TUGUBANDUNG.ID – Literasi harus menjadi jalan bagi aktivisme sosial dalam mewujudkan kesetaran dalam berbagai aspek, baik gender maupun aspek sosial lainnya. Para pejuang perempuan di negeri ini, seperti Kartini, Lasminingrat, Rohana Kudus, dan lain-lain telah menorehkan karya mereka dan menjadi teladan dalam perjuangan pergerakan perempuan.
Benang merah tersebut terungkap pada webinar dalam rangka memperingati Hari Kartini bertajuk “Kartini dan Literasi Perempuan” yang digelar Pusat Kajian dan Pengembangan Peranan Wanita, Gender, dan Perlindungan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia (PKP2WA LPPM UPI) pada Senin, 25 April 2022.
Webinar menghadirkan narasumber Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum (Guru Besar dan Ketua LPPM UPI), Prof. Dr. Emy Susanti, MA (Ketua Pusat Studi Gender Universitas Airlangga, serta Zulfa Sakhiyya, M.TESOL., Ph.D (Dosen Universitas Negeri Semarang). Webinar dibuka oleh Kepala PKP2WA LPPM UPI Vina Adriany, Ph.D.
Dalam paparannya, Zulfa Sakhiyya mengatakan, kita harus memahami literasi dalam dua perspektif yang berbeda atau perdebatan teoretis tentang literasi. Dalam perdebatan tersebut ada yang disebut literasi otonom dan literasi ideologi. Yang pertama adalah gerakan literasi yang tujuannya murni untuk meningkatkan kemampuan baca-tulis kritis tanpa mempertimbangkan faktor lain.
“Sedangkan literasi ideologis menempatkan literasi sebagai bagian dari praktik sosial. Kegiatannya bukan hanya membaca dan menulis, tapi segala hal yang bisa dilakukan dengan literasi yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Apa yang bisa dilakukan dengan literasi. Literasi kemudian dipandang sebagai alat politik yang mampu menyarkan seseorang untuk membaca dunia melalui kata,” kata Zulfa Sakhiyya.
Darurat literasi
Sementara itu, Dadang Sunendar mengungkapkan berbagai fakta dan data terkait dengan literasi yang dicapai Indonesia dalam konteks global. Meski pada data literasi melek huruf, sudah mencapai hasil yang optimal tetapi merunut survei pada aspek literasi membaca, matematika, dan sains oleh Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, bisa dikatakan terjadi darurat literasi.
PISA merupakan metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global. Untuk nilai kompetensi membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara.
Dadang Sunendar mengatakan bangsa Indonesia bisa bertahan di Abad 21 hanya dengan literasi dasar.
“Enam jenis literasi yang perlu ditingkatkan di Indonesia yakni literasi baca dan tulis, literasi numerik, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, literasi kebudayaan dan kewargaan (citizenship literacy) atau literasi untuk memahami identitas kita,” kata Dadang.
Sementara itu, dalam paparannya Emy Susanti lebih menyorot peran Kartini yang dalam catatan sejarah telah menorehkan inspirasi penting dalam perjuangan literasi kaum perempuan.
“Catatan yang paling penting dari kontribusi Kartini adalah upayanya dalam mendekonstruksi kultur Jawa-sentris serta patriarki yang menjadi wajah lumrah kehidupan sosial di awal abad ke-19. Kartini secara kritis dan cerdas mempertanyakan keberadaan perempuan yang tidak mendapatkan tempat penghormatan di ruang publik,” ujar Emy.
Di sisi lain, Vina Adriany menegaskan PKP2WA yang dipimpinnya akan terus mengagendakan berbagai diskursus ilmiah serta menuangkannya dalam manuskrip akademik menyangkut isu kesetaraan gender.
“Untuk itu kami mengumumkan call for paper sampai akhir tahun ini sekaitan dengan penyusunan book chapter berupa buku bunga rampai dengan tema perempuan, anak, dan perlindungan sosial. Insya Allah buku yang rencannya diterbitkan UPI Press ini akan terbit bertepatan dengan momentum Hari Ibu pada 22 Desember 2022,” ujar Vina.***
Komentar