Dharma Ramsi,  Vihara Tertua di Kota Bandung yang Menjadi Simbol Toleransi Sosial

 VIHARA, dalam tradisi Buddha, adalah tempat ibadah dan meditasi yang setara dengan kuil atau biara. Kata “vihara” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “tempat tinggal” atau “tempat berlindung.” Secara umum, vihara dapat berfungsi sebagai pusat spiritual, pendidikan, dan budaya bagi komunitas Buddha. Dalam sejarahnya, vihara telah berkembang dari tempat tinggal sederhana bagi para biksu menjadi kompleks yang lebih besar yang melayani berbagai fungsi keagamaan dan sosial.

Vihara Dharma Ramsi, yang terletak di Gang Ibu Aisyah, Kelurahan  Cibadak, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, merupakan salah satu vihara tertua di Kota “Parijs van Java yang  didirikan pada 1954. Lokasi vihara berada di permukiman padat penduduk yang sebetulnya beragam keyakinan agamanya.

Dengan begitu, keberadaan Vihara Dharma Ramsi ini juga menjadi penanda kentalnya toleransi sosial di lingkungan sekitarnya. Mayoritas warga di sana adalah umat Islam. Selain itu ada beragam warga dengan kepercayaan lain, seperti Kristen, Konghucu, Buddha, Hindu. Namun, semua dapat hidup dalam harmoni sosial yang terjaga.

“Vihara ini memegang teguh prinsip Tri Dharma di mana dari berbagai bahasa, bangsa, dan kepercayaan kita tetap sama. Dalam Vihara ini tidak hanya mencakup satu kepercayaan saja, melainkan tiga kepercayaan yaitu Buddha, Konghucu, dan Kepercayaan,” ungkap Asikin (75 tahun), salah seorang pengurus vihara yang merupakan seorang penghayat kepercayaan

Dari sisi bangunan, Vihara Dharma Ramsi memiliki arsitektur yang menggabungkan gaya tradisional Tiongkok dengan elemen modern, sehingga menciptakan suasana yang unik dan menenangkan.

Di dalamnya terdapat 28 altar yang didedikasikan untuk berbagai dewa, termasuk Sidharta Gautama, Amitabha Buddha, dan Dewi Kwan Im. Tempat ini juga menjadi pusat berbagai kegiatan keagamaan dan budaya, termasuk produksi lilin untuk perayaan Imlek dan pertunjukan Barongsai. “Persiapan untuk perayaan besar seperti Imlek dilakukan dengan sangat rinci, termasuk produksi lilin yang dimulai enam bulan sebelumnya. Di sini, patung-patung dewa yang jumlahnya hampir mencapai 1.000 ditempatkan di setiap sudut altar untuk memudahkan jemaat dalam berdoa,” kata Asikin yang mengaku memiliki 9 istri tersebut.

SALAH Seorang pengunjung Vihara Dharma Ramsi tengah bersembahyang dan berdoa.*

Pada perayaan Imlek, Vihara Dharma Ramsi biasanya menerapkan protokol kesehatan ketat dan membatasi jumlah umat yang hadir untuk berdoa. Kegiatan di Vihara Dharma Ramsi juga mencerminkan semangat toleransi. Misalnya, pada bulan Ramadan, vihara menyediakan makanan pembuka untuk umat Muslim yang berpuasa. Saat perayaan Tahun Baru Imlek, meskipun warga yang tinggal di sekitar vihara berbeda agama, mereka tetap berpartisipasi dalam pertunjukan seni khas Tionghoa seperti barongsai dan liang liong.

Asikin menambahkan, Vihara Dharma Ramsi didirikan untuk menyediakan tempat ibadah bagi umat Buddha di Bandung, khususnya bagi komunitas Tionghoa. Pendirinya, Bhikku Anense dan Amoise, membawa pengaruh dan tradisi Buddhis dari Cina, menciptakan sebuah pusat spiritual yang penting bagi umat di daerah ini. Selain sebagai tempat ibadah, Vihara Dharma Ramsi juga berperan dalam memperkuat nilai-nilai toleransi di lingkungan Kampung Toleransi, sebuah inisiatif yang diresmikan oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil, pada tahun 2017. Kawasan ini mencakup berbagai tempat ibadah dari berbagai agama yang hidup berdampingan dengan harmonis.

“Vihara ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat spiritual tetapi juga menjadi destinasi wisata religi yang menarik, menawarkan taman yang indah, ruang meditasi, dan berbagai acara keagamaan yang terbuka untuk umum. Vihara Dharma Ramsi aktif mengadakan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya. Salah satu kegiatan utamanya adalah produksi lilin untuk perayaan Imlek, di mana lilin-lilin besar dan kecil diproduksi dan digunakan untuk upacara keagamaan. Selain itu, vihara ini juga menjadi pusat pertunjukan seni seperti Barongsai dan Liong selama perayaan Tahun Baru Imlek,” tutur Asikin yang membebaskan anak-anaknya memiliki keyakinan berbeda-beda.

Selama bulan Ramadan, vihara ini bahkan menyediakan makanan untuk berbuka puasa bagi warga Muslim setempat, menunjukkan komitmen kuat terhadap toleransi dan kerjasama antar komunitas, biasanya ada kegiatan seperti pengajian, meditasi, dan pemberian makanan bagi yang berpuasa. Beberapa vihara juga menyelenggarakan acara sosial, seperti penggalangan dana untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Kegiatan sosial

Vihara ini dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi komunitas Buddhis di daerah tersebut, dan memiliki pengelola yang aktif seperti Asikin yang juga berperan sebagai relawan. Asikin mengurus berbagai persiapan untuk acara-acara penting seperti Tahun Baru Imlek, termasuk penataan lilin-lilin besar dan dekorasi altar. Pengurus vihara juga menerapkan protokol kesehatan ketat selama pandemi, termasuk pembatasan jumlah umat yang dapat beribadah dan penggunaan aplikasi PeduliLindungi untuk memastikan status vaksinasi.

SALAH satu dari 28 altar di dalam vihara yang didedikasikan untuk berbagai dewa, termasuk Sidharta Gautama, Amitabha Buddha, dan Dewi Kwan Im.*

Vihara ini juga aktif dalam kegiatan sosial dan komunitas, menjaga hubungan baik dengan tetangga dari berbagai latar belakang agama. Asikin, menjelaskan bahwa filosofi yang terpampang di depan vihara adalah “Negara Aman dan Rakyat Sejahtera”. “Filosofi ini  mencerminkan harapan bahwa dengan keamanan negara, kesejahteraan rakyat akan tercapai. Doa-doa yang dipanjatkan di vihara tidak hanya untuk umat Buddha tetapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang suku, ras, atau agama,” kata Askin lagi.

Pada akhirnya, Vihara Dharma Ramsi bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya yang penting bagi komunitasnya. Dengan sejarah yang kaya dan komitmen kuat terhadap toleransi dan kerukunan, vihara ini terus memainkan peran vital dalam mempromosikan nilai-nilai spiritual dan sosial di Bandung. Vihara Dharma Ramsi menunjukkan komitmen yang kuat terhadap praktik keagamaan Buddha serta kontribusi positif terhadap masyarakat melalui kegiatan sosial dan kemanusiaan. Keberadaannya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat spiritual dan kesejahteraan bagi komunitasnya. ***

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan (Rahma Aulia Putri Prayitno, Alfira Zihan Nurahma, Marwah Supriatna, Dhea Angesti, Envidia Audrey Shafa Taj Alika) melakukan peliputan jurnalistik beberapa waktu lalu. Feature ini adalah salah satu karya yang dihasilkan mereka.*

 

 

 

 

Komentar