Menemukan Sikap Profesional Dalam Bus Antarkota Bandung-Surabaya

GEGARA istri baru divaksin dua kali, dia tidak mau ribet ketika kami mengadakan perjalanan Bandung-Solo media November 2022 lalu. Pilihannya bukan naik kereta api atau naik pesawat yang mengharuskan para penumpangnya sudah divaksin tiga kali atau booster.

Mengapa baru divaksin dua kali? Jawabannya karena alasan jenis penyakit yang dideritanya yakni diabetes. Saat sedang ramainya Covid-19, dia sadar perlu segera divaksin namun kadar gulanya selalu tinggi. Setelah berusaha keras memperbaiki kesehatannya, belakangan dimungkinkan menjalani vaksinasi tapi itu pun baru dua kali.

Sampai tiba saatnya menjelang 20 November lalu kami harus ke Solo untuk menghadiri resepsi pernikahan famili di Kabupaten Klaten. Maka kami pun sepakat naik bus yang jadwal keberangkatannya dari Bandung siang hari, bukan malam hari. Sekadar ingin mencoba suasana baru, melihat pemandangan pada siang hari, bukan malam hari.

Tiba saatnya, sesuai jadwal tiket yang sudah kami pesan (Rp 190.000/orang, bonus sekali makan), 17 November pagi lalu kami meluncur ke Terminal Cicaheum, Bandung. Bus yang kami naiki via jalur selatan berangkat pukul 10.30. Di Cileunyi bus berhenti di sebuah agen untuk menaikkan penumpang. Begitu pula saat tiba di sebuah agen di Rancaekek.

KONDISI tempat duduk bus antarkota antarprovinsi. (Foto: Widodo A.).*

Rupanya ritme perjalanan bus jurusan Bandung-Surabaya itu benar-benar sesuai izin trayeknya: “antarkota antarprovinsi”. Maksudnya, sesuai kenyataan di lapangan, selalu berhenti di setiap agen tiket atau terminal yang ada di setiap kota yang dilewatinya.

Sesuai niat awal untuk mencari pengalaman baru, kami pun harus bisa membuktikan diri bersikap santai dan ceria. Tidak menggerutu. Termasuk harus bersikap santai menyikapi keluar masuknya para pedagang asongan dan pengamen ke dalam bus saat bus masih ngetem di Terminal Cicaheum. Hal yang sama terulang di terminal di kota lain.

Bus nyaman dan tidak ngebut

Beruntung bus yang kami naiki termasuk nyaman. Indikatornya, selain ber-AC juga deretan kursinya masing-masing dua di bagian kiri dan kanan bus. Bukan dua kursi di bagian kiri dan tiga kursi di bagian kanan. Ukuran masing-masing kursinya terbilang cukup lebar dan bisa digerakkan atau diatur sesuai keinginan penumpang.

Bus juga menyediakan toilet di bagian belakang. Namun, bagaimanapun “nyamannya” toilet tersebut, istri saya tetap merasa tidak cocok jika harus buang air kecil saat bus sedang berjalan, apalagi jika jalannya berliku. Solusinya, setiap kali bus berhenti di kantor agen tiket atau terminal, istri turun sebentar untuk mencari toilet.

Suatu saat dan sudah larut malam, istri yang sudah lanjut usia itu tidak mampu menahan lagi untuk buang air kecil. Terpaksa kami minta izin ke kru bus agar bus bisa berhenti sejenak di SPBU atau pompa bensin yang ada toiletnya. Dengan senang hati sopir memenuhi permintaan kami.

DI antara ruang pengemudi dan penumpang terdapat dinding atau sekat agar sopir bisa fokus bekerja. (Foto: Widodo A.).*

Tapi di lain waktu sopir tegas menolak permintaan serupa kami. Alasannya mengejar jadwal perjalanan. Kami pun maklum karena perjalanan bus antarkota ini “antingebut”. Buktinya, bus baru nyampe Kota Solo pada pukul 2 dinihari. Jadi lama perjalanan Bandung-Solo lebih dari 15 jam.

Padahal saat kami pernah mengendarai mobil sendiri dengan rute Bandung-Solo kurang lebih hanya antara 10-11 jam. Itu sudah termasuk beberapa kali istirahat dan perjalanan tidak ngebut.

Bagaimanapun, kami menemukan sikap profesional sopir bus yang kami naiki itu. Di bagian dalam kaca bus tercantum peringatan agar sopir bus tidak ngebut. Jika bus ternyata ngebut atau sopir bersikap ugal-ugalan, para penumpang berhak menegur atau bahkan melaporkannya kepada yang berwenang.

Dalam dunia profesi, keterampilan atau keahlian memang perlu, tapi hal itu ternyata belum cukup. Karena mereka yang menggeluti profesi dimaksud, apa pun bidangnya, tetap harus menerapkan etika profesinya. Jadi pengertian profesional mengandung dua segi: ahli dan etis. Kali ini, sang sopir bus antarkota antarprovinsi itu, bersikap disiplin: terampil nyetir tapi tidak ngebut atau tidak ugal-ugalan.

Lain halnya dengan rute-rute tertentu angkutan umum di negeri ini, meskipun para penumpangnya jelas manusia namun –oleh sang sopir– dianggap bagaikan barang dagangan atau benda mati. Karena itu tidak aneh jika sering terjadi kecelakaan yang merenggut banyak korban jiwa. (Widodo A, Dewan Redaksi TuguBandung.id)***

Komentar