Melepas Eril, Mari Mengingat Kematian

Oleh Widodo Asmowiyoto*

ALHAMDULILLAH, jasad Emmeril Kahn Mumtadz (Eril) telah ditemukan di Bendungan Engehalde, Bern, Swiss, Rabu (8/6/2022) pukul 06.50 pagi waktu Swiss atau 11.50 WIB. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Lega hati dan penuh rasa syukur tidak saja dirasakan oleh ayahnda Eril yang juga Gubernur Jawa Barat, Ridwal Kamil beserta keluarganya, tetapi juga seluruh warga Jawa Barat. Bahkan juga rakyat Indonesia dan warga dunia yang sempat mengikuti perkembangan informasinya sejak Eril tenggelam di Sungai Aare, Kamis 26 Mei 2022 lalu.

Widodo Asmowiyoto.*

Kalau sehelai daun jatuh ke bumi tak lepas dari kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt, maka musibah yang dialami almarhum Eril (23 tahun) tentu saja tidak lepas dari takdir Ilahi. Eril yang lahir di New York 25 Juni 1999 itu, siapa menduga akan mengakhiri hidupnya di Bern, Swiss, dan kemudian dikebumikan di Bandung, Jawa Barat, daerah dia dibesarkan.

Kepergian Eril yang diantar oleh ayah-bundanya, Ridwan Kamil dan Atalia Praratya, adalah untuk menuntut ilmu S2, sekalipun baru mencari perguruan tinggi sesuai dengan keinginannya. Masa remaja atau masa mudanya juga dijalani Eril sebagai sosok yang saleh, rendah hati dan dermawan sebagaimana kesaksikan Ridwan Kamil dalam tulisannya yang beredar luas berjudul “Kapan Kita Pulang?

Tidak aneh manakala Kang Emil –sapaan Ridwal Kamil–, melalui akun instagramnya menuturkan begini, “MASYA ALLAH, walau sudah lewat 14 hari, jasadnya masih utuh, lengkap tidak kurang satu apapun, wajah rapih menengok ke kanan dan saya bersaksi, jasad Eril wangi seperti wangi daun eucalyptus. Sungguh mukjizat kecil yang sangat kami syukuri. Maha Besar Allah, atas ijinMu, selama 14 hari Sungai Aare benar-benar melindungi dan mensucikan jasadnya dari marabahaya”. (tugubandung.id, 10/6/2022)

Sejak terjadinya musibah hingga menjelang ditemukan jasad Eril, wajar jika Kang Emil dan keluarga merasa sedih dan gelisah, hingga sempat diberitakan tertunduk saat orang nomor satu Jabar itu sedang berjalan di bandar udara. Namun, sesudah pasti telah ditemukannya jasad Eril, Kang Emil menyatakan, “Sungguh Tuhanku, kami tenang sekarang. Engkau sungguh Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengabul doa kami”.

“Kapan kita pulang?”

Sebuah musibah dalam kehidupan manusia, apalagi peristiwa yang sangat menyedihkan atau tragis, seringkali melahirkan perenungan yang sangat mendalam. Begitu pula Kang Emil. Hal itu tercermin dalam tulisannya yang dibuat di Bern, Swiss 2 Juni 2022 dan beredar luas melalui media sosial. Mari kita simak lagi sebagian di antaranya:

“Kisah tentang Eril, anak lelaki kesayangan kami, hakikatnya adalah cerita tentang kita semua. Hakikat bahwa semua dari kita, pasti akan pulang. Dengan waktu, tempat dan cara yang kita tidak akan pernah selalu tahu.

Hidup di dunia ini sesungguhnya adalah tentang perjalanan bukan tujuan. Dan seperti cerita setiap perjalanan, kisah selalu dimulai dari sebuah titik awal. Dan kisah akan selesai di sebuah titik akhir. Dan untuk setiap yang datang, pasti akan ada saatnya untuk kembali pulang.

Agar perjalanan selamat, maka petunjuk jalan dan bekalnya harus kita siapkan. Petunjuk jalan adalah keimanan. Bekal perjalanan adalah anafauhum linnas, yaitu tas berisi pahala amal-amal kebaikan kita. Itulah hakikat cerita Ananda Eril.

Kami sekeluarga sudah mengikhlaskan, bahwa sesungguhnya ia sudah selesai dengan perjalanannya. Paripurna hidupya dengan segala amalnya. Ia berpulang kepada pemilik sesungguhnya sesuai jadwalnya. Jadwal yang sudah tertulis di kitab takdir Allah yaitu Lauhul Mahfudz.

Seandainya kami bisa bertukar tempat. Seandainya. Pastilah itu yang setiap orang tua akan lakukan. Namun, logika manusia tidak sama dengan ketetapan takdir. Dan jika terdengar cucuran tangis ibunya setiap malam, dan raungan tak bersuara ayahnya, itu semata karena hati kami hancur berkeping-keping. Saat ini kami sesang menggapai tali keimanan dan keikhlasan, agar bisa memandu kami beradaptasi terhadap takdir ini.

Kami meyakini, sesungguhnya ada dua acara menilai panjang pendek umur manusia. Yang pertama, menilai dengan panjangnya umur biologis yang dihitung dengan bulan atau tahun. Itu kebiasaan kita. Namun, ada cara kedua, yaitu menghitung berapa panjangnya, lamanya dan besarnya amal kebaikannya saat ia hidup di dunia fana ini.

Ananda Emmeril Khan Mumtadz, mungkin umur biologisnya hanya 23 tahun, namun dengan luasnya amal kebaikan, insyaallah ia pergi dalam panjang umur. Ia lahir 25 Juni 1999 di New York, dan berpulang di Bern 24 Mei 2022, saat ia dalam misi  berikhtiar mencari sekolah S2. Tidaklah penting kita lahir dan pulang di mana. Karena sesungguhnya semua tempat di dunia ini adalah bumi Allah Swt.

Eril, kamu niatnya pergi mencari ilmu dan pelajaran, malah akhirnya, kamu yang memberi ilmu dan pelajaran kepada kami semua. Dear Eril, ayahmu ini baru tahu, bukan hanya ratusan atau ribuan, tapi juga jutaan yang mendoakanmu Ril. Dari anak-anak yatim di desa-desa, tukang ojek dan becak di belokan jalan kota, sampai ulama-ulama di Palestina. Dari mereka yang dekat dengan hatimu sampai mereka yang sama sekali tidak mengenalmu. Mungkin ini karena kebaikanmu membelikan baju lebaran kepada anak-anak yatim itu. Atau karena kebaikanmu ngasih THR dari uangnya sendiri kepada satpam-satpam itu, Ril?

Mungkin ini pahala kesabaranmu, saat tidak semua maumu kami berikan walau kami mampu. Sehingga, kamu harus bekerja sambilan sambil kuliah Ril?”

Mengingat dan manajemen kematian

Musibah yang menimpa Eril, seperti ditulis oleh ayahandanya, Ridwan Kamil, sebaiknya memang menyadarkan kita semua untuk senantiasa mengingat kematian. Lalu bagaimana sebaiknya cara kita menghadapi atau menyongsong kematian yang pasti akan menghampiri kita itu? Ada sebuah buku yang tiba-tiba mengingatkan saya untuk kembali membacanya. Buku itu berjudul “Manajemen Kematian, Bagi Mereka yang Merindukan Kematian Mulia”, diterbitkan oleh PT Syaamil Cipta Media, Bandung, Agustus 2005 lalu.

Pada halaman awal dalam buku yang ditulis oleh Khozin Abu Faqih, Lc itu tertulis motto yang dikutip dari pernyataan Sayyid Quthb, “Ketika kita hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia bermula saat kita mulai mengerti dan akan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang terbatas. Tapi, apabila kita hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki (makna) yang dalam. Ia bermula bersama mulainya kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi”.

Sedangkan di cover belakang buku setebal 124 halaman ini, tertulis inti pesan berikut, “Bila sekarang Anda termasuk orang yang takut pada kematian, pasti itu karena Anda belum mengerti beberapa hal tentang mati. Pertama, takut pada kematian sesungguhnya bersifat kontaproduktif. Mulai dari rasa takut mengambil risiko, selalu gelisah, mudah kalah dalam pertempuran, sampai merasakan siksa di akhirat”.

Kedua, takut pada kematian sebenarnya bisa berubah menjadi sebaliknya bila mati kita lihat dari kacamata yang ditawarkan penulis buku ini. Mulai dari memahami urgensi dzikrul maut, kiat-kiat mempersiapkan mati, sampai pada cara-cara meraih syahadah.

Menata diri sekarang juga adalah intinya. Manfaatkan waktu, tentukan prioritas amal dalam hidup yang singkat ini, ber-muhasabah, dan waspada akhir hidup yang suram. Membaca buku ini akan membuat Anda sadar bahwa justru siapa yang mampu “menata” kematiannya adalah orang yang sesungguhnya menikmati hidup. Orang-orang seperti itu akan menjadi sangat produktif karena ia menghargai detik demi detik yang dijalani. Orang-orang seperti itu akan membayar tiap tarikan napas yang dianugerahi dengan melakukan sesuatu yang berguna bagi sesama.

Kalau kita mencermati sekilas tulisan Kang Emil tentang Eril, bukankah kiprah positif dan kesalehan Eril sudah seperti yang dimaksudkan buku karya Khozin Abu Faqih itu? Akhirnya, saya –dan kami jajaran tugubandung.id— ikut berduta cita yang mendalam atas kepergian Eril untuk selamanya. Semoga Allah Swt menerima iman Islamnya, amal salehnya, melapangkan kuburnya, dan mememasukknya ke dalam surgaNya. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.***

*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id

Komentar