MENGABDI pada negara merupakan sebuah kehormatan tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satunya Sukowiono, pria asal Soreang, Kabupaten Bandung yang merupakan pensiunan tentara nasional Indonesia. Semasa hidupnya, ia menghabiskan banyak waktunya untuk mengabdi pada negara dengan mempertahankan kedaulatan NKRI. Semua yang dilakukan oleh Sukowiono selama menjadi tentara tentu dilakukan dengan sepenuh hati.
Akan tetapi, terdapat satu hal yang membuat Sukowiono tidak puas selama menjadi tentara. Bukan soal tahta, harta, maupun wanita. Melainkan ilmu agama. Pria kelahiran Jakarta, 27 Juli 1964 tersebut mengaku selama menjadi tentara dirinya sangat susah untuk fokus sepenuhnya dalam belajar dan melaksanakan ilmu agama ke dalam kehidupannya.
“Saya itu ilmu ketauhidan, ilmu keikhlasan, ilmu solat, dan ilmu ngaji hanya mampu dilaksanakan setiap hari 50% atau 40%,” ungkap pria 58 tahun yang pensiun pada Agustus 2022 lalu. Baginya, menjadi tentara hanya fokus keduniawian saja. “Saya kan masalahnya pensiunan tentara, tentara itu semuanya hanya keduniawian saja”, tambah Sukowiono.
Merasa kurang mendalami ilmu agama membuat Sukowiono memutuskan untuk mengikuti Pesantren Masa Keemasan (PMK), sebuah program belajar ilmu agama dari Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung yang dikhususkan untuk para lansia berusia 45 tahun ke atas. Program berdurasi 40 hari tersebut dilaksanakan untuk memfasilitasi para lansia yang ingin memiliki gelar husnul khatimah, yaitu akhir hidup yang bahagia. Tentu Sukowiono ingin memiliki gelar husnul khotimah.
Sukowiono mengaku ingin memaksimalkan waktunya selama 40 hari dalam mengikuti Pesantren Masa Keemasan. Terlebih lagi, saat menjadi tentara dirinya sangat sulit untuk mendapatkan waktu yang panjang untuk belajar ilmu agama.
“Kalau ikut-ikut yang kayak begini biasanya tidak akan dikasih waktunya. Boleh, tapi izin 40 hari tidak diizinkan”, ungkap Sukowiono. Beliau mengaku ketika masih menjadi tentara sulit untuk mengikuti program seperti Pesantren Masa Keemasan. “Semua kegiatan di Daarut Tauhid itu minimal 40 hari ke atas. Bagaimana saya mau mencari ilmu?” tambah Sukowiono.
Selama mengikuti program tersebut, Sukowiono merasa berat untuk meninggalkan masalah duniawi. Dirinya mengaku pikiran akan hal dunia dikepalanya masih belum hilang. “Kalau perasaan itu yang paling berat meninggalkan masalah dunia, itu belum hilang”, ujar Sukowiono. Sukowiono memang sedang mengurus beberapa hal yang sifatnya keduniawian. Beliau sedang merenovasi rumah yang membuat dirinya sering menerima panggilan telepon dari tukang bangunan. “Ada yang memang keduniawian yang sedang saya garap. Pertama, merenovasi rumah untuk hak anak saya di Tanah Tinggi. Itu gak bisa diawasin sama saya. Terus satu lagi merenovasi rumah di daerah yang lupa saya namanya. Itu belum selesai juga. Itulah yang selalu nelpon, padahal saya di sini tapi dia minta petunjuk, jadinya terganggu”, tambah Sukowiono.
Kendala tersebut membuat Sukowiono merasa berat dalam fokus melaksanakan kegiatan selama mengikuti program PMK. Padahal, beliau mengaku sudah mempersiapkan diri. “Padahal saya sudah mempersiapkan diri. Saya sudah merasa ‘ah aman lah gak diganggu’, eh taunya diganggu”, jelas Sukowiono. Beliau menambahkan tukang yang sedang merenovasi rumahnya selalu bertanya kepada dirinya. Padahal, beliau sudah menugaskan orang lain untuk mengawasi rumahnya. “Karena yang namanya mereka-mereka itu yang seperti tukang, taunya ke saya. ‘Pak Suko tolong ini tolong itu…’, loh kan udah…”, keluh Sukowiono.
Sukowiono seperti selalu menemukan rintangan dalam setiap fase kehidupannya. Jika saat menjadi tentara beliau menghadapi rintangan dari hal-hal yang dianggap membahayakan kedaulatan NKRI, sekarang rintangannya adalah untuk terus istiqomah dalam belajar ilmu agama demi mewujudkan akhir hidup yang bahagia. (Muhammad Fariz At Thariqi, mahasiswa Prodi Ikom FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia) ***
Komentar