidak hanya terbuai oleh narasi yang cantik dan apik didengar, tetapi juga terbayang bagaimana pembangunan kota akan dilakukan jika paslon yang dipilihnya menang.

Di masa tenang, mayoritas warga sudah mengantongi nama paslon yang akan dicoblos. Meski begitu, tetap ada swing voters yang sering kali menjadi penentu kemenangan. Para swing voters ini biasanya sebagiannya adalah para pemilih rasional.

Pemilih rasional adalah mereka yang memilih berdasarkan rekam jejak, program yang ditawarkan, dan visi-misi yang diusung. Mereka berusaha untuk objektif dalam memilih. Mereka tidak terikat kepentingan personal ataupun emosional pada salah satu paslon, tetapi benar-benar mempelajari grand design yang ditawarkan.

Meski demikian, pemilih rasional bisa dikatakan persentasenya relatif sedikit dibandingkan pemilih emosional. Artinya, kekuatan narasi akan tetap berpengaruh besar kepada mereka yang memilih karena alasan-alasan emosional.

Di masa tenang ini, mari kita gunakan waktu untuk benar-benar merenungi narasi dan cita-cita para paslon itu. Kita gunakan hak suara dengan kepala dingin dan bijaksana. Jangan termakan kampanye hitam yang bermaksud menjelek-jelekkan paslon. Pilih dengan tenang dan penuh pertimbangan. Wallahu a’lam bishawab. ***

Komentar