Sunda dan Kepemimpinan Nasional

Oleh H. Ijang Faisal

BERBICARA suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024, ternyata tidak hanya tentang nama-nama figur sebagaimana hasil sejumlah lembaga survey, tetapi juga terkait dengan karakteristik pemilih yang ekstra-multi. Indonesia sebagai negara yang majemukitas, tetapi berkat kecerdasan para pendiri negara, sehingga berbagai perbedaan tersebut diikat dengan benang emas kesamaan “bhineka tunggal ika”, bahkan kesamaan itu makin menguat dalam jargon NKRI harga mati.

Padahal, dalam persepsi ilmu komunikasi, perbedaan merupakan noise for communication yang dapat melahirkan kesalahpahaman, konflik, bahkan peperangan. Secara faktual, catatan historis pun tidak menampik bahwa perbedaan acapkali menginspirasi konflik yang terjadi nyaris di seluruh belahan bumi, termasuk di Nusantara. Oleh karena itu, kampanye “anti-perbedaan”, semangat Declaration of Human Rights terus membahana ke seluruh dunia.

Namun, perbedaan adalah sunatullah, sehingga politik identitas selalu menjadi bumbu konstestasi demokrasi. Oleh karena itu, wajar jika sejumlah peraturan perundangan di Republik ini, termasuk tentang Pemilu menyuratkan pengaturan khusus yang secara esensial merupakan kendali tumbuh suburnya politik identitas yang berlebihan, yang dikhawatirkan dapat mengancam nilai-nilai kebangsaan; kenasionalan; kesatuan dan persatuan secara utuh sebagai bangsa.

Sejumlah kekhasan lokal semakin tergerus, tetapi dalam dunia politik, primodialisme adalah aksesoris demokrasi yang akan terus bertahan dan berkembang. Seperti halnya politik identitas yang kadang efektif untuk mendulang suara pemilih dalam merebut kekuasaan. Nasionalisme pun terkadang goyah tatkala bicara kekuasaan. Hal ini menguatkan teori resolusi konflik yang secara substansial menyuratkan, pembagian kekuasaan yang adil merupakan salah satu solusi untuk mengakhiri konflik dalam keberagaman.

Sunda & Kekuasaan

Kendati pada terminologi Indrawan (2003), membincangkan kekuasaan dalam perspektif identitas kesundaan seolah berhadapan dengan tudingan ketabuan. Kekuasaan dipersepsikan sebagai simbol keserakahan dan ambisi, yang senantiasa meniscayakan tumbuhnya konflik. Sehingga dari terminology tersebut berakibat terhadap dinamika budaya masyarakat Sunda selama ini yang belum memosisikan kekuasaan sebagai resource. Ini mengandung makna, bahwa sunda memposisikan kekuasaan belum sebagai bagian penting dalam mengembangkan martabat budaya dan masyarakat Sunda di tengah semangat kebangsaan dan kesejagatan.

Terminologi inilah mungkin yang salah satunya dalam padangan Salahudin (2009) melahirkan pandangan, orang Sunda “terjebak” pada budaya komunikasi heurin ku letah. Sikap tersebut merupakan komunikasi inferior yang semakin menyebabkan sunda kian terpuruk dan tidak memiliki daya tawar yang tinggi di kancah nasional.

Dan jika karakter budaya komunikasi heurin ku letah yang apabila bicara kekuasaan bagi orang Sunda tabu terus tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sunda, maka bukan tidak mungkin sunda akan tetap menjadi kaum marginal kekuasaan dan tersingkirkan oleh suku kecil tapi haus kekuasaan.

Apalagi desain regulasi Pemilu kekinian sentral pada sistem kepartaian. Parpol diperankan sebagai kawah candradimuka bagi para “kesatria putra mahkota”, sehingga Ketua Umum Parpol menjadi “presiden-presiden kecil” yang memiliki daya tawar tinggi untuk menjadi pemimpin bangsa. Tanpa campur tangan mereka, kemungkinan siapapun tidak bisa mendamba apapun. Bukan hanya jabatan politis, jabatan yuridis dan administratis pun harus melewati jembatan politis.

Untuk menjadi Hakim Agung, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, dan jabatan strategis lainnya semua harus mampu melewati jalan panjang arena fit and proper test di Senayan yang “dikuasai” para petinggi Parpol melalui kepanjangan tangan fraksi-fraksi di DPR RI, dan sebagai informasi, tidak ada satu pun orang sunda yang menjadi Ketua Umum Partai Politik di Republik ini, dan yang ada hanya sebagai broker politik saja.

Determinasi Orang Sunda

Oleh karena itu, walaupun Suku Sunda teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat terbesar kedua setelah suku Jawa, tetapi faktanya beberapa kali perhelatan demokrasi digelar, tidak ada satu pun tokoh sunda yang dapat “mendamba” untuk menjadi Presiden, apalagi jadi presiden, mendamba pun tidak bisa saking termariginalkannya suku sunda dalam kancah perhelatan suksesi kepemimpinan nasional.

Untuk menambah kekuatan entitas dan identitas kesundaan pada aksesibiltas kepemimpinan nasional, simbol kekuasaan pada masyarakat Sunda yang digambarkan Sumardjo (2007) pada cerita pantun Pangeran Pajajaran dapat menjadi rujukan. Konseptual ideologis kekuasaan tritangtu Sunda dapat ditafsirkan lebih kaya.

Tritangtu dapat digambarkan pada sosok orang Sunda kekinian yang berada dalam dimensi persepsi yang varian. Pertama, orang Sunda yang merupakan pituin (asli) orang Sunda. Ia memiliki sekeseler tujuh turunan betul-betul orang Sunda. Kedua, orang Sunda yang diidentifikasi sebagai orang yang memiliki darah Sunda, baik dari kakek buyutnya atau Bapak/Ibunya. Ketiga, orang Sunda yang diidentikkan sebagai warga Jawa Barat; ber-KTP Jawa Barat; Mereka yang genetiknya jelas-jelas bukan orang Sunda pituin; pendatang dari suku lain yang sudah lama di Jawa Barat, bahkan lahir, beranak pinak, makan-minum dari tanah Jawa Barat; berkarya dan mengabdi bagi Jawa Barat. Mereka semua dapat diidentifikasi sebagai “orang Sunda”.

Jika frame itu yang dikembangkan, kendati sudah terpolarisasi dalam Parpol yang berbeda, tetapi “orang Sunda” yang manggung dan berpotensi untuk maju pada arus kepemimpinan nasional sangat banyak. “Orang Sunda” yang pernah, sedang, dan berpeluang menjadi Presiden sampai jabatan-jabatan strategis lainnya, baik di tingkat nasional maupun lokal juga banyak.

Namun, yang menjadi pertanyaan besar, apakah eksistensi mereka sebagai “orang Sunda” sudah berkontribusi pada solusi atas problem-problem yang berkembang di Tatar Sunda? Atau mereka hanya numpang KTP, menclok di Dapil Jabar, dan minta dukungan suara? Sembari setelah terpilih lupa? Tampaknya, determinasi inilah yang harus kokoh ditanamkan pada generasi muda sunda kekinian, agar kepemimpinan nasional kelak dapat dipergilirkan pada orang sunda. Wallahu’alam. ***

*Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung/Penasehat Kongres Sunda

Komentar