Oleh Dr Dian Wardiana Sjuchro, MSi
SEBENTAR lagi publik penonton televisi akan dimanjakan dengan gambar-gambar cemerlang di layar kaca masing-masing. Gambar tersebut akan diikuti juga oleh tata suara yang jernih, dan jumlah stasiun televisi yang makin banyak. Banyak orang menduga, menonton televisi akan lebih menyenangkan, lebih banyak pilihan, dan lebih modern. Gambar televisi yang penuh semut, serta suara yang kresek-kresek hanya akan tinggal kenangan.
Proyek digitalilasi televisi, yang telah dirancang sejak tahunan lalu, nampaknya akan segera direalisasikan pemerintah. Set top box (STB) sebagai alat utama yang mentransmisi siaran analog menjadi siaran digital akan segera dibagikan kepada masyarakat. Beruntung yang kebagian STB gratis, yang tidak kebagian bisa membeli di pasaran dengan harga yang relatif mahal.
Banyak pengamat broadcasting menyambut gembira program digitalisasi televisi sekaligus program analog switch off (ASO), dan menganggapnya sebagai tantangan baru bagi bisnis penyiaran. Akan ada banyak stasiun televisi baru lahir, sebagai akibat pemekaran frekuensi radio. Akan banyak pula tayangan baru, sebagai akibat lahirnya stasiun televisi baru. Mereka optimis, cita-cita lahirnya diversity of content dan diversity of ownership sebagaimana cita-cita UU Penyiaran, akan segera terwujud.
Tapi, benarkah demikian?
Perjalanan Panjang
Proyek digitalisasi siaran televisi merupakan kegiatan yang sudah lama direncanakan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika). Bahkan sejak beberapa tahun sejak kelahiran UU Penyiaran, digitalisasi siaran televisi telah dicatatkan sebagai sebuah keharusan.
Ada beberapa alasan mengapa digitalisasi siaran televisi menjadi sebuah keharusan. Pertama, menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dunia yang telah lama menerapkan digitalisasi siaran televisi. Kalau tak salah, hanya Laos dan Kamboja, rekan di ASEAN yang masing menganut siaran analog. Kedua, melakukan penghematan besar-besaran terhadap penggunaan frekuensi radio (siaran televisi menggunakan frekuensi radio). Siaran digital bisa memecah penggunaan kanal yang selama ini hanya digunakan untuk satu stasiun televisi saja. Ketiga, meningkatkan pelayanan isi siaran, sehingga lebih menampakkan kualitasnya. Seperti telah disebutkan di atas, selamat tinggal gambar buram dan suara kresek-kresek di layar kaca.
UU Penyiaran lahir ketika bisnis penyiaran sedang booming. Banyak sekali pebisnis yang tertarik menyimpan modalnya di dunia radio dan televisi. Hal tersebut dapat dilihat dari banyak sekali pemain baru (dan lama) yang mengirimkan proposal perizinan ke KPI. Kebangkitan bisnis televisi yang ada tidak diimbangi dengan ketersediaan kanal televisi. Maklum, kanal televisi sudah relatif habis dibagikan pada era Orde Baru kepada kroni dan kenalan. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah dan KPI dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat.
Pemerintah mulai menempuh jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan terhadap kanal televisi. Caranya ya dengan mengenalkan digitalisasi kanal televisi. Bila perlu, satu kanal televisi dipecah menjadi 10 kanal. Tetapi ternyata hal ini tidak semudah yang diduga. Semua rencana selalu gagal di peradilan, karena UU Penyiaran tidak mengatur mengenai penyiaran digital dan digitalisasi penyiaran televisi. Ternyata masih banyak insan penyiaran yang belum rela berbagi bisnis dengan para pendatang baru, dan lebih pro pada status quo.
Menghadapi situasi pelik tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan pasal-pasal mengenai digitalisasi siaran televisi dalam UU Cipta Kerja tempo lalu. Setelah keluarnya produk legislatif tersebut, program analog swich-off langsung dicanangkan pemerintah, dan diharapkan tuntas tahun ini juga.
Betapa panjang dan berliku, program digitalisasi televisi di Indonesia!
Positif dan Negatif
Program digitalisasi siaran televisi dan analog switch-off sudah hampir pasti dilaksanakan, semoga tuntas tahun ini. Adanya pembagian gratis set top box kepada masyarakat akan menanggulangi macetnya penggunaan pesawat televisi yang hampir semua masih analog. Secara tekonologi tak ada masalah dengan migrasi teknologi televisi. Asal tersedia dana, semua akan teratasi.
Tetapi apakah masalahnya sesederhana itu? Sayangnya tidak. Banyak pengamat yang jeli yang mengeluhkan kesiapan infrastruktur KPI/KPID dalam menyikapi makin banyaknya stasiun televisi. Digitalisi menyebabkan banyak kanal baru akan dibuka. Kanal baru dibuka akan menyebabkan banyak lahir stasiun televisi baru akan lahir. Dengan kondisi seperti itu, siapkan KPI/ KPID mengawasi isi siaran mereka? Berapa SDM dan berapa banyak teknologi yang harus disediakan?
Digitalisasi siaran televisi tetap mengandung sisi positif dan sisi negatif. Masyarakat akan makin menikmati siaran televisi yang jernih dan variatif, tapi juga akan makin banyak peluang menikmati tayangan sampah yang lolos dari pengamatan KPI dan KPID.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi IFikom)
Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
Komentar