Oleh: Dr. H. Ijang Faisal, S.Ag., M.Si
Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia/IPHI Jawa Barat
Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 menjadi sorotan tajam di tengah harapan besar umat Islam Indonesia akan pelayanan yang semakin baik. Sayangnya, alih-alih perbaikan, tahun ini justru ditandai dengan berbagai kekacauan sistemik yang membebani jamaah haji Indonesia (banyak di antaranya adalah lansia dan warga dari pelosok daerah) yang seharusnya dimuliakan sebagai tamu-tamu Allah dengan pelayanan prima justru malah merasakan sebaliknya “didoreksaken”.
Sebagai organisasi alumni haji terbesar di Indonesia, IPHI Jawa Barat menerima banyak laporan, baik dari anggota kami yang menjadi jamaah reguler, maupun dari mantan petugas kloter yang tahun ini merasakan langsung betapa buruknya tata kelola haji 2025 akibat penerapan sistem multi-syarikah yang tidak siap.
Perubahan mendasar dalam sistem pelayanan haji 2025 adalah pelimpahan tanggung jawab pelayanan dari satu muassasah (Asia Tenggara) menjadi delapan syarikah. Dalam teori, ini dimaksudkan agar pelayanan lebih kompetitif dan efisien. Namun dalam praktik, implementasinya tidak disertai mitigasi matang oleh Kementerian Agama.
Ketika visa diterbitkan, masing-masing jamaah langsung terhubung ke syarikah tertentu. Namun manifest keberangkatan tetap berbasis kloter kabupaten/kota. Akibatnya, satu kloter bisa terdiri dari jamaah dengan syarikah berbeda. Di Arab Saudi, syarikah hanya mau melayani jamaah yang sesuai dengan visa mereka, dan tidak mau merujuk pada manifest kloter Kemenag. Maka terjadilah kekacauan penempatan hotel, pemisahan suami-istri, lansia terpisah dari pendampingnya, hingga petugas kloter yang tidak lagi bisa mendampingi jamaah yang menjadi tanggung jawabnya.
Kekacauan yang sama berlanjut hingga ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Banyak jamaah tidur di luar tenda, kehilangan kelompoknya, dan tidak tahu harus kembali ke mana. Program tanazul dan murur gagal dilaksanakan dengan baik, dan lansia yang seharusnya mendapat prioritas malah menjadi korban.
Harga Diri Bangsa
Kami di IPHI bertanya: sampai kapan jamaah haji Indonesia hanya menjadi objek uji coba kebijakan yang tidak matang? Dengan kontribusi dana besar, baik dari segi biaya haji, devisa negara, hingga konsumsi selama di Tanah Suci, jamaah Indonesia seharusnya mendapatkan pelayanan terbaik. Pemerintah Arab Saudi perlu diajak berdialog secara tegas dan bermartabat. Pemerintah Indonesia harus mulai berani menolak sistem yang merugikan jamaah. Jangan sampai Indonesia terus dianggap “pasar empuk” yang bisa diperlakukan semaunya tanpa kepastian layanan.
Kementerian Agama sebagai leading sector penyelenggaraan haji otomatis harus bertanggung jawab atas kekacauan ini. Kebijakan multi syarikah yang diambil secara instan menunjukkan lemahnya perencanaan dan ketiadaan antisipasi. Ketika petugas haji saja tidak bisa mendampingi jamaahnya, itu berarti sistem sudah gagal di tingkat paling mendasar.
IPHI juga mencatat lemahnya komunikasi antarlevel dalam tubuh Kemenag dan lemahnya daya tawar terhadap syarikah. Bahkan ketika layanan tidak berjalan sebagaimana mestinya, tidak ada sanksi atau pernyataan keras dari otoritas Indonesia.
Kekacauan tahun ini tidak hanya merugikan jamaah, tetapi juga dapat berakibat pada kuota haji 2026. Berdasarkan informasi yang berkembang, ada kemungkinan Indonesia akan menerima pemotongan kuota hingga 50% jika penyelenggaraan tahun ini dinilai gagal walaupun kemudia Menteri agama menyampaikan “tidak mendengar informasi terkait permgurangan kuota tersebut”.
IPHI menolak keras hal ini. Jamaah haji kita adalah korban, bukan penyebab. Yang harus dikoreksi adalah sistem, bukan jumlah jamaah. Pemerintah Indonesia, terutama Badan Penyelenggara Haji, Badan Pengelola Keuangan Haji, dan Kementerian Agama, harus segera mengirim delegasi tingkat tinggi untuk memastikan kuota haji Indonesia 2026 tetap utuh. Jangan sampai puluhan ribu calon jamaah tertunda keberangkatannya akibat kesalahan yang bukan mereka buat.
Evaluasi Menyeluruh
Sudah saatnya Kemenag membuka diri untuk evaluasi menyeluruh, melibatkan semua pemangku kepentingan termasuk IPHI, ormas Islam, akademisi, dan kalangan praktisi. Jika perlu, bentuk tim independen untuk mengevaluasi sistem multi-syarikah dan menyusun rekomendasi konkret. Jangan ulangi kekacauan ini di tahun-tahun mendatang.
IPHI juga mendorong agar sistem pelayanan berbasis kloter dikembalikan sepenuhnya. Petugas harus bersama jamaahnya sejak awal sampai akhir. Penempatan hotel dan tenda harus berbasis manifest kloter, bukan hanya pada syarikah. Jika perlu, revisi aturan visa agar syarikah bisa ditentukan berdasarkan manifest nasional, bukan per individu.
Penyelenggaraan haji bukan hanya soal logistik dan administrasi. Ini menyangkut martabat bangsa dan kehormatan ibadah. Jamaah Indonesia adalah tamu-tamu Allah yang membawa nama negara. Jangan biarkan mereka menjadi korban kesalahan teknis dan tarik-menarik kepentingan.
IPHI akan terus menyuarakan kepentingan jamaah dan mendorong pemerintah bertindak lebih tegas, lebih profesional, dan lebih manusiawi. Semoga di tahun-tahun mendatang, pelayanan haji Indonesia tidak hanya tertib dan efisien, tetapi juga benar-benar memuliakan jamaah sebagai duta bangsa dan tamu Allah. Aamiin Ya Robbal Alamiin. (**)
Komentar