“Saudaraku yang bukan seiman adalah saudaraku dalam kemanusiaan.” – Imam Ali RA
INILAH kampung di mana toleransi diwujudkan dengan nyata. Kampung Adat Cirendeu yang terletak di Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi dikenal sebagai tempat berkembangnya keberagaman kepercayaan dan proses asimilasi yang terjadi sejak zaman dahulu.
Masyarakat asli Kampung Adat Cirendeu mempunyai kepercayaan Sunda Wiwitan. Akan tetapi, karena pernikahan yang terjadi antara masyarakat asli dengan pendatang, secara alamiah telah memunculkan harmoni antarpemeluk agama Islam, Kristen, Katolik dan kepercayaan nenek moyang hingga kini. Saat ini. Kampung Cireundeu dipimpin oleh seorang sesepuh bernama Abah Emen.
Fenomena pernikahan antarpenganut kepercayaan yang berbeda menjadi hal lumrah di sana. Selain itu, bentuk toleransi lain bisa dilihat melalui tempat pemakaman yang tidak dipisahkan. Antara kepercayaan satu dengan yang lainnya. Satu-satunya pembeda hanyalah batu nisannya saja. Aksara Sunda untuk batu nisan dari makam penganut Sunda Wiwitan.
“Fasilitas keagamaan yang tersedia di Kampung Cireundeu adalah masjid untuk pemeluk Islam dan bale pertemuan untuk sarana beribadah pemeluk agama lain di kampung itu beserta Balai tersebut dibagi menjadi dua, yaitu Bale Atikan dan Bale Salsehan (untuk merayakan upacara adat besar setiap tahun maupun perayaan pernikahan masyarakat) yang didukung dengan fasilitas adat seperti gamelan dan lain-lain.,” Humas Kampung Adat Cireundeu Kang Entri.
Sosok ramah ini mengatakan toleransi di sini berlangsung tanpa intervensi.Hak beribadah diberikan kepada masing-masing individu tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun. Namun semua tetap bersatu gotong royong dalam kegiatan sosial. “Seperti halnya Akang, sebagai jembatan komunikasi antarmasyarakat di sini, sekalipun berasal dari Sunda Wiwitan, saya sering diundang atau dimintai pertolongan untuk membantu upacara seperti rajaban, maulidan, maupun acara keagamaanan lainnya. Di sini tersedia sarana seperti soundsystem, rebana, ataupun acara di masjid Akang pasti bantuin,” ungkap Kang Entri.
Menurut Kang Entri, meskipun masyarakat kampung adat Cireundeu memiliki kepercayaan yang berbeda, belum pernah terjadi konflik antarumat beragama. Hal ini ditandai dengan kedatangan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Keagamaan beberapa waktu lalu. Balitbangda Kemenag berkesimpulan bahwa nilai toleransi di kampung adat Cireundeu cukup tinggi di tengah isu perpecahan di luar sana yang kemudian menjadi isu yang hangat di masyarakat.
“Hade ku omong, goreng ku omong”
Kunci yang menjadi acuan dalam menjaga sikap toleransi di Kampung Adat Cireundeu adalah komunikasi yang baik antara satu dengan yang lainnya. Kang Entri sebagai penghubung bertindak sebagai mediator bila terjadi misskomonikasi antar masyarakat, “Hade ku omong, goreng ku omong’. Jadi kita berusaha misalkan yang besar jangan dibesar-besarin yang kecil jangan sampe besar,” ujarnya.
Komunikasi adalah kunci utama dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Jika sebuah masalah muncul dan dibiarkan tanpa diselesaikan, hal ini dapat berkembang dan mempengaruhi banyak pihak, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat atau bertetangga, sehingga masalahnya menjadi semakin besar. Sebaliknya, jika kita segera membicarakan masalah tersebut, kita bisa mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.
Komunikasi bukanlah proses satu arah. Tidak semua informasi yang kita terima pasti benar. Oleh karena itu, setiap berita perlu dikonfirmasi dari sumber yang jelas. Mengumpulkan pihak-pihak terkait untuk membahas dan mengonfirmasi berita adalah langkah yang bijak. Dengan demikian, kita bisa memastikan kebenaran informasi yang beredar.
Misalnya, salah satu permasalahan yang pernah terjadi di kehidupan bertetangga Kampung Adat Cirendeu pernah ada isu yang menyebutkan bahwa orang Muslim dilarang pergi ke balai desa’. Berita negatif seperti ini harus dikonfirmasi kebenarannya. Ketika Kang Entri pertama kali mendengar hal tersebut, dirinya segera berbicara dengan Abah Emen selaku sesepuh kampung.
Abah bertanya tentang sumber informasi tersebut, dan ternyata tidak ada yang jelas. Mungkin saja ini hanya celetukan anak-anak. Abah kemudian menyarankan untuk mengumpulkan semua pihak terkait, dari RW hingga RT, untuk membicarakan masalah ini. “Setelah pertemuan, kami dapat memastikan bahwa isu tersebut tidak perlu dibesar-besarkan dan pentingnya untuk mencari tahu dengan pasti sumber asal muasal informasi yang ‘dihawar-hawarkan’,” kata Kang Entri.
Jadi, kata dia, ntinya adalah komunikasi. “Saya yakin, dengan komunikasi yang baik dan saling menghormati, tidak akan ada miskomunikasi. Kita harus menghargai batasan masing-masing. Saya pun tidak akan mencampuri urusan peribadatan Muslim, demikian pula sebaliknya. Kita semua saling menjaga dan menghormati.”
Dengan demikian, komunikasi yang efektif adalah kunci untuk mencegah dan menyelesaikan masalah, serta memastikan bahwa kita semua hidup dalam harmoni dan saling pengertian Melibatkan semua pihak terkait untuk memvalidasi berita adalah langkah cerdas dalam menanggapi informasi yang beredar. Hal ini terbukti ketika Kampung Adat Cirendeu menghadapi isu-isu sensitif dan peka di kalangan warga. Dalam kasus ini, konfirmasi sumber informasi menjadi kunci dengan mengumpulkan warga dari berbagai tingkat kepemimpinan. ***
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan yang mengikuti perkuliahan Media dan Agama (Siti Nurhaliza, Elfarras Az Zahra , Salma Mazaya Hanapia, Aulia Hanifa Fianta, M. Farhan Taufik) melakukan peliputan jurnalistik beberapa waktu lalu. Feature ini adalah salah satu karya yang dihasilkan mereka.*
Komentar