Oleh : Ijang Faisal)*
Capres dan cawapres, apalagi timses nomor urut dua, Prabowo-Gibran, tidak henti-hentinya menebar klaim akan menang satu putaran dalam Pilpres 14 Februari 2024 mendatang. Klaim mendekati psywar ini utamanya didukung dari hasil survey sejumlah lembaga survey politik.
Pertanyaaannya kemudian, seberapa mungkinkah klaim ini bakal terwujud? Penulis mencoba mengupasnya dalam empat poin utama. Pertama, Prabowo Gibran adalah pasangan yang merupakan hasil “pemisahan” dari ceruk dan profil satu kluster mendekati seragam yakni para pendukung Jokowi, dari ceruk satunya lagi, yakni tentu saja Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Kita masih ingat prosesnya manakala semula para pendukung Jokowi ini diberi kode Si Rambut Putih yang akan didukung, sehingga kader partai dan atau relawan, berbondong-bondong mengelukan dan mendukung Ganjar Pranowo saat itu. Apalah daya, perjalanan waktu kemudian, sinyal ini memudar sendirinya terlebih ketika MK memutuskan memberi karpet merah yang melanggar etika kepada Gibran sang putra mahkota.
Para pendukung buta Jokowi terus mendukung Jokowi dengan beralih dukungannya kepada Prabowo-Gibran sekalipun mereka tahu Paman Gibran, Anwar Usman, divonis telah melanggar kode etik saat mengetok palu di sidang MK. Di sisi lain, tak sedikit relawan para pendukung Jokowi yang kecewa sehingga balik kanan dan bergabung dengan kader PDI-P yang merasa dikhianati amat sangat.
Karena itu, mereka membelah dua dari satu rumpun suara serupa, sehingga perkembangan terkini menunjukkan tidak ada satupun hasil survei yang menunjukkan Prabowo-Gibran akan menang satu putaran (kecuali satu, dua survei yang merangkap sebagai timses). Malahan, beberapa hasil survey prosentasenya (selepas tiga kali debat Capres-Cawapres) cenderung terus menurun dan stagnan sementara pertumbuhan persentase muncul terutama di paslon Anies-Muhaimin, demikian pula dengan Ganjar-Mahfud. Dengan kata lain, pangsa dan segmen pasar mereka tidak/kurang berkembang, masih pada cakupan eksisting serta tak berhasil meraih pangsa baru terutama dari segmen pemilih muslim fundamental.
Kedua, jika merujuk komposisi suara partai dan suara figur pada Pemilu 2014 dan 2019, maka suara pendukung Jokowi dan suara Prabowo memiliki embrio relatif stagnan. Maka, ketika konstelasi terpecah pada kluster baru tapi lama yakni Ganjar-Mahfud, otomatis sulit untuk meningkatkan komposisi suara tersebut.
Pada Pemilu 2014, Jokowi-JK mendapat dukungan parpol sebesar 40,8% dari 5 parpol pengusungnya, sementara suara pemilih Jokowi-JK di pilprs 2014 mendapat 53,15%, adapun Prabowo-Hatta mendapat dukungan parpol sebanyak 48,8% dari 6 parpol pengusungnya sedangkan suara pemilihnya pada pilpres 2014 sebesar 46,85% suara. Lima tahun kemudian, Pemilu 2019, Jokowi-Amin memperoleh dukungan parpol 61,5% dari 7 parpol pengusungnya serta mendapat suara pemilih di pilpres 2019 sebanyak 55,5% suara, sedangkan Prabowo memiliki dukungan parpol 38,54% dari 4 parpol pengusung dan mendapatkan suara pemilih sebanyak 45,5% suara.
Maka, jika melihat data ini, terutama data dari suara pilpres, suara Jokowi dalam dua pemilu naik tipis sementara Prabowo pun alami hal sama. Artinya, potensi suara mereka di tahun ini pun tidak realistis akan melesat banyak, apalagi bisa langsung auto satu putaran/50%+1. Jangan lupakan pula pembahasan nomor satu di atas bahwa suara bawaan Jokowi pun terpecah ke Ganjar, sehingga variabel pengubah elektabilitas hadir melalui performa dalam Debat Capres dan Cawapres.
Ketiga, jika melihat potensi suara partai pendukung, Prabowo-Gibran memang rangking satu tapi selisih dengan potensi suara parpol lainnya tidak terlalu jauh. Merujuk hasil survei, total suara dari parpol-nya mencapai 38,2% terdiri dari Partai Gerindra 18,1%, Partai Golkar 8,8%, Partai Demokrat 5,1%, PAN 4,8%, PSI 1,8%, Partai Garuda 0,3%, PBB 0,1%, serta Partai Gelora dan Partai Buruh masing-masing 0,1%. Angka tadi diikuti Ganjar-Mahfud sebesar 29,3% terdiri dari PDIP 23%, PPP 3,2%, Partai Perindo 2,1%, dan Partai Hanura 0,7%. Terakhir, Anies-Muhaimin mencapai 23,3% terdiri dari PKB 8,4%, Partai NasDem 8,3%, PKS 6,5%, dan Partai Ummat 0,1%. Karena itulah, dengan melihat komparasi persentase ini, bagaimana bisa satu putaran karena embrio dasarnya pun tidak mencapai 40%? Kalaupun ada potensi dari undecided dan swing voters, persentasenya tidak pernah sampai lebih dari 15%.
Keempat, ada ceruk suara Prabowo di 2014 dan 2019 yang tidak otomatis pindah ke Paslon No 2 sekarang. Prediksi penulis ini jumlahnya tidak sedikit, puluhan juta! Mereka terutama berasal dari unsur pemilih pro Islam/partai Islam sekaligus selama ini menempatkan Jokowi sebagai figur yang tidak pro Islam. Ceruk ini tak selamanya berasal dari kader partai terutama dari PKS. Tapi justru banyak juga berasal dari unsur relawan, yang penulis perhatikan mereka sejak 2014 sudah tidak memberi atensi apalagi apresiasi kepada sosok Jokowi. Maka itu, Prabowo dipastikan menerima kenyataan bahwa pendukung loyalnya dalam dua pemilu sebelumnya balik kanan dan bahkan saat ini resisten.
Selain ceruk suara ini, penulis juga melihat ada ceruk pemilih serupa tapi tak sama yakni yang penting bukan Jokowi dan kroninya. Mereka ini, saat Pemilu 2014 dan 2019 pun, sesungguhnya bukan memilih sosok Prabowo un sich. Tetapi lebih dominan yang penting bukan Jokowi yang jadi Presiden RI. Situasi semacam ini masih ada di Pilpres 2014, sehingga ketika Prabowo dan Jokowi bersatu di Paslon No.2, maka penulis melihat ada semacam keenggan meningkat dari segmen tersebut untuk memilih figur yang ada jokowinya. Mari lihat bersama pada 14 Februari mendatang. Benarkah klaim satu putaran terwujud? Ataukah besar kemungkinan terjadi putaran kedua 26 Juni 2024? Wallahu’alam (**)
)* Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung
Komentar