Oleh Widodo Asmowiyoto*
JUDUL di atas saya persingkat dari seruan aslinya: “Ingat, sayangi dan rawatlah ginjal dari makanan dan pola hidup yang merusaknya, sebelum masa depan Anda dirusak oleh ginjal Anda sendiri. Waspadalah!!! Waspadalah!!!”

Seruan dalam rangka peringatan Hari Ginjal Sedunia tanggal 10 Maret beberapa tahun lalu itu saya kutip dalam buku yang saya tulis (Januari 2016) berjudul: “Hidup Dengan Satu Ginjal Perjalanan Panjang Seorang Wartawan”. Buku itu pada Oktober 2020 lalu saya revisi dan dicetak ulang dengan judul: “16 Tahun Hidup Dengan Satu Ginjal Suka Duka Seorang Wartawan”.
Judul-judul tersebut saya kutip lagi dalam tulisan ini bukan maksud untuk promosi. Sama sekali bukan, karena edisi pertama –disponsori motivator nasional dan pakar komunikasi Dr. Aqua Dwipayana– tinggal beberapa saja. Sedangkan edisi revisi jumlahnya tidak seberapa dan kini sudah habis. Mengapa tidak dicetak ulang? Wah, kurang bersemangat, karena minat baca buku rakyat Indonesia belum menggembirakan.
Terus terang, saya mengutip seruan dan judul terkait ginjal itu semata-mata termotivasi oleh ramainya pemberitaan di media massa belakangan ini. Yakni, lebih 200 anak mengalami gagal ginjal misterius dan sekitar seratus di antaranya meninggal dunia. Menyusul berita menghebohkan itu, Kementerian Kesehatan RI resmi melarang –untuk sementara– penggunaan obat cair atau sirup untuk pengobatan anak-anak.
Dalam buku yang saya tulis tersebut, meskipun saya bukan seorang dokter atau pakar kesehatan, saya ikut mengingatkan masyarakat karena saya sendiri sudah pernah menjalani operasi ginjal kanan (4 Agustus 2004). Artinya saya pernah salah –minimal kurang tepat– dalam menjalani pola hidup (pola makan, pola gerak, dan pola pikir) sehingga saya harus kehilangan satu ginjal (kanan).
Dorongan terbesar saya untuk menulis buku tersebut adalah adanya berita di media massa –waktu itu– bahwa sakit ginjal mulai menjangkiti anak-anak muda. Hal itu kini menjadi kenyataan, bahkan menyerang anak-anak di bawah umur lima tahun (balita), meskipun kemungkinan hal itu dipicu oleh beredarnya obat cair atau obat sirup di pasaran. Penyebab pastinya kini sedang dalam penyelidikan mendalam oleh yang berwenang.
Sebelum semakin ramai pemberitaan belakangan ini, pertengahan Oktober 2022 lalu –sebagai contoh—muncul berita berjudul “Gagal Ginjal Akut Misterius Serang 152 Anak, Apa Penyebabnya?” (www.cnncindonesia.com, 14/10/2022) Disebutkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan 152 kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak di Indonesia. Meskipun telah ditemukan sejak Januari 2022, kasus yang disebut misterius ini baru mengalami pelonjakan signifikan pada September 2022.
Berdasarkan data yang dihimpun IDAI hingga Jumat 14 Oktober 2022, 152 kasus tersebut tersebar di 16 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Kepulauan Riau, Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Belakangan ini jumlahnya terus bertambah mencapai lebih dari 200 anak. Hingga saat ini, penyebab gagal ginjal akut tersebut masih belum konklusif atau menemukan titik terang terkait penyebabnya sehingga masih dibutuhkan investigasi lebih lanjut.
Dr. Yanti Herman, Plt. Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, menyatakan salah satu gejala utama dari gagal ginjal akut pada anak ini adalah terjadinya penurunan drastis volume air kencing yang dikeluarkan. “Penurunan cepat dan tiba-tiba pada fungsi penyaringan ginjal. Biasanya ditandai dengan nitrogen urea darah dan/atau penurunan sampai tidak ada produksi urin sama sekali,” jelas dr. Yanti.
Berkaitan dengan gejala tersebut, Yanti meminta orang tua untuk segera membawa anak ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat jika ditemukan gejala penurunan volume atau tidak ada buang air kecil sama sekali.
Selain itu, Yanti menegaskan, gangguan ginjal akut progresif atipikal ini umumnya terjadi pada anak usia 0 sampai 18 tahun dengan mayoritas balita, tidak memiliki riwayat kelainan ginjal, hingga tidak mengalami demam atau gejala infeksi saluran cerna diare dan muntah.
Merawat ginjal
Sambil menunggu perkembangan fenomena gagal ginjal akut pada generasi muda khususnya balita ini, mari kita bincangkan tentang bagaimana cara merawat ginjal sebagai organ penyaring ini. Tentu banyak bahan bacaan yang bisa dijadikan rujukan, termasuk yang sempat saya kutip dalam buku yang saya tulis tersebut.
Namun, kali ini saya ingin mengutip buku karya dr. Handrawan Nadesul berjudul “Sehat Itu Murah” (Penerbit Buku Kompas, Juli 2007), khususnya subjudul “Merawat Ginjal”. Dijelaskan bahwa ginjal tergolong organ yang sering bermasalah juga. Dalam ginjal banyak sekali pembuluh darah dan saluran kemih. Selain gangguan pada pembuluh darah, masalah juga bisa timbul pada saluran kemih yang ada di dalam ginjal sendiri, selain bisa juga pada saluran kemih yang keluar dari ginjal, yakni ureter dan saluran kemih dalam kemaluan.
Sebagian besar masalah ginjal tak perlu muncul kalau kita menjaganya. Bahkan upaya itu sudah harus dilakukan sejak usia kecil mula. Mulai dari bagaimana kebiasaan tidak menahan berkemih, memilih air minum yang sehat, tidak sembarang minum obat, dan tidak sampai kekurangan minum (dehidrasi).
Ginjal paling sering terinfeksi. Infeksi biasanya berasal dari saluran pencernaan, atau bisa juga penjalaran dari basil TBC di paru-paru. Pada wanita, infeksi sering terjadi pada saluran kemih kemaluan sebab kesalahan dalam cara cebok (air tak bersih; membasuh dari arah belakang ke depan; terlambat mengganti pembalut; dan tak tepat membersihkan organ intim, salah memilih pembersih kemaluan, kesemuanya itu awal dari penjalaran infeksi menuju ginjal).
Ginjal jadi rusak bila diabetes dan hipertensi dibiarkan tak terkontrol. Ginjal yang rusak, fungsinya menurun, selain mencetuskan hipertensi juga. Ginjal juga rusak bila terbentuk batu kemih. Batu kemih umumnya terbentuk bila ada infeksi, dan atau kadar kolesterol darah untuk waktu lama di atas normal (batu kolesterol).
Infeksi dan batu kemih sendiri saling berinteraksi. Infeksi memudahkan terbentuknya batu kemih. Adanya batu kemih memudahkan terjadinya infeksi kemih yang berulang.
Ginjal yang ada batunya bisa mencetuskan hipertensi. Hipertensi pada gangguan ginjal akan menyembuh sendiri bila gangguan ginjalnya sudah dipulihkan. Maka, perlu dicari apa jenis penyakit ginjalnya agar tepat terapinya.
Batu ginjal ada beberapa jenis. Untuk tahu jenis batunya dapat dilakukan “tes analisis batu”. Mereka yang berbakat asam urat tinggi (hyperuricaemia), misalnya, berpotensi terkena batu saluran kemih, seperti halnya orang yang kadar kalsium darahnya tinggi (hypercalcemia). Kristal asam urat membentuk batu urat. Batu urat biasanya menimbulkan kencing yang berdarah. Maka, asam urat jangan dibiarkan terus meninggi untuk waktu lama agar ginjal tak sampai dirusaknya.
Selain oleh batu kemih, kadang-kadang saja ginjal bisa terganggu setelah mengonsumsi jengkol (jengkolic acid). Orang yang tak tahan terhadap asam jengkolat, kristalnya akan menggesek saluran kemih di dalam ginjal, lalu muncul serangan kencing berdarah, disertai kolik, mulas melilit. Maka, perlu berhati-hati terhadap menu berjengkol bila pernah tak tahan makan jengkol.
Agar ginjal selalu sehat, aliran darahnya dan asupan cairan tidak boleh mengendur. Kondisi syok, atau tekanan darah anjlok mengancam kerja ginjal juga, selain pengaruh buruknya terhadap jantung, dan otak. Demikian pula jika asupan minum harian kurang mencukupi.
Sedikitnya perlu 8 gelas air minum sehari, dan biasakan berkemih teratur. Menahan kencing membiarkan endapan mineral ampas yang mungkin ada, tertahan lebih lama dalam saluran kemih. Bila hal ini terjadi pada orang yang berbakat batu saluran kemih, batu kemih lebih mudah terbentuk.
Ginjal juga tidak boleh kekurangan mineral penyeimbang asam-basa. Elektrolit yang tidak seimbang menambah berat kerja ginjal. Sedangkan mineral yang tergolong logam berat, justru menyiksa ginjal. Demikian pula efek samping obat.
Terdapat banyak obat yang efek sampingnya menimpa ginjal. Maka, perlu memeriksa fungsi ginjal berkala selama mengonsumsi jenis obat-obatan tertentu. Termasuk bila untuk waktu lama mengonsumsi obat tradisional, jamu, atau bahan berkhasiat alami lainnya yang belum teruji toksisitasnya.
Apabila mengalami salah satu keluhan (rasa panas waktu berkemih, kesulitan berkemih, urin ada darahnya, atau keruh; berkemih lebih sering; kelopak mata membengkak; tangan dan kaki membengkak; nyeri pinggang; nyeri mulas melilit di pinggang disertai mual dan muntah), ada baiknya memastikannya. Untuk itu perlu melakukan serangkaian tes laboratoriun darah dan urine. Bila itu saja tak cukup, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan foto polos perut untuk melihat kemungkinan batu ginjal. Bila dari foto perut saja pun belum ditemukan kelainan, perlu dilakukan pemeriksaan foto perut dengan cairan kontras (pyelography).
Namun, sekarang sudah bisa langsung diperiksa USG, dan lebih lanjut dengan pencitraan yang lebih canggih, MRI misalnya, bila dengan cara lama masih belum berhasil ditemukan penyakitnya. Dari sana dapat dipastikan apa yang terjadi pada ginjal, sekiranya benar ada. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id
Komentar