Jadi Korban Perundungan, Remaja Di Kota Tasikmalaya Sempat Mau Mengakhiri Hidupnya

TASIKMALAYA, (TUGU BANDUNG). – Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun warga Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, sempat mau nekat mau mengakhiri hidupnya. Diduga remaja tersebut menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman-temannya di salah satu pondok pesantren Kota Tasikmalaya.

Korban hingga kini alami trauma dampak dari perundungan tersebut.  Karena merasa malu oleh keluarga dan tidak tahan dengan ejekan teman-temannya.

Menurut ayah korban yang minta namanya diinisialkan A mengungkapkan, anaknya itu kerap mendapat perlakuan yang tidak wajar dari teman-teman di pesantren. Selain itu anaknya juga sering diejek karena anak dari keluarga miskin.

Korban kerap di ejek karena miskin juga perlakukan peruskan terhadap barang milik korban. Bahkan paling santer korban dituduh telah melakukan pelecehan seksual terhadap seorang santriwati di pesantren tempatnya menimba ilmu.

“Anak saya sering diejek dengan kata-kata orang miskin. Selain itu, bajunya juga pernah disiram dengan kuah mie rebus padahal di simpan dalam lemari. Bahkan dituduh melakukan kekerasan seksual ke santriwari,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/7/2023).

Awalnya anaknya dituduh melakukan pelecehan seksual, kata A, di ponpes itu anaknya biasa membangunkan santriwati dengan berkeliling. Saat membangunkan itu, tiba-tiba seorang santriwati di kobong menangis.

“Pada saat berkeliling membangunkan santri, ada seorang santriwati yang menangis dan mengaku mau dilecehkan, padahal anak saya tidak masuk ke kobong santriwati,” katanya.

Ia mengatakan, saat kejadian adanya tuduhan itu, korban sempat dipukul santri lain bahkan, baju korban hingga robek.

“Tuduhan itu sempat anak saya dipukul oleh santri lain, bajunya pun samapai robek-robek, karena dipukuli sama santri lain,” ucapnya.

Setelah kejadian pemukulan dan tuduhan pelecehan seksual, kata A, anaknya sempat trauma dan untuk sekadar pulang ke rumah orang tua juga ada rasa takut. Pernah sekali waktu kedapatan anaknya itu mau mengakhiri hidupnya.

“Karena tekanan hingga merasakan malu untuk pulang ke rumah takut sama orang tua. HIngga sempat berniat mengakhiri hidup. Namun sekarang, Alhamdulillah sudah normal seperti biasa, karena dikuatkan oleh kita sebagai orang tuanya,” katanya.

Ayah korban tidak percaya dengan apa yang dituduhkan santri lain terhadap anaknya, mengenai adanya pelecehan seksual terhadap santriwati. Sebab, secara perilaku anaknya itu masih kekanak-kanakan.

“Kepribadianya masih seperti anak kecil, bahkan jika tidak sedang mondok anak saya kerap berdgang layangan dengan berjalan kaki mengelilingi kampung – kampung. Kesehariannya masih ke kanak-kanakan,” katanya.

Saat ini, lanjut A, anaknya tersebut sudah tidak mesantren lagi karena sudah dikeluarkan dari pesantren.

“Mengeluarkanya memang tidak secara langsung, tapi pihak pesanten berucap kepada anak saya, bahwa pendidikan itu lebih baik sama orang tua. Pihak sekolah tidak memanggil orang tua hingga saat ini,” ujarnya.

Saat ini, A berencana memasukkan anaknya ke sekolah lain. Ia pun bersyukur ada orang-orang yang mau menerima anaknya untuk bisa kembali bersekolah.

“Rencananya, anak saya mau masuk ke sekolah lain. Dibantu oleh teman-teman dari Mahasiswa IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Alhamdulillah banyak orang baik yang peduli,” katanya.

Dengan banyaknya orang yang peduli terhadap anaknya, A meyakini anaknya adalah anak yang baik.

“Itu menunjukkan kalau anak saya baik, kalau memang melakukan kejahatan, saya yakin tak akan menemukan kebaikan,” ucapnya.

“Karena kamu mendapatkan kebaikan setelah dikeluarkan sekolah dari sana, itu menunjukkan bahwa kamu benar, tidak salah. Saya bilang ke anak, percaya sama kamu Nak,” sambung dia.

 

Kepedulian Mahasiswa yang Tergabung Dalam Komunitas Ramah Anak Tasikmalaya

Sementara itu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Tasikmalaya yang tergabung dalam Komunitas Ramah Anak Tasikmalaya mengaku mendapat informasi terkait anak yang jadi korban perundungan secara fisik dan verbal, hingga dikeluarkan dari pesantren . IMM pun langsung mendatangi rumah korban.

Ketua Komunitas Ramah Anak Tasikmalaya, Moh Suci Adiwijaya mengatakan, menurut pengakuan korban kekerasan yang diterimanya berupa pemukulan yang dilakukan oleh lebih dari dua orang.

“Dari penjelasan korban, ia jadi korban perundungan, tendensi karena miskin dan lagi ada tendensi-tendensi dianggap berbeda secara fisik (gangguan mental, tetapi berpikir normal),” katanya.

Artinya ini sangat berbahaya, ditakutkan ini bisa menjadi kejahatan yang terorganisir. “Makanya kami hadir ke sini, bagaimana untuk pendampingan ke depannya, apalagi korban sempat depresi mau mengakhiri hidup cuma terselamatkan, ada yang narik untuk pulang, berarti sudah menjadi bukti bahwasanya itu sudah sangat parah,” katanya.

IMM berharap instansi pemerintah dan lembaga terkait mendukung korban perundungan. Sementara untuk korban, lanjut Moh Suci, akan dipindahkan ke pesantren lain.

“Kita mempertanyakan, kelembagaan-kelembagan dan intansi pemerintah ke mana, Kami berharap dukungan dari mereka,” katanya.

Sementara untuk sekolahnya sendiri, sedang dalam proses keluar dan mau dipindahkan ke salah satu pesantren. “Nanti untuk seluruh biayanya kita yang tangani. Korban ini menandakan sudah tidak betah di tempat tersebut,” katanya.***

Komentar