Kualitas Debat Pilkada 2024

Oleh: MAHI M HIKMAT

Dosen Komunikasi Politik UIN Sunan Gunung Djati, Wakil Ketua ISKI Jawa Barat

DEBAT publik sebagai salah satu tahap yang harus diselenggarakan dalam Pilpres dan Pilkada mendapat trust besar dalam Pilpres 2024. Debat Capres 2024 yang melibatkan tiga pasangan calon: Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud berhasil menyita perhatian publik, tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Program siaran debat Capres 2024 selalu bertengger di rating tertinggi di semua televisi dan selalu menjadi inspirasi bagi para content creator dalam penyajian penggalan video viral.

Oleh karena itu, citra debat publik melejit dianggap sebagai salah satu media efektif untuk sosialisasi, edukasi, literasi, bahkan marketing politik. Bahkan, beberapa analis politik menyimpulkan, pengaruh debat Pilpres 2024 terhadap perilaku pemilih di bilik suara sangat signifikan.

Padahal, sebelumnya debat Pilpres dan Pilkada dianggap kurang ideal. Debat yang ideal sejatinya mempertandingkan dua pandangan yang berseberangan, yakni pandangan pihak pendukung (pro) dan padangan pihak penentang (kontra). Sebagaimana debat calon Presiden AS yang mempertemukan dua kandidat Partai Demokrat dan Republik. Oleh katena itu, debat publik di Indonesia acapkali dianggap sebagai tahap untuk pemenuhan hajat demokrasi saja.

Sejatinya, debat merupakan cara berkomunikasi khas masyarakat berkonteks rendah (low contact communication) yang individualis, liberal, lugas, dan berbicara apa adanya. Kemunculan debat sejalan dengan makin kuatnya import “ideologi” demokrasi ke Indonesia. Di AS, salah satu bumbu penyedap pesta demokrasi adalah debat, sehingga demokrasi Indonesia seringkali distempel sebagai demokrasi ala Amerika.

Setadinya, akulturasi debat dalam khazanah budaya politik Indonesia berada pada titik kegamangan karena berhadapan dengan karakteristik masyarakat yang notabene lemah lembut, tidak ngotot dan tidak keras; bersikap baik terhadap pendatang ‘someah hade ka semah’. Karakter tersebut tercermin dalam setiap persaingan seperti halnya debat publik, orang Indonesia selalu tetap bersikap baik, walaupun terhadap lawan atau pesaing. Kendati pun kesal, jarang diungkapkan langsung; paling menggerutu di dalam hati.

Debat Pilkada 2024

Melambungnya trust debat dalam Pilpres 2024, seharusnya menjadi modal besar bagi sukses penyelenggaraan debat Pilkada 2024. Apalagi tingkat kedekatan konstituens dengan para kandidat lebih intim; ikatan batin di antara mereka lebih merealitas, bahkan pada banyak kota dan kabupaten, setting yang sempit memberikan peluang besar untuk mereka sering bertatap muka langsung.

Walaupun ekses lain, ruang konflik di antara pendukung pun lebih terbuka, tontonan debat yang tidak fair rentan menimbulkan konflik horizontal. Oleh karena, dalam beberapa debat calon gubernur, calon walikota, dan debat calon bupati pada putaran pertama di beberapa daerah masih sangat “hati-hati”, sehingga terkesan kaku, kikuk, dan monoton, sehingga wajar jika belum mendapat reseptif positif publik.

Apalagi jadwal debat pada 37 Pilgub dan 508 Pilbup/Pilwalkot pada Pilkada Serentak 2024 ini sangat berhimpitan, sehingga perhatian publik terbagi. Berbeda dengan debat Capres 2024 karena pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD tidak membuka space untuk debat, maka publik fokus untuk menyimak setiap debat Capres. Hasilnya, pengaruh debat sebagai sarana sosialisasi, edukasi, literasi, dan marketing politik kandidat cukup efektif, sehingga angka partisipasi politik Pilpres 2024 lebih dari 80%.

Walaupun masih banyak faktor yang menyebabkan debat Pilkada 2024 sepi reseptif publik selain managemen penjadwalan yang tidak cermat. Teknik debat yang monoton, isu yang diperdebatkan tidak menukik pada persoalan ril publik, panelis yang tidak kapabel, dan presenter yang bertindak lebih dari moderator menjadi instumen-instrumen penentu dalam keberhasilan penyelenggaraan debat Pilkada 2024.

Model Debat Pilkada

Oleh karena itu, ketika tahap debat masih tersisa menuju Pilkada Serentak 27 November 2024, selayaknya Komisi Pemilihan Umum melakukan evaluasi. Debat Pilkada harus dikembalikan pada trust debat Pilpres 2024. Debat Pilkada 2024 harus memiliki nilai strategis dan substantif, bukan hanya kegiatan formalitas untuk memenuhi prasyarat juridis formal dan demokrasi prosedural.

Debat publik di Indonesia bukan di Amerika. Debat publik di Indonesia seharusnya sejalan dengan “Model Persuasi Hugh Rank” yang lebih menguatkan pelibatan komponen pokok, mengekspose secara intensif ide-ide, peristiwa, kegiatan atau substansi diseminasi informasi yang bernilai kebaikan dan kelebihan (sisi positif) yang ada pada para calon serta memainkan, menyamarkan, atau menyembunyikan (downplay) aspek-aspek sisi negatif. Para calon dipandu untuk bersaing dalam kebaikan; Berlomba memaparkan, visi-misi, dan program yang baik, bersikap, bertutur kata, dan berperilaku yang baik, sehingga yang terpilih calon terbaik.

Para calon harus dihindarkan pada “kebiasaan” membully calon lain, sehingga mencari-cari keburukan calon lain untuk jadi amunisi debat publik, maka jadilah debat publik parade keburukan, sehingga siapapun pemimpin yang terpilih akan pemimpin yang sudah diketahui keburukannya oleh rakyatnya, sehingga wajar kalau rakyat selalu curiga, bahkan tidak percaya. Inilah di antaranya yang meruntuhkan wibawa kemimpinan.

Makanya Islam mengajarkan debat pada wilayah “kehati-hatian” karena seringkali debat mendorong pada upaya memaksakan kehendak dan pendapat. Bahkan tidak jarang, dalam proses perdebatan muncul kata-kata melecehkan, meremehkan, dan menghina lawan bicara karena merasa pendapatnya satu-satunya yang paling benar. Debat demikian dapat juga menebar kebencian dan permusuhan (mukhasamah). Apalagi masyarakat Indonesia masyarakat patrilineal. Ketika pemimpinnya, idolanya, atau calonnya dihina di depan publik, maka yang marah grassroots pendukungnya. Debat seperti itu akan menjadi cikal bakal meletusnya konflik horizontal (muqatha’ah). Di panggung di antara calon boleh bersalaman cipika cipiki, tetapi di- grassroots, bisa sebaliknya. Maka hati-hatilah menyajikan debat publik.   ***

Komentar