Oleh:
Dr. H. Ijang Faisal, M.Si
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
Negeri ini adalah negeri yang tak sungkan dan malu lagi; Etika dan kepatutan terus dinihilkan dan selalu ditempatkan di bawah hukum positif, yang sayangnya hukum ini dibuat tanpa mengindahkan rasa patut dan pantas tapi selalu dibuat bertendensi memenuhi syahwat kekuasaan.
Setelah gaduh berkepanjangan implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Capres dan Cawapres, penulis menilai akan ada “gencatan” sikap dan laku dari pemerintah guna menenangkan khalayak masyarakat Indonesia.
Apa daya, jauh-lah asap dari panggang! Faktanya Presiden Jokowi pada Selasa, 21 November 2023 lalu malah merilis Peraturan Pemerintah No 53/2023 yang kembali memancing ramai. Sebab, menteri serta kepala daerah (bupati dan walikota) tak perlu mundur jika resmi mendaftarkan diri Pilpres 2024.
Di saat bersamaan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/2015 masih mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada (pemilihan gubernur/walikota/bupati).
Bukankah ini terjadi paradoks manakala kontestasi demokrasi tertinggi di negeri ini (Pilpres), mereka yang punya kuasa anggaran dan aparat, seraya bisa mengomando timses untuk berlaku TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Massif), justru dilindungi aturan agar tak perlu mundur?!
Bukankah rancu mereka pejabat negara yang sudah disumpah melayani publik, malah dibentengi regulasi untuk bisa spartan ber-kampanye dibandingkan mensukseskan akhir masa jabatannya? Terlebih masa kampanye Pilpres 2024 ini sangat pendek (75 hari), maka bagaimana bisa mereka lebih fokus memprioritaskan kinerja pelayanannya kepada rakyat Indonesia?
Di manakah etika, moral, dan rasa malu ditempatkan manakala aturan tak perlu mundur ini pasti akan lebih memungkinkan capres dan cawapres dari pejabat negara untuk gunakan fasilitas, akses, dan kuasa milik negara? Di manakah nilai patut dan pantas dicontohkan ke masyarakat ketika regulasi terus memberi wahana berlaku sempat-sempatnya dalam kesempitan?
Tak perlu baper jadinya jika gelagat ini wajar ditafsirkan publik bahwa Presiden Jokowi terutama hendak menguntungkan sang anak, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Cawapres dengan keuntungan posisinya sebagai Walikota Solo eksisting. Seperti sebelumnya, sang paman, Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi pecatan, yang menetapkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sangat menguntungkan sang ponakan.
Sah-sah pula jika Peraturan Pemerintah No 53/2023 ini dimaknai hendak memberikan advantage kepada Capres Prabowo Subianto, yang anak kecil pun sudah bisa melihat bahwa gelagat dan gestural Presiden Jokowi lebih mendukungnya dibandingkan dua capres lainnya. Maka itu, aturan tersebut sekalipun juga memberi ruang keuntungan bagi Cawapres Mahfud MD namun takkan begitu leluasa karena angin preferensi sudah tampak jelas mengarah ke mana.
Maka itu, Presiden Jokowi seolah norek, mendadak tuli pada segala komplain dan keberatan masyarakat Indonesia yang justru sedang sayang dan peduli ke negara dan pimpinannya. Hati nurani mereka beringsut protes karena aneka peraturan absurd tak henti dikeluarkan di negeri, ya tiada “gencatan” kegaduhan bagi ruang kumulatif akal waras.
Melanggengkan Kekuasaan
Penulis kian prihatin dan terutama gamang dengan ini semua. Proses elektroral demokrasi di negeri ini hanya terus memproduksi politisi, bukan negarawan. Pilkada dan Pilpres kian menampakkan ikhtiar melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan, bukan usaha super maksimal memperjuangkan kepentingan rakyat.
Anggota BPK dan hakim agung ditangkap KPK, eh Ketua KPK nya jadi tersangka dugaan memeras. Polisi malah ikut jualan narkotika, ada jaksa terbukti jadi makelar kasus, enam menteri dalam dua periode ini sudah terpidana masuk bui. Wakil Menteri Hukum dan HAM pun baru jadi pesakitan.
Mengapa 25 tahun reformasi menjadi begini, makin banyak penguasa yang tak malu-malu lagi berlaku? Di mana bukti sahih kesuksesan Revolusi Mental, manakala mental politisi kian menjadi tapi di saat bersamaan makin defisit negarawan yang ikhlas membaktikan dirinya?
Hampir tidak ada bedanya negeri ini dengan Filipina dan Thailand misalnya, yang selalu penuh jargon pembaruan dan bangun ulang negeri tiap kali Pilpres, namun faktanya mengulang kesalahan orde-orde lalu khususnya dengan mengakali sistem agar selama mungkin berkuasa.
Penulis sepakat dengan premis dari Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, University of Melbourne, Vedi R Hadiz, yang memperoleh simpulan dari risetnya bahwa proses demokrasi di Asia Tenggara umumnya tidak berhasil mengatasi ketidakadilan sosial. Institusi tetap dikuasi pihak yang terafiliasi dengan Orde Baru seperti di Indonesia.
Jelang pergantian kepemimpinan, para elite (termasuk Presiden) tak henti mempertontokan akrobat politiknya. Keterlibatan politisi dan birokrat menyimpangkan tujuan bernegara, dan ini diperkeruh dengan keterlibatan pengusaha dan militer. Alih-alih memberikan ruang kebebasan kepada masyarakat sipil, justru terus dicari untuk kian mengantarkan keluarga tradisional elit menjadi pemimpin negara.
Akhirul kalam, negeri ini sedang tidak baik-baik. Indonesia sedang jungkir balik, manakala etika dan moral terus jadi isu pinggiran. Politik selalu dijadikan panglima, mereka yang agungkan etika ingatkan malah balik dicemooh. Apa mungkin visi Hadist Nabi Muhammad SAW sedang intens terjadi di negeri ini, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari No. 3483)? (**)
Komentar