Oleh ASEP LUKMAN
MUNGKIN menurut pandangan umum, rekonsiliasi yang terjadi dalam kabinet yang baru saja terjadi merupakan kecerdasan Jokowi dalam memainkan politik. Akan tetapi, demi kepentingan yang jauh lebih luas dan ideal bagi pelembagaan demokrasi kita, hal itu bisa jadi merupakan kesalahan.
Sebab, kalau mau jujur, sejatinya kalaupun kita mengatakan ada sebuah rekonsiliasi, itu terjadi akibat dari lemahnya sosok presiden. Dengan posisi sedemikian, presiden dipandang oleh semua politisi persis ibarat “pohon rebutan” yang bisa dipanjat kapan saja oleh siapa saja yang berkeinginan meraih jabatan menteri.
Sebagai sosok yang lugu dan lebih merupakan pribadi nonpartai, Pak Jokowi akan sulit memiki keterampilan yang jauh dalam memandang trik-trik yang dimainkan oleh para politisi. Secara kasat mata, Presiden Jokowi sebagai seorang manusia, pastilah ia dapat merasakan bahwa dunia politik itu sarat dengan cerita penusukan dari belakang. Seperti adagium, sangat tidak mengenal siapa teman dan siapa kawan. Hari ini boleh jadi kawan, besok sudah lawan atau sebaliknya.
Artinya, Pak Jokowi menyadari, dalam dunia kekuasaan memang benar seperti kata peribahasa “banyak musuh dalam selimut”. Kendati demikian, karena sifat kekuasan yang digenggam presiden saat ini persis seperti candu yang diisap oleh para pemadat, maka wajar jika kekuasannya malah semakin diperkuat dengan dimasukkannya petinggi Partai Amanat Nasional (PAN) dan sosok mantan Panglima TNI dalam lingkaran inti kekuasaanya pada reshuffle kabinet kali ini.
Pertanyaannya, mau diapakan mereka setelah semua mayoritas orang-orang partai itu diikat dengan jatah kekuasaan? Apa mungkin mereka bisa ditundukkan dan dikendalikan oleh seorang Jokowi? Atau justru sebaliknya?
Masyarakat semestinya cerdas dalam melihat fakta bagamaimana dominasi kepentingan politik lebih kuat dibanding aspirasi rakyat bahkan negara pada reshuffle posisi menteri kali ini. Sejak awal, proses dan tujuan hakiki yang ditunggu masyarakat dari reshuffle adalah ikhtiar pemerintah dalam perbaikan ekonomi. Namun, mencermati sosok-sosok “menteri baru” yang ditunjuk, kita lantang berucap bahwa harapan dan tujuan reshuffle yang semestinya, ternyata masih “jauh panggang dari api”. Sebab, fakta yang muncul lebih merefleksikan aspirasi para politisi demi bagi-bagi jatah dalam kementerian. Ujungnya, bukan kesejahteraan rakyat dan perbaikan ekonomi. Tapi, Pemilu 2024!
Tengok saja, masuknya Zulkifli Hasan dalam kabinet Indonesia Maju saat ini. Bagi rakyat, sosok Zulkifli Hasan bukanlah figur yang dapat diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi. Sekali lagi, pergantian ini lebih terlihat publik hanya demi mengadopsi “aspirasi politik kepentingan “saja yang dasarnya mungkin bisikan orang-orang di sekitar presiden.
Sejujurnya, melihat komposisi hasil reshuffle ini salah satu tujuan utama yang lebih terlihat publik adalah hanya untuk mengikat PAN dalam KIB. Kesepakatan atau “perjanjian administrative” dianggap kurang cukup di ntara mereka. Maka, harus diperkuat dengan diberikannya jabatan menteri. Ini demi mengokohkan koalisi besar demi Pilpres 2014 nanti bagi sosok pengganti presiden Jokowi
Tegasnya, terpuruknya ekonomi RI sekarang ini sangatlah mustahil bisa diatasi oleh sekadar “kapasitas” dari Zulkifli Hasan, Hadi Tjahjanto, John Wempi Wetipo, Afriansyah Noor, serta Raja Juli Antoni. Pasca-reshuffle ini, cerita soal kapasitas sosok para menteri dan wakil menteri yang diangkat pastinya hanya akan jadi bahan pergunjingan para pengamat dan masyarakat. ***
Penulis aktivis, pengamat sosial dan politik.
Komentar