Oleh Widodo Asmowiyoto*
NAMA resminya, seperti tertulis di papan, Ponpes (Pondok Pesantren) Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah. Berhaluan Ahlussunah Waljama’ah. Alamat: Jalan KH Wachid Hasyim Gg Anggur No. 17 RT 27/RW 06 Sananrejo, Turen, Malang 65175. Dasar Pembangunan: Berdasarkan Fungsi Rohani. Prinsip Pembangunan: Cepat, Tepat, Hemat, Kuat, dan Indah. Pendanaan: Tidak Meminta-minta. Tidak Tomak/Mengharapkan. Tidak Utang.

Ponpes megah menjulang tinggi (11 lantai) di atas lahan 6 ha itu berada di tengah perkampungan, bukan perkotaan. Ponpes dengan 400 santri ini memang berada di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Jalanan menuju lokasi ponpes yang resminya baru mendapat izin operasi tahun 2022 ini lumayan sempit meskipun bisa dilaluli mobil. Kendaraan truk yang mengangkut material untuk proses pembangunan fisik pun bisa masuk ke dalam kompleks ponpes.
Penyebutan “masjid tiban” oleh banyak orang, apalagi belakangan ditunjang era digital, telah semakin melambungkan nama ponpes yang dirintis oleh almarhum Romo Kiai Haji Ahmad –lengkapnya Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam—sejak 1963 dan mulai mewujud 1978 itu. Sekarang ini setiap hari, apalagi pada hari-hari libur resmi, ribuan bahkan puluhan ribu orang mengunjungi ponpes yang kini mempunyai 60 santri “ngenger” ini. Bahasa Jawa ngenger berarti ikut orang lain. Dalam konteks pondok pesantren berarti santri yang sengaja belajar dan tinggal serta mengabdi di dalam atau di lingkungan pesantren.
Salah seorang santri yang ngenger itu adalah Pak Ma’sum. Awal masuk pesantren pada 1987, Ma’sum yang asli Ponorogo dan kini berusia 64 tahun serta mempunyai 2 orang anak itu, menyaksikan sendiri perkembangan Ponpes Bihaaru ini. Sebagai santri ngenger yang menunjukkan kesetiaannya hingga kini, Ma’sum berani mengoreksi pandangan masyarakat luas bahwa ponpes ini merupakan “masjid tiban” atau “jatuh dari langit”. Dalam Bahasa Jawa, kata “tiban” berarti “ada secara tiba-tiba, ujug-ujug, atau jatuh dari langit”.
“Pesantren ini bukan tiban, tetapi berkembang berkat bimbingan dan ridlo Allah Swt. Pak Kiai Ahmad sebagai pendirinya dan kami para santrinya selalu melakukan istikharah, memohon petunjuk dan bimbinganNya. Dengan istikharah itu pula beliau dan para santri membangun pondok pesantren ini. Kami tidak melibatkan arsitek dan tidak punya gambar desain,” ujar Ma’sum menjawab pertanyaan TuguBandung.id, Rabu (3/8/2022).
Ma’sum mengenang, dulu setelah salat istikharah, Kiai Ahmad bilang “di sini mau dibangun ini, di sana mau dibangun itu”. Belakangan hal itu terwujud. Belakangan bangunan pesantren terus bertambah dan berkembang, dan sosoknya terlihat seperti dewasa ini.
Dulu, menurut Ma’sum, warga sekitar bersikap cuek atau kurang peduli terhadap keberadaan dan perkembangan ponpes ini. Namun kemudian secara berangsur-angsur interaksi antara ponpes dan masyarakat semakin baik. Sebagai bukti, kini sekitar separuh dari kebutuhan tenaga untuk pembangunan fisik pesantren melibatkan warga sekitar.
Ma’sum juga masih selalu mengingat pesan dan ajaran almarhum Kiai Ahmad yang meninggal dunia pada 2010 silam. “Para santri wajib mempelajari kitab Robaniyah, berisi tata krama, sopan santun. Juga wajib mempelajari Qikam atau ilmu tasawuf,” ujarnya.
Sejak wafatnya Kiai Ahmad, ponpes ini dipimpin Bu Nyai atau Bu Luluk Ribkoh Almakbubah (istri almarhum Kiai Ahmad). Dengan 5 putra-putrinya, kini Bu Nyai tinggal di lantai 4. Untuk menunjang kehidupan sehari-hari para santri, di lantai 7 terdapat sejumlah kios kebutuhan belanja. Lantai 7 itu dan lantai 8 merupakan lantai terluas dibanding lantai lainnya. Di setiap lantai disediakan musala untuk salat.
Hingga kini ponpes ini belum memiliki masjid berukuran besar. Masjid yang ada masih relatil kecil yang didirikan sekitar 15 tahun lalu. Ma’sum berharap kelak di lingkungan kompleks ponpes akan memiliki bangunan masjid yang berukuran besar.
Ma’sum merasakan sendiri bahwa belajar atau menimba ilmu di ponpes ini berlangsung bertahun-tahun. Namun kini tempo bertahun-tahun itu sudah dipilah berdasarkan jenjang pendidikan TK, MI, MTs, dan MA. “Ke depan akan dibangun perguruan tinggi. Anak bungsu almarhum Pak Kiai Ahmad kini sedang menempuh S2 di Malaysia. Dia dipersiapkan untuk memimpin lembaga pendidikan di sini dan perguruan tinggi nanti,” ungkap Ma’sum.
Dalam istilah kekinian, rupanya almarhum Kiai Ahmad bersama para santrinya senantiasa “berusaha dan bekerja secara diam”, bukan rajin melakukan pencitraan. Dalam hal pendanaan, prinsip yang dipegang adalah tidak mau utang, tidak mau meminta-minta, dan tidak berharap. Namun mungkin Allah telah menggerakkan hati banyak orang sehingga tidak menolak jika ada yang mau mengulurkan infak.
Pesantren unik
Ponpes Salafiah Bihaaru boleh dibilang merupakan pesantren unik. Ada warga yang juga menilainya antik sekaligus nyentrik. Seluruh bangunan fisiknya dari luar tampak megah, didominasi warna biru dan putih. Arsitekturnya merupakan perpaduan arsitektur China, Eropa, Timur Tengah, dan Jawa. Kompleks bangunan ponpes ini tampak mencolok dan menjulang tinggi di tengah perkampungan sekitarnya.
Untuk memasuki kompleks ponpes dari lantai satu hingga atasnya selain tersedia anak tangga juga sudah didukung dengan teknologi modern berupa lift dan teknologi penunjang lainnya. Di aula lantai 3 tersedia keran air yang dilengkapi dengan sensor tubuh. Saat ada orang yang lewat dekat keran akan terdengar kicauan suara burung sebagai penanda terbacanya sensor. (opop.jatimprov.go.id, Rabu, 25/11/2020)
Untuk mempermudah mobilitas para santri dan para pengunjung terdapat lift yang menghubungkan lantai 2 sampai 9. Namun akses ini hanya dibuka pada saat tertentu karena sering dipakai pengunjung untuk main-main. Walaupun sudah mencapai 11 lantai, pembangunan pondok terus berjalan. Tidak ada rancangan atau desain khusus untuk konstruksinya. Para santri yang mondok di sini ikut berperan dalam membuat sendiri setiap ornamen dan kaligrafi yang menghiasi tembok dan sudut-sudut bangunan. Hasilnya berupa kreasi otentik dan tidak ada yang menyamainya.
Keunikan lainnya juga terdapat di lantai 5. Di sini terdapat kebun binatang mini yang menjadi tempat memelihara hewan, antara lain rusa, kelinci, landak, dan marmut. Semuanya mendapat perhatian para pengunjung karena dirawat bersih. Sementara di lantai 8 terdapat kebun sayur seperti kol, kangkung, sawi, jagung, dan terong. Hasil dari rooftop garden ini dipakai untuk konsumsi santri dan pengurus pondok.
Di ponpes ini juga tersedia kios oleh-oleh –seperti produk souvenir kas Malang– yang bisa dibeli oleh para pengunjung. Toko atau kios yang ditutup saat jam ibadah salat itu dikelola oleh para santri atau murid sebagai sarana belajar wirausaha.
Keunikan bangunan ponpes ini sudah terlihat mulai dari pintu gerbangnya. Di pintu gerbang utara, pengunjung dapat melihat dua bangunan mirip guci yang sangat besar dan tinggi berwarna oranye dan biru. Keduanya berfungsi sebagai pos. Di sisi kanan terletak sebuah taman yang dikelilingi pagar seperti taman bergaya India.
Proses pembangunan ponpes ini juga memperhatikan prinsip ramah lingkungan. Bahkan ada salah satu bagian bangunan yang sengaja dibuat dengan menghindari sebuah pohon kelapa. Hal ini disengaja agar tetap menjaga pohon tersebut tetap hidup dan tidak harus ditebang. (ngalam.id, 20/7/2013)
Bagi para tamu atau pengunjung yang baru masuk ke kompleks ponpes ini, jangan kaget jika harus melapor kepada petugas untuk diberi kartu masuk. Kartu itu pula yang nantinya harus diserahkan ke bagian informasi sekaligus mengambil kartu untuk keluar. Hal ini dimaksudkan untuk keamanan.
Berbincang dengan TuguBandung.id, Ma’sum tak lupa menunjukkan tiang bendera setinggi 64 meter di lingkungan ponpes. Pada momentum peringatan HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan tahun 2022 ini, tiang bendera tersebut siap untuk pengibaran Bendera Merah Putih berukuran 30×20 m. Ponpes Bihaaru memang berprinsip setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Taat dan patuh kepada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Menghargai dan menyayangi sesama manusia.
Saat mengelingi beberapa lantai dan ruangan ponpes, mata para pengunjung mungkin saja tertarik untuk membaca pesan yang ditulis dengan huruf besar. Antara lain, “Sak suwe-suwene ndek alam kandungan ijik suwe ndek alam dunyo. Sak suwe-suwene ndek alam dunyo ijik suwe ndek alam kubur/barzakh. Sak suwe-suwene ndek alam kubur/barzakh ijik suwe ndek alam akhirat.”
Pesan tersebut jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih begini, “Lamanya hidup di alam kandungan seorang ibu masih kalah lama dibanding hidup di alam dunia. Lamanya manusia hidup di alam dunia masih kalah lama dibanding hidup di alam kubur/barzakh. Betapapun hidup di alam kubur/barzakh itu sangat lama tetapi masih kalah lama hidup di alam akhirat.” Ya, sebuah pesan yang sangat berharga untuk direnungkan bersama. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id
Komentar