Indonesia Darurat Narkoba dan Mengancam Generasi Muda Kita

Oleh Widodo Asmowiyoto*

SEWINDU lalu sudah ramai dibincangkan oleh para pejabat tinggi negara –kemudian ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo – bahwa Indonesia masuk darurat narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) bukannya tanpa usaha keras untuk menangani situasi gawat itu. Namun rupanya langkah penjahat selangkah lebih maju sehingga semua profesi terpapar peredaran dan penggunaan obat terlarang itu.

Widodo Asmowiyoto.*

Bukti terbaru adalah penangkapan terhadap Irjen Pol. Teddy Minahasa yang diduga terlibat jual beli narkoba. Perwira tinggi Polri sekelas Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat dan kemudian menjadi Kapolda Jawa Timur itu pun terpengaruh kejahatan narkoba. Akhirnya dia harus mempertanggungjawaban perbuatan jahat yang sangat kontras dengan tugasnya sebagai penegak hukum.

Rakyat Indonesia pun kembali gempar dengan kejadian kakap di lingkungan Polri yang oleh Menko Polkam Mahfud MD disebut tragedi itu. Sebelumnya adalah meledaknya kasus Irjen Pol. Ferdy Sambo yang kasusnya masih bergulir hingga kini. Juga tragedi sepakbola –gegara penyemprotan gas air mata oleh petugas kepolisian– di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu 1 Oktober 2022 lalu.

Menanggapi kasus-kasus besar di lingkungan Polri itu, banyak pihak berharap jajaran Kepolisian RI segera melakukan reformasi diri. Bahkan Presiden Jokowi mengingatkan perlunya jajaran kepolisian kembali merakyat, sederhana, dan menghindari gaya hidup mewah.

Waspada, narkoba mengancam remaja

Data dan fakta berikut ini mungkin bisa memandu kita untuk bersikap waspada bahwa generasi muda kita, terutama para remaja dan anak cucu kita, telah dan terus menjadi target peredaran narkoba. Jangan sampai kita terlena dan terlambat menyadari sehingga kita hanya mampu meratapi nasib ibarat “nasi telah menjadi bubur”.

Usman Kansong, wartawan senior Media Indonesia yang menulis buku Jurnalisme Narkoba Panduan Pemberitaan (Agustus 2015), menyodorkan data dan fakta yang memperkuat bahwa Indonesia memang mengalami darurat narkoba.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2014 tercatat ada lebih 4 juta penyalah guna narkoba di Indonesia. Ini artinya 2,18 persen penduduk Indonesia menjadi pengguna narkoba. Angka itu menunjukkan tingkat prevalensi terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Kepala BNN (saat itu), Anang Iskandar pada peringatan Hari Antinarkotika Internaisonal di Istana Negara 26 Juni 2015, bila tidak dicegah maka angka prevalensi penyalah guna narkoba naik menjadi 5 juta orang pada 2020.

Penyalahgunaan narkoba membawa dampak amat buruk terhadap penggunanya dan lingkungan sekitarnya. Penyalah guna narkoba bisa mengalami gangguan psikis dan fisik hingga kematian. Pada 2015 itu 30-40 orang meninggal dunia setiap hari akibat penyalahgunaan narkoba, sebagian besar atau 78 persen berusia 19-21 tahun.

Jumlah kasus narkoba yang bisa diidentifikasi cenderung meningkat. Tahun 2000, jumlah kasus narkoba sebesar 3.438 kasus. Sepuluh tahun kemudian atau 2010 meningkat menjadi 26.461 kasus.

Narkoba dikhawatirkan akan memicu penggunanya melakukan kejahatan. Misalnya pencurian untuk memperoleh uang guna membeli narkoba. Kekhawatiran itu bisa dilihat dari data bahwa 50 persen penghuni lembaga pemasyarakatan (LP) di Indonesia adalah pelaku kejahatan yang terkait dengan narkoba. Bahkan, fakta menunjukkan bahwa kelompok pemberontak dan terorisme di berbagai belahan dunia membiayai operasi mereka dengan menjual narkoba.

Bila dihitung secara material, kerugian akibat peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba pada 2014 mencapai Rp 63,1 triliun, atau dua kali lipat dibandingkan tahun 2008 atau meningkat 31 persen ketimbang tahun 2011. Angka itu termasuk antara lain uang untuk membeli narkoba, kerugian dalam kejahatan yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkoba, serta biaya rehabilitasi.

Nilai kerugian Rp 63,1 trilin itu terbilang fantastis, bahkan tak jauh beda dengan APBD DKI Jakarta 2015 sebesar Rp 69,28 triliun. Lalu, bila dibandingkan dengan nilai transaksi narkoba di Indonesia sejumah Rp 48 triliun (waktu itu), nilai kerugian yang diakibatkan oleh peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba melampaui nilai transaksinya.

Karena kerugian dahsyat yang ditimbulkannya, tidak salah jika Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Antinarkotika Internasional 26 Juni 2015 menyebutkan bahwa narkoba memiliki daya rusak luar biasa. Preisden Jokowi bahkan mengatakan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba menghambat daya saing bangsa. Pernyataan Presiden itu tidak berlebihan jika kita melihat korban penyalahgunaan narkoba berada pada usia muda dan produktif 10-59 tahun dan sebagian besar yakni 70 persen adalah pekerja.

Indonesia pasar empuk narkoba

Usman Kansong menyertakan data lain dalam bukunya tersebut. Sebanyak 12.044 orang meninggal dunia per tahun atau 33 orang per hari akibat dampak penyalahgunaan nakortika. Kematian itu karena mengonsumsi narkoba dalam dosis berlebih; mengonsumsi lebih dari satu jenis narkoba sekaligus; dan menggunakan narkoba setelah lama tidak mengonsumsinya (abstimen).

Pada 2014 itu pengguna narkotika (umur 10-59 tahun) sebesar 4 juta jiwa. Jumlah itu terdiri atas 1,4 juta orang coba pakai; 1,4 juta orang teratur pakai; dan 943.000 orang pecandu. Berdasarkan jenis kelamin, pria 74,5 persen dan wanita 25,49 persen. Umur rata-rata pengguna narkotika teratur pakai berusia 26 tahun. Pengguna narkotika berdasarkan jenis pekerjaan, 22,34 persen tidak bekerja; 27,32 persen pelajar dan mahasiswa; dan 50,34 persen pekerja swasta, instansi pemerintah, dan wiraswasta. Tidak ada wilayah di seluruh Indonesia yang terbebas dari penyalahgunaan narkotika. Sebanyak 75 persen jaringan peredaran narkotika dikendalikan dari dalam LP.

Angka-angka hasil penelitian BNN-Universitas Indonesia tahun 2014 itu juga menunjukkan, akses rehabilitasi terhadap pengguna narkoba tidak berjalan maksimal. Per tahun hanya 18.000 orang yang direhabilitasi. Sistem pengawasan terhadap jalur peredaran narkotika tidak optimal. Variasi dan modus peredaran narkoba selalu berubah, dan menggunakan sel terputus.

Angka-angka di atas memperlihatkan Indonesia telah menjadi pasar empuk peredaran gelap narkoba. Istilahnya Indonesia telah menjadi great market and good price bagi peredaran gelap narkoba. Menurut data BNN, transaksi narkoba di Indonesia mencapai angka fantastis, Rp 48 triliun pada 2014. Bandingkan dengan nilai transaksi narkoba di seluruh negara ASEAN sejumlah Rp 160 triliun. Itu artinya sepertiga transaksi narkoba di ASEAN terjadi di Indonesia.

(Pada Minggu, 16 Oktober 2022, TuguBandung.id telah mengungkapkan ada 72 jaringan nakotika di Indonesia dengan omzet pasar narkoba senilai Rp 72 triliun, itu pun data tahun 2016)

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar (tahun 2022 ini 275 juta jiwa) dengan wilayah yang luas (17.000 pulau) telah menjadi daya tarik peredaran narkoba. Pada 2014 itu di Pulau Jawa tercatat 2.416.500 jiwa pemakai narkoba, sedangkan berikutnya adalah Sumatera (849.500 jiwa), Sulawesi (267.500 jiwa), Kalimantan (238.300 jiwa), Maluku (42.100 jiwa), dan Papua (38.900 jiwa).

Mafia peredaran gelap betul-betul memanfaatkan luas wilayah Indonesia. Mereka memanfaatkan pintu-pintu masuk dari darat, laut, dan udara. Mafia ini berasal dari Indonesia sendiri, Malaysia, Australia, Iran, Prancis, Tiongkok, Taiwan, Nigeria dan sejumlah negara Afrika lain. Jaringan mafia internasional menggunakan kurir warga negara Filipina, Thailand, atau Indonesia yang umumnya perempuan.

Berbagai modus operandi dilakukan oleh kurir jaringan internasional untuk memasukkan narkoba ke Indonesia. Modus operandi itu antara lain ditelan (karena berupa kapsul), atau dimasukkan dalam kaki palsu, mainan anak-anak, daster/handuk basah, kaleng kue, patung, keramik, jenazah bayi, dinding koper, pigura/bingkai lukisan, dan kancing baju perempuan.

Modus operandi dimaksud berubah-ubah. Distribusinya berjenjang sampai ke penyalah guna. Bahkan dari balik penjara pun beberapa di antara anggota jaringan masih bisa mengendalikan peredaran narkoba di Tanah Air.

Di Indonesia, narkoba bahkan sudah menjadi semacam industri yang diproduksi di kitchen laboratorium di apartemen-apartemen. Pada 2009, tercatat 37 laboratorium dan cara pembuatannya dapat diketahui dari internet. Peredaran gelap narkoba di Indonesia atau di mana pun memang dilakukan oleh mafia atau jaringan internasional. Disebut mafia, karena mereka menjalankan kejahatannya secara terorganisasi (organized crime).

Bukan tidak mungkin mafia melibatkan pelajar atau mahasiswa untuk mengedarkan narkoba di sekolah atau kampus. Sebagai contoh, Kepolisian Resort Kota Medan sepanjang Januari hingga Agustus 2015, meringkus 1.143 pengedar dan bandar narkoba di Medan, Sumatera Utara. Dari jumlah itu, 68 pelajar SD, 200 pelajar SMP, 849 pelajar SMA, dan 26 mahasiswa. ***

*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id

Komentar