Hadapi Platform Global, Kompetisi atau Kolaborasi?

TUGUBANDUNG.ID – ACARA diskusi via zoom yang

WIDODO Asmowiyoto.*

diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (Pusat) Rabu sore (20/4/2022) itu sangat menarik. Diikuti 80-an insan media massa dari banyak daerah, diskusi ini memang mengangkat problem hidup mati media massa seperti dibahas dalam buku karya Dr. Agus Sudibyo, “Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa & Platform Digital”.

Dalam pengantar undangan diskusi yang dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat, Atal S. Depari, ini disebutkan bahwa buku setebal 500 halaman ini menjelaskan fenomena kolaborasi dan kompetisi antara media massa dan platform digital. Belajar dari pengalaman berbagai negara, ditunjukkan betapa dominan dan monopolistiknya platform digital dalam mendistribusikan dan memonetisasi konten jurnalistik. Terciptanya hubungan yang timpang dalam kaitan tersebut memunculkan inisiatif regulasi tentang publisher right di berbagai negara.

Diskusi yang dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 dengan moderator Marthen Selamet Susanto itu diperkaya dengan beragam gagasan dari empat orang penanggap. Yakni, Dhimam Abror (wartawan senior), Auri Jaya (CEO JPNN),  Sutta Dharmasaputra (Pemimpin Redaksi Harian Kompas), dan Maria Y. Benyamin (Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia).

15 poin ringkasan isi buku

Untuk memudahkan para peserta, Agus Sudibyo yang aktif di Dewan Pers itu menyajikan 15 poin ringkasan isi buku yang ditulisnya. Intinya, pertama, transformasi digital adalah suatu keniscayaan. Tidak ada sektor yang dapat menghindar dari terpaanya. Semua pihak mesti mempersiapkan diri untuk menerima kebaikan sekaligus mengantisipasi keburukannya. Bagi para pengelola media di mana pun saat ini, semakin sulit menghindari integrasi ke dalam ekosistem distribusi konten, data pengguna dan periklanan yang dikendalikan platform digital global.

Kedua, meskipun demikian, transformasi digital juga melahirkan banyak pergeseran yang bersifat disruptif. Pasar media telah bertransformasi dari pasar dua sisi (two-sides market) menjadi pasar banyak sisi (multi-sided market). Yang dihadapi media tak lagi “khalayak yang mengkonsumsi konten”, tetapi “khalayak yang menghasilkan konten”. Lebih dari sekadar penyedia teknologi perantara penyebaran informasi, platform digital telah menjelma menjadi pemegang kendali yang sesungguhnya arus informasi. Dalam konteks arus informasi jurnalistik, mereka juga semakin nyata memerankan diri sebagai penerbit (publisher) yang menentukan jenis, bentuk dan kemasan informasi yang layak diserbarkan dan ditawarkan kepada pengiklan. Platform digital telah bertransformasi dari sekadar perantara konten menjadi kurator konten.

Ketiga, oleh karena itu penting untuk sungguh-sungguh dipikirkan bagaimana agar penerbit tidak sepenuhnya tergantung pada platform digital. Penerbit semestinya tidak hanya mengandalkan kerja sama dengan platform digital dalam mendistribusikan konten, meraih pendapatan dan mengelola data pengguna. Penerbit harus senantiasa memiliki opsi lain di luar kolaborasi dengan platform digital untuk tiga hal tersebut. Kemandirian relatif penerbit di hadapan platform digital ini sangat fundamental sifatnya untuk keberlanjutan hidup media. Platform digital memang memiliki kepedulian terhadap kualitas jurnalisme dan demokratisasi informasi. Namun perlu ditegaskan bahwa motif utama di balik uluran tangan platform digital ke kalangan penerbit sesungguhnya bukan di situ. Pada galipnya, platform digital adalah kekuatan bisnis yang orientasi utamanya adalah peraihan keuntungan ekonomi semaksimal mungkin untuk diri mereka sendiri. Jika perlu, hal ini akan mereka lakukan dengan memanfaatkan “jerih-payah” pihak lain, termasuk memanfatkan konten, jaringan dan kekuatan merek para penerbit.

Keempat, lebih dari itu, fakta-fakta menunjukkan kerja sama penerbit dengan platform digital adalah bentuk hubungan yang cenderung berat sebelah. Platform digital lebih banyak mengendalikan, penerbit lebih banyak dikendalikan. Platform digital dapat secara tiba-tiba mengubah sistem algoritma dengan dampak yang serius terhadap distribusi konten dan mode konten berbayar penerbit, tanpa memberitahukannya terlebih dulu. Platform digital dapat memaksakan bentuk kerja sama yang cenderung merugikan penerbit secara sepihak. Selain itu, tidak ada transparansi tentang nilai iklan dan data pengguna terkait dengan konten penerbit yang dimanfaatkan platform digital, yang semestinya menguntungkn kedua belah pihak.

Kelima, dalam konteks ini, dperlu ditegaskan bahwa untuk menjaga eksistensinya, para penerbit hendaknya mengombinasikan strategi kolaborasi sekaligus kompetisi. Membuka diri untuk bekerja sama dengan platform digital bukan pilihan yang sepenuhnya buruk, bahkan merupakan pilihan yang realistis. Namun di sisi lain, penerbit semestinya juga siap untuk berhadap-hadapan dengan platform digital dalam negosiasi yang bisa jadi konfliktual, serta mendukung langkah-langkah yang mengoreksi langkah monopoli platform digital, katakanlah dalam dalam konteks pelembagaan Publisher Right.

Keenam, perlu ditegaskan bahwa strategi kolaborasi sekaligus kompetisi itu sesungguhnya juga diterapkan platform digital pada sisi sebaliknya. Meskipun platform digital sering mengklaim konten penerbit memberikan kontribusi yang kecil terhadap keseluruhan konten yang mereka kelola, juga memberikan keuntungan bisnis yang signifikan, platform digital sesungguhnya mengambil keuntungan yang lain. Penerbit secara berkelanjutan menghasilkan konten yang relatif terjaga kredibilitas dan kualitasnya, dibandingkan dengan konten buatan pengguna pada umumnya. Penerbit juga memiliki kekuatan merek di mata pengiklan, publik dan pemerintah. Dua hal ini menjadi daya tarik penerbit yang sulit didapatkan platform digital di tempat lain. Bekerja sama dengan penerbit dengan kredibiltas dan nama baik yang telah diketahui publik luas akan melahirkan citra sebagai penyokong good journalism. Hal ini menjelaskan mengapa di balik sikap kerasnya terhadap penerbit terkait dengan isu Publisher Right atau News Media Bargaining Code, platform digital tetap bersedia duduk satu meja untuk bernegosiasi dengan penerbit atau asosiasi media. Platform digital menawarkan konsesi untuk penerbit melalui program Google News Showcase, Facebook News tab, dll. Platform digital di sini secara ambigu juga menerapkan strategi kompetisi sekaligus kolaborasi dengan penerbit.

Ketujuh, dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, Agus Sudibyo melalui bukunya ini bukan mengusulkan perlawanan frontal para penerbit terhadap platform digital. Melainkan merekomendasikan sikap berjarak dan independensi relatif industri media massa terhadap platform digital.

Kedelapan, hal yang sama misalnya mendasari upaya komunitas media dan pemerintah Australia untuk melembagakan News Media Bargaining Code 2021. Tujuan dari regulasi ini kurang lebih adalah mewujudkan kolaborasi yang memungkinkan praktik berbagi konten benar-benar menghasilkan praktik berbagi pendapatan.

Kesembilan, hal yang tidak kalah penting adalah mengembangkan model bermedia yang baru secara terus menerus. Kalaupun suatu negara memiliki regulasi Publisher Right, ini bukan satu-satunya fondasi untuk mewujudkan keberlanjutan media. Publisher Right sangat penting untuk menjamin transparansi, keadilan dan kesetaraan dalam hubungan antara penerbit dan platform digital. Namun selebihnya, penerbit harus bekerja keras menemukan model bisnis dan pendekatan jurnalistik yang adaptif terhadap arus evolusi ekologi bermedia yang terjadi dalam masyarakat. Dibutuhkan kerja keras, eksperimen, kolaborasi, riset dan inovasi, serta investasi yang tidak sedikit.

Kesepuluh, salah satu eksperimen itu adalah mengembangkan konten berbayar. Konten tidak berbayar yang dibagikan secara cuma-cuma kepada pembaca (free information) jelas sangat menguntungkan pembaca dan platform digital.

Kesebelas, dalam rangka membangun kemandirian relatif penerbit terhadap platform digital, juga dalam rangka mengikhtiarkan keberlanjutan media ke depan, penerbit mesti memikirkan pentingnya mewujudkan kemandirian data. Data pengguna adalah tiang utama dunia periklanan saat ini dan di masa mendatang.

Keduabelas, untuk mencegah monopoli, di Australia dan Eropa, institusi negara hadir dan melakukan campur tangan terhadap urusan hubungan antara penerbit dan platform digital. Hal yang sama semestinya juga perlu dilakukan di Indonesia.

Ketigabelas, intervensi negara itu tidak dilakukan dengan semangat anti-kekuatan asing atau anti-platform digital global. Namun semata-mata untuk menyehatkan iklim bermedia secara nasional dengan tujuan akhir mewujudkan kebebasan pers yang berkualitas dan fungsional bagi nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kemanusiaan.

Keempatbelas, tidak kalah penting, intervensi negara tersebut, khususnya dalam hal pelembagaan Publisher Rigth juga harus dilakukan secara hati-hati.

Kelimabelas, Publisher Right, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, serta UU Media Sosial pada dasarnya adalah inisiatif regulasi untuk mengatasi residu-residu transformasi digital agar tidak berdampak eksesif terhadap tatanan masyarakat yang demokratis dan kepentingan pribadi setiap orang. Namun perlu ditegaskan bahwa transformasi digital tidak hanya melulu melahirkan residu. Transformasi digital juga melahirkan banyak manfaat bagi kehidupan setiap orang dan tatanan hidup bersama. Perlu dihindari keadaan di mana upaya untuk mengatasi residu-residu tersebut justru berdampak pada pudarnya nilai-nilai deliberatif-demokratis dari transformasi digital.

Dewan Pers harus lakukan pembenahan

Para penanggap dalam diskusi ini umumnya mengakui bahwa buku karya Agus Sudibyo ini bagus dan penting untuk disimak oleh para pengelola perusahaan media massa. Dewan Pers juga diharapkan berperan untuk melakukan pembenahan atas kondisi media massa sehingga perusahaan media yang sudah terverifikasi pun tidak menjadi korban monopoli platform digital global.

Berbagai masalah yang muncul akibat dominasi platform digital global itu memang harus diatur melalui publisher right. Negara harus hadir. Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Maria Y. Benyamin, yang mengaku sebagai angkatan milenial dalam mengelola bisnis media, merasakan betapa cara kerja redaktur saat ini berbeda dengan masa lalu. “Dulu idealisme media dipegang teguh sesuai dengan standar jurnalistik. Tapi kini tembok tebal antara idealisme dan bisnis mulai goyang. Tapi bagaimana kita berusaha agar tembok tersebut tetap tegak,” ujarnya.

Maria ingin agar yang terjadi bukan hanya transformasi digital tapi juga transformasi bisnis media. “Kita perlu merumuskan kembali strategi bisnis media dan memodifikasi visi-misi sebagai content provider. Value apa yang kita tawarkan dari industri media saat ini. Perlu ada langkah kemandirian relatif perusahaan media dengan konten berbayar. Bagi kami, dari konten berbayar itu ada hasil yang lumayan besar dan itu menjadi kabar baik untuk menjaga kemandirian relatif tersebut,” ujar Maria. (Widodo Asmowiyoto/Dewan Redaksi Tugubandung.id)***

 

 

 

Komentar