Oleh Dr Elva Ronaning Roem, S.Sos, M.Si
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unand
DEBAT calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) Pemilu 2024 yang diharapkan publik menjadi debat gagasan, ternyata jauh pangang dari api. Alih-alih memberikan edukasi dan gagasan cerdas kepada masyarakat, debat Capres dan Cawapres kali ini, justru sebaliknya; menjadi ajang saling serang. Alhasil, debat yang disajikan menjadi tidak bermutu.
Debat terbaru yang berlangsung Minggu (21/1), juga terlalu banyak menghadirkan gimik. Isu-isu yang semestinya dibahas lebih dalam, menjadi kurang disorot. Memang menyerang dalam debat itu, biasa. Namun jika kemudian, lebih meninggalkan substansinya, lebih banyak menekan agar lawan menjadi emosi, tentu hal itu menjadi kurang baik.
Hal ini dikhawatirkan menyebabkan pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voters) menjadi antipati. Luar biasanya, baru kali ini, debat Capres dan Cawapres menyajikan pertanyaan yang terkesan “tebak-tebakan”, bukan adu gagasan (policy). Gaya debat seperti ini menunjukkan arogansi serta gaya komunikasi politik yang tidak kondusif dalam sebuah perdebatan. Memang di dalam aturan debat yang diatur KPU, tidak ada yang dilanggar. Namun psikologinya, tetap saja salah satu pihak terpancing emosi dibuatnya.
Dalam dunia pers, bad news is good news. Berita saling serang akan menjadi headline, lebih disukai oleh pembaca Namun ingat, tak selamanya orang suka dengan berita saling serang tersebut. Alangkah baiknya, debat Capres dan Cawapres itu lebih berkualitas dengan menghadirkan adu gagasan program kerja, bukan hanya retorika belaka dan gimik.
Sesekali menyerang dengan pertanyaan kritis kepada capres/cawapres lain tidak apa-apa, asalkan dalam konteks program kerja, bukan sentimen negatif atau lainnya untuk menjatuhkan personal. Debat itu harusnya, menguji capres/cawapres dalam memberikan solusi untuk mengatasi persoalan bangsa.
Debat saling serang dengan menjatuhkan seseorang di depan publik, tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Justru sebaliknya masyarakat menilai, politik adalah sebuat alat (tools) untuk saling serang untuk mencapai tujuan.
Hakikatnya, debat Capres/Cawapres ini merupakan ajang untuk menunjukkan para kandidat menguji dan memperdalam gagasannya di hadapan masyarakat Indonesia, bukan untuk adu kepintaran antar kandidat. Adu kepandaian atau kepintaran sudah dilakukan pada jenjang pendidikan. Selain itu, debat capres/cawapres yang disajikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI saat ini, dinilai kurang ideal karena tidak ada perdebatan antara panelis dengan capres/cawapres. Panelis hanya membuat pertanyaan dan mengambil isu tema dalam debat. Seharusnya, panelis lebih dilibatkan dalam debat untuk mendalami gagasan peserta debat.
Idealnya dalam debat, para calon pemimpin dapat menunjukkan gaya persuasif yang dimiliki baik verbal maupun non verbal. Tetapi dalam kenyataannya, strategi persuasif yang sering digunakan terdiri dua komponen pokok yakni glorifikasi dan manipulasi. Para kandidat cenderung memaparkan gagasannya secara intensif disertai penyamaran aspek-aspek tertentu, dan menonjolkan sisi-sisi buruk dari pesaingnya.
Tiga kandidat calon presiden 2024 memiliki gaya berbeda di panggung debat. Prabowo Subianto cenderung memposisikan diri sebagai petahana karena selain berada di bagian pemerintahan, Prabowo memperoleh elektabilitas paling tinggi dalam berbagai survei. Dua kandidat lain, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo silih berganti menyerang untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas. Anies memposisikan sebagai agen perubahan, sementara Ganjar di antara keduanya.
Pada hakikatnya, serangan kepada lawan sangat penting dalam debat untuk menciptakan poin politik guna mendelegitimasi kredibilitas lawan. Walau serangan dalam debat memiliki poin penting, namun jika disampaikan secara berlebihan, justru bisa menjadi bumerang, memunculkan simpati publik terhadap pihak yang dibombardir.
Dari ketiga capres, ada benang merah dalam gaya komunikasi mereka dari pengamatan dua kali debat. Gaya Anies lebih terstruktur dengan kekuatan retorika yang sistematis dan diksi yang retoris. Prabowo bergaya dinamis cenderung asertif, langsung ke tujuan, dan menyerang. Sementara Ganjar, berusaha menjadi sosok tengah yang peka dan berpengaruh bagi dua kandidat.
Dalam proses politik terdapat empat hal yang mendapat perhatian besar dari partai politik dan kandidat presiden. Yakni kedekatan dengan pemilih (proximity), program kampanye, kepuasan pemilih, dan loyalitas pemilih. Untuk mewujudkan hal itu, komunikasi politik memiliki peran strategis dan penting untuk merebut suara pemilih terutama pemilih labil (swing voters) dan yang belum menentukan pilihan (undecided voters). ***
Komentar