Momentum Akselerasi Transformasi PSSI

Oleh Duddy S Sutandi*

H. DUDDY S Sutandi.*

KEJADIAN fatal di Stadion Kanjuruhan memang menyentak kita semua. Peristiwa kelam,  bahkan mungkin paling gelap, dalam sejarah kerusuhan persepakbolaan di negeri kita tersebut, telah menyita atensi dan emosi bangsa ini. Negara yang mayoritas penduduknya dikenal sebagai para penggemar sepak bola.

Tragedi tersebut tak hanya menjadi penyesalan mendalam bagi publik sepak bola negeri ini tapi sudah menjadi pemberitaan dunia. Beberapa pertandingan sepak bola di Eropa bahkan diawali mengheningkan cipta sebagai penghormatan kepada para fans sepak  bola yang menjadi korban jiwa pada insiden itu.

Di Indonesia sendiri, peristiwa itu mengundang berbagai kecaman terkhusus kepada Federasi Sepakbola Indonesia (PSSI) dan kepada aparat keamanan yang dengan gegabah menyemprotkan gas air mata ke tribun penonton. Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden  membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk melakukan investigasi penyebab dari jatuh nya banyak korban.

TGIPF menilai Ketua Umum PSSI dan seluruh anggota Exco seharusnya mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral atas jatuhnya ratusan korban dalam Tragedi Kanjuruhan. TGIPF juga menyimpulkan bahwa Tragedi Kanjuruhan terjadi karena PSSI serta stakeholder liga sepak bola Indonesia tidak profesional sampai abai terhadap aturan yang sudah berlaku.

Respons multitafsir

Setelah rekomendasi disampaikan TGIPF banyak respons multitafsir atas hal tersebut. Beberapa pendapat emosional kemudian langsung menunjuk hidung mereka yang dianggap sebagai biang peristiwa tersebut. Namun, ada juga sebagian kalangan yang tetap menempatkan regulasi sepak bola untuk menyelesaikan sepak bola itu sendiri. Bukan mencampuradukkannya. Apalagi, kemudian terkesan ada “intervensi” di luar penyelesaian dari sisi keamanan pertandingan.

Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) sendiri dalam lima rekomendasi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo sama sekali tak menyinggung “restrukturisasi” di tubuh federasi (PSSI). FIFA menyarankan kick-off Liga Indonesia tak terlampau malam dan laga digelar akhir pekan. Dalam surat tertanggal 5 Oktober 2022 itu, FIFA menuliskan lima poin penting untuk mendorong perubahan sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Salah satu yang paling krusial adalah terkait jadwal pertandingan. Hal itu tertuang pada poin keempat.

Terkait dengan usulan dilakukan KLB PSSI, saya kira hal tersebut lumrah terlontar. Apalagi, sebagaimana disebutkan di atas, sepak bola sudah menjadi milik bersama semua warga negara republik ini. Akan tetapi, masih dalam perspektif saya, kita tetap harus berkepala dingin.

Bagaimanapun, politik harus senantiasa dipisahkan dari sepak bola. Pun demikian dalam soal pengamanan pertandingan sepak bola, juga harus ditelusuri dengan baik dan jernih bagaimana mekanisme dan prosedurnya. Hal ini agar kemudian ke depan kita dapat yakin bahwa keamanan dalam setiap pertandingan sepak bola di negeri ini benar-benar terjamin. Sepak bola benar-benar menjadi ajang hiburan keluarga pada akhir pekan.

Tentang KLB

Terkait dengan desakan KLB,  saya kira kita juga harus menyikapinya dengan kepala dingin dan memikirkan benar manfaat dan mudaratnya. Bagaimanapun, sepak bola memiliki regulasinya sendiri. Siapapun kekuatan politik yang memerintah negeri ini, sepak bola harus berjalan dengan kemandiriannya.

Regulasi dalam sepak bola adalah Statuta FIFA dan PSSI yang juga mengatur cara bagaimana mekanisme KLB. Hal terbaik adalah taati itu  dan buang sikap emosional. Biarkan semua mengalir normatif dalam bingkai regulasi organisasi.

Selaras tugas pokok dan fungsi (tupoksi) menurut Statuta PSSI/AFC/FIFA), federasi itu posisi nya sebagai regulator. Sedangkan PT LIB sebagai operator Liga dan klub2 Liga sebagai peserta.

Kemudian, Regulator itu terdiri atas Members Executive ( 1 Ketum – 2 Waketum – 12 anggota Exco )  produknya kebijakan-kebijakan. Semua produk-produk kebijakan regulator dilaksanakan oleh sekjen, kemudian sekjen menunjuk pelaksana kompetisi yakni PT LIB sebagai operator Liga 1 dan 2. Prosedur organisasional ini yang harus dipahami dengan baik.

Publik sepak bola pastilah memahami, isu suksesi pimpinan PSSI di luar masa “normal” kepemimpinan selaras aturan, bukan sekali dua kali dilakukan. Hasilnya, ya sepak bola kita masih belum kemana-mana.

Ali Sadikin, misalnya, sempat “lengser” pada di 1980an awal. Apakah setelahnya, PSSI membaik? Kemudian, Nurdin Halid juga sama pernah didemo selama delapan bulan sebelum kemudian diturunkan. Apakah juga membuat PSSI menjadi baik? Hal serupa jangan sampai terjadi pada insiden kali ini. Tentu saja, sekali lagi, tanpa kemudian menihilkan korban jiwa pada Tragedi Kanjuruhan tersebut. Sebab, korban satu nyawa pun dalam sepak bola, tetap tak dapat diterima.

Transformasi

Hemat saya, hal paling krusial yang mesti dilakukan adalah melanjutkan agenda transformasi PSSI. Insiden Kanjuruhan harus menjadi momentum akselerasi menjadi PSSI lebih baik. Tanpa kemudian diikuti oleh sikap emosional saling tunjuk hidung tanpa memahasi regulasi yang mengatur federasi sepak bola.

Proses tranformasi ini harus ada pelakunya yakni pengurus PSSI itu sendiri. Jika diibaratkan seekor ulat yang melakukan tranformasi, hanya ulat yang hidup yang dapat melakukan transformasi sehingga dari proses transformasi itu menjadi kupu kupu warna- warni dengan memakan sari bunga yang bersih.

Demikian juga dengan PSSI, hanya pengurus PSSI yang sangat tahu dan cara melakukan transformasi. Serta sangat tahu bagaimana cara melakukan transformasi. Apabila pengurus PSSI harus mundur, lalu siapa yang bisa melakukan transformasi? Publik dan pemerintah, lebih bijak agar memberikan kepercayaan kepada PSSI dalam tranformasi sepakbola Indonesia dengan arahan FIFA/AFC dan dukungan pemerintah serta bimbingan dan lindungan Tuhan Yang Mahakuasa. ***

*Penulis Pengamat dan Praktisi Sepak Bola

Komentar