Bagian 1 dari 3 tulisan
GENAP delapan tahun berlalu semenjak dilangsungkan Kamisan Bandung, negara dinilai masih bungkam terhadap isu-isu menuntut keadilan yang disuarakan rakyat. Tak satu pun “orang dalam” sana keluar, mendengar, dan memberikan jawaban atas keresahan-keresahan yang digaungkan.
Akan Tetapi, Wanggi — seorang pejuang HAM sekaligus pelopor adanya Kamisan Bandung ini — tetap berkonsisten dan berkomitmen untuk selalu menyuarakan hal-hal yang dilupakan. Wanggi menjelaskan sendiri konsep dari Kamisan ini adalah untuk mengabarkan dan menjembatani antara rakyat dan negara. Saat ini masyarakat masih mengalami krisis di berbagai bidang.
Krisis sosial yang menjadi tema aksi berkelanjutan Kamisan Bandung ini bukan hanya krisis pendengaran pemerintah tapi krisis atensi dari masyarakat itu sendiri. Wanggi menegaskan bahwa partisipasi publik sangat dibutuhkan karena akan menjadi kekuatan bersama.
Pada dasarnya setiap suara yang digemakan dalam Kamisan Bandung ini menyangkut pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Kamisan Bandung membutuhkan suara publik untuk ikut menggaungkan suara yang tengah dibungkam.
“Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini, butuh kekuatan banyak orang. Maka dari itu, hadirlah Kamisan ini di ruang publik.” jelas Wanggi dalam perbincangan di sela-sela aksi damai di depan gerang Gedung Sate Bandung, beberapa waktu lalu.
Target dari aksi damai ini tidak semata berharap jawaban dari keadilan pemerintah. Jauh lebih penting adalah memberikan kabar bagi publik tentang urgensi isu-isu yang diangkat dalam aksi. “Menegakkan supremasi hukum dan HAM. Siapapun bisa terkena dan kita semua bisa jadi penyintas dan bahkan pelaku. Di Kamisan kita bisa merenungkan itu semua,” jelas Wanggi. Kamisan Bandung tidak hanya mengorasikan pelanggaran-pelanggaran HAM tapi juga memberikan wadah bagi publik untuk belajar banyak tentang gerakan sipil dan kemanusiaan.
Kamisan Bandung dan begitu pun Kamisan lainnya hadir sebagai bentuk aksi damai dari para korban ataupun keluarga korban pelanggaran HAM. Begitu banyak bentuk aksi yang dilakukan dalam unjuk rasa damai ini untuk mengekspresikan kasus dan kekecewaan mereka terhadap negara yang mengklaim diri demokratis ini.
Aksi diam, pengiriman 540 surat kepada presiden, aksi lilin, puisi, bermain bola, melukis, teatrikal, dll., adalah beberapa kegiatan sebagai bentuk protes yang dilakukan Kamisan ini. Sayangnya, hingga kini negara tetap diam dan mengabaikan tuntutan publik.
Meluas ke kampus
Belakangan, Kamisan Bandung yang semula digelar rutin di depan gerbang Gedung Sate, kini meluas ke lokasi lain. Para aktivis mahasiswa di Kota Bandung juga melakukan hal serupa sebagai bentuk kepedulian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Tercatat, beberapa noktah hitam dalam kasus pelangaran HAM terkini misalnya, Tragedi Kanjuruhan, kenaikan BBM, September Hitam, dll, tetap buram tak pernah jelas penyelesaiannya.
Para mahasiswa kini ikut bergerak di berbagai kampus untu meneruskan perjalanan Kamisan agar semakin tergaungkan. Banyaknya daftar hitam pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia mesti terus dikabarkan dan didorong upaya penyelesainnya. Kamisan Bandung membutuhkan suara lebih keras dan artikulatif untuk menggaungkan kasus HAM yang dibungkam bahkan dipetieskan.
“Kalau kalian atau dirimu atau hak kebebasan berkespresimu direnggut atau dikekang, ayo kita ke Kamisan Bandung. Kita bisa ketemu kawan-kawan di sana dari berbagai macam disiplin. Kita bisa belajar banyak dan bertanya mengenai HAM dan gerakan sipil itu sendiri,” kata Wanggi. (Ajeng Puspa Regina, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia)***
Komentar