PRASASTI di sebuah pertigaan kecil Desa Baros, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung itu dipasang di sebuah bangunan tembok pendek. Di dekatnya ada tiang bambu sederhana yang di bagian atasnya ada tulisan “Wisata Walungan Citalutug” dan di bagian bawahnya ada tanda anak panah ke arah kanan sebagai petunjuk jalan.
Pada prasasti tersebut ada tulisan berbunyi: “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Wisata Alam Citalutug Desa Baros Diresmikan Oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno, Baros, 22 Januari 2023”.
Saat pengunjung mengikuti petunjuk arah, mereka harus menyusuri jalan sempit menurun yang diperkeras dengan semen, bukan aspal, menuju lokasi Wisata Alam Citalutug (Sungai) itu. Kemudian pengunjung harus menyusuri jalan/jembatan setapak, menurun dan sempit yang dibuat dari papan kayu dan bambu warna-warni.
Berjalan di atas jembatan setapak berliku dan menurun itu pengunjung harus hati-hati dan waspada, jangan sampai terjatuh ke sawah. Sebab, selain lebarnya hanya lebih kurang satu meter, juga kayu-kayunya sudah ada yang keropos dan pakunya menonjol. Pengunjung harus lebih hati-hati bila membawa anak-anak kecil atau lansia yang langkahnya tidak selincah mereka yang masih berumur muda.
Kehatian-hatian para pengunjung yang hanya membayar tiket masuk sepuluh ribu rupiah per orang itu dikompensasi dengan pemandangan desa yang masih alami dan indah. Hamparan sawah dengan terasiringnya dan tanaman padi serta sayur-mayurnya yang menghijau membuat hati terasa sejuk dan senang.
Di antara beberapa sarana atau wahana wisata dan permainan yang dikemas relatif sederhana, ada sungai yang permukaannya tidak terlalu lebar diperuntukkan bagi para pengunjung untuk mandi dan berenang sambil bercanda ria. Apalagi bagi anak-anak yang secara alami masih senang bermain dengan air. Mereka bisa betah berlama-lama untuk mandi, berenang, tapi tetap harus berhati-hati karena di bagian bawahnya ada batu-batu besar maupun kecil yang dibiarkan tetap berada di sana.
Batu-batu besar tidak saja masih mewarnai permukaan sungai, tapi juga permukaan lahan persawahan. Sisa-sisa lebar tanah di antara batu-batu itu tampak masih tetap bisa ditanami padi. Sedangkan sawah-sawah yang permukaan tanahnya tidak berbatu serta berada di lahan miring diwarnai kehijauan tanaman dan saluran-saluran pengairan.
Mengedepankan keasrian alam
Suasana alam pedesaan dengan keasriannya yang berlatar belakang Gunung Malabar sangat terasa di kampung-kampung di wilayah Desa Baros ini. Menyusuri desa yang menjadi destinasi wisata ini jangan berharap suasana hingar-bingar perkotaan.
Berjarak lebih kurang 15 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bandung, Soreang, atau sekitar 10 kilometer dari jalan raya Banjaran, sebaiknya para wisatawan mengendarai mobil-mobil kecil dan sepeda motor daripada menggunakan bus-bus besar atau minibus.
Lokasi parkir di pinggir jalan menjelang masuk lokasi obyek wisata Citalutug hanya mampu menampung beberapa buah mobil kecil. Daya tampung yang terbatas itu kemudian ditambah lahan-lahan parkir relatif sempit di pekarangan rumah-rumah di dekat pintu masuk. Selanjutnya para pengunjung harus berjalan kaki, melewat gang-gang sempit, kemudian jembatan setapak yang berliku dan menurun.
Di bagian depan lokasi wisata telah tersedia sarana permainan untuk anak-anak dan makan-minum untuk orang dewasa. Di bagian dalam/bawah juga tersedia wahana permainan untuk anak-anak, kafetaria dan karaoke serta saung-saung untuk bercengkerama.
“Para pengunjung juga bisa bermalam di sini, tapi jangan berharap pasangan (muda) yang bukan pasangan yang sah bisa bermalam di sini,” ujar Iyan (42 tahun), salah satu karyawan yang mengatur parkir.
Sesuai dengan tujuan pemerintah membangun desa-desa wisata di Tanah Air ini, Iyan mengaku merasa mendapat tambahan penghasilan/kesejahteraan dengan adanya Wisata Alam Citalutug ini. Bagi para wisatawan dari perkotaan dan masih awam tentang dunia pertanian sekaligus punya minat melakukan praktik bertani, bisa melakukannya di desa wisata ini. Tentu saja harus disertai dengan tarif biaya yang terjangkau.
Menurut Iyan, pendapatan dari keberadaan desa wisata ini dibagi dan dirasakan oleh tiga kelompok, yakni pemilik lahan/wahana permainan, karyawan, dan warga desa. Semakin ramai jumlah pengunjung seperti setiap akhir pekan dan hari libur panjang, maka semakin baik pula penghasilan warga Desa Baros. (Widodo A, TuguBandung.id)***
Komentar